Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendalami meninggalnya ratusan petugas penyelenggara pemilu dan ribuan lainnya yang jatuh sakit. Hasil kajian akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto dan Susana Rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendalami meninggalnya ratusan petugas penyelenggara pemilu dan ribuan lainnya yang jatuh sakit. Hasil kajian akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang.
”Dalam diskusi awal yang kami lakukan, rekomendasi akan disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum. Tetapi, di luar itu, juga ke pembentuk undang-undang untuk meninjau ulang mekanisme (penyelenggaraan pemilu) yang ada karena betul-betul bebannya berat. Kalau serentak, serentaknya di level apa,” ujar komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, Kamis (9/5/2019), di Jakarta.
Berdasarkan data KPU per 4 Mei 2019, sebanyak 440 petugas pemilu meninggal dan 3.788 petugas jatuh sakit.
Dalam kajian yang dilakukan, Komnas HAM melihat beberapa aspek, antara lain aspek beban kerja dan beban psikologis.
”Saat kami melakukan pemantauan di beberapa provinsi, sebenarnya sudah kelihatan. Misalnya, dalam konteks aspek psikologis, banyaknya hoaks dan dinamika di media sosial sangat berpengaruh. Begitu juga dengan sistem baru, lalu ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah beban,” kata Choirul.
MK, pada 28 Maret lalu, memutuskan, KPU diperbolehkan membentuk tempat pemungutan suara baru dengan batasan-batasan tertentu. MK juga membolehkan perpanjangan pengurusan pindah memilih dan penggunaan surat keterangan perekaman KTP elektronik untuk mencoblos.
UGM bentuk pokja
Selain Komnas HAM, Universitas Gadjah Mada juga membentuk kelompok kerja (pokja) kajian mortalitas petugas Pemilu 2019. Para pengajar dan peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol); Fakultas Psikologi; serta Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) bergabung dalam pokja ini.
”Kami ingin melakukan studi lintas disiplin yang mendalam agar kejadian ini tidak terbebani berlebihan oleh muatan politik. Kejadian ini banyak dibicarakan dan digoreng melampaui faktanya,” kata Koordinator Pokja Kajian Mortalitas Petugas Pemilu 2019 Abdul Gaffar Karim.
Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan, faktor penyebab meninggalnya petugas pemilu itu tidak tunggal. Ada berbagai hal yang membuat para petugas merasa tertekan sehingga kesehatannya terganggu. Di samping itu, penghitungan lima surat suara itu memang sangat melelahkan dan memakan waktu yang sangat panjang.
Gaffar juga mengatakan, berdasarkan cerita dari sejumlah sukarelawan UGM yang menjadi petugas penyelenggara dan saksi pemilu, ada tekanan besar. Sejak awal, ada tudingan para petugas akan berbuat curang. Ini mengakibatkan mereka tertekan tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikologis.
Dekan FK-KMK UGM Ova Emilia mengatakan, dalam perekrutan petugas pemilu, seharusnya ada prosedur standar operasi (SOP) yang jelas untuk memenuhi syarat kesehatan. Beban kerja yang tinggi menuntut petugas memiliki kondisi fisik yang prima. Sementara itu, diketahui sebagian besar petugas yang meninggal itu telah berusia lebih dari 60 tahun.