Jelang Pemilu 2014, PKS sempat menghadapi tantangan berat, tetapi bisa mendapat suara melampaui prakiraan elektabilitas sejumlah lembaga survei. Pada Pemilu 2019, bisakah PKS kembali membuat kejutan?
Tantangan berat itu muncul saat Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pada awal 2013 ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penangkapan Luthfi saat itu membuat partai tersebut menjadi bulan-bulanan masyarakat, terutama di media sosial.
Beberapa lembaga survei saat itu bahkan menyebut elektabilitas PKS di bawah atau hanya sedikit di atas ambang batas parlemen 3,5 persen suara sah. Faktanya, PKS meraih 8,48 juta atau 6,79 persen suara sah nasional dan menguasai 40 kursi DPR RI.
Saat itu, menjelang pemilu, Anis Matta sebagai Presiden PKS pengganti Luthfi melakukan langkah konsolidasi internal untuk mengurangi dampak penangkapan Luthfi. ”Ibarat kapal di tengah badai, konsentrasi pertama adalah memastikan dan menjaga kapal tidak bocor,” kata Anis awal 2014.
Pergantian kepengurusan
Setelah Pemilu 2014 terjadi rotasi kepengurusan PKS. Dalam rapat Majelis Syuro pada 1 Agustus 2015, posisi Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin digantikan oleh Salim Segaf Al-Jufri. Sementara posisi Anis sebagai Presiden PKS digantikan Sohibul Iman.
Rotasi itu berlanjut dengan keputusan penggantian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR. Hal ini merupakan konsekuensi atas pemecatan Fahri di semua jenjang jabatan kepartaian April 2016. Adapun saat ini Fahri tetap menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.
Perombakan kepengurusan tak hanya terjadi di DPP, tetapi juga berlanjut ke wilayah dan daerah.
PKS merupakan partai kader. Karena itu, pergantian kepengurusan merupakan hal biasa.
Ketua DPP PKS Al Muzzammil Yusuf, saat dihubungi pada Selasa (2/4/2019), kembali menegaskan, PKS merupakan partai kader. Karena itu, pergantian kepengurusan merupakan hal biasa. ”PKS partai kader, bukan partai tokoh. Banyak potensi (kader) orang-orang kampus, akademisi, doktor, master. Jadi, ganti berganti biasa saja,” ujarnya.
Tak berpengaruh
Rotasi kepengurusan membuat Pemilu 2019 menjadi pemilu pertama PKS tanpa Hilmi, Anis, dan Fahri. Bukan hanya berhasil menyelamatkan partai akibat kasus korupsi Luthfi, ketiganya juga merupakan pemikat suara bagi PKS.
Namun, Muzzammil menegaskan, absennya sejumlah pentolan itu tidak berpengaruh banyak terhadap elektabilitas PKS. ”Bahwa mereka punya massa, iya. Tapi, kami juga punya kader-kader baru yang masing-masing juga punya massa pendukung,” katanya.
Saat ini, lanjut Muzzammil, PKS juga memperoleh tambahan dukungan dari tokoh yang dicalonkan sebagai anggota DPR dan DPRD. Karena itulah, PKS memasang target tinggi, memperoleh 12 persen suara sah pada Pemilu 2019.
Optimisme itu muncul karena PKS merasa dapat dampak elektabilitas dari eksternal partai. ”Situasi keumatan pasca-Pilkada DKI, pasca-212, ijtima ulama itu menguntungkan PKS sebagai partai Islam, partai dakwah,” katanya.
Penyokong elektabilitas lain, menurut dia, adalah kedekatan PKS dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Ketiga tokoh tersebut dianggap memiliki daya tarik yang diharapkan bisa menambah suara PKS.
Sementara mesin politik di internal partai juga terus bekerja. PKS di bawah kepemimpinan Salim Segaf dan Sohibul Iman juga konsisten menjaga sikap politiknya. Lebih jauh, PKS memperkokoh jati diri sebagai partai yang anti-korupsi.
”Selama tiga pemilu ini, kan, kami tetap (raihan suara) di angka 7 persen. Jadi, kalau ditambah dengan efek 212 dan tiga tokoh ini (Anies, Prabowo, Sandiaga), dan tokoh-tokoh lain, kami hitung bisa meraih 12 persen,” ujar Muzzammil.
PKS bahkan meyakini Pemilu 2019 merupakan momentum kebangkitan PKS, seperti pada Pemilu 2004. Lalu, bagaimana hasil raihan suara PKS pada Pemilu 2019? Kita tunggu saja kejutan dari PKS.