JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi diminta untuk dapat menuntaskan penanganan perkara korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. KPK diharapkan menyentuh nama-nama sejumlah pihak yang disebut menerima aliran dana terkait dengan proyek ini.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, mengatakan, pihaknya berharap dengan penahanan Markus Nari, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang telah berstatus sebagai tersangka selama dua tahun dapat menuntaskan perkara KTP-el.
”Tidak cukup hanya berhenti pada orang-orang yang sudah diadili. Dalam dakwaan hingga putusan, sejumlah nama yang turut menikmati uang ini sudah disebutkan. KPK sudah semestinya menindaklanjutinya dan mengejar pengembalian kerugian negara. Di berbagai perkara, para penerima aliran dana ikut diajukan ke pengadilan. Untuk perkara KTP elektronik, seharusnya juga sama,” tutur Tama, Senin (1/4/2019).
Tidak cukup hanya berhenti pada orang-orang yang sudah diadili. Dalam dakwaan hingga putusan, sejumlah nama yang turut menikmati uang ini sudah disebutkan. KPK sudah semestinya menindaklanjutinya dan mengejar pengembalian kerugian negara.
Markus Nari akhirnya ditahan KPK setelah menjalani pemeriksaan selama kurang lebih 10 jam di gedung KPK, Senin. Markus meninggalkan gedung KPK menuju Rumah Tahanan Cabang KPK dengan mengenakan rompi oranye.
”Penahanan dilakukan selama 20 hari ke depan. Tadi yang bersangkutan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dalam pengembangan perkara KTP elektronik dan upaya merintangi penanganan perkara,” ujar Febri Diansyah, Juru Bicara KPK.
Pada Juni 2017, Markus ditetapkan sebagai tersangka terkait upaya menghalangi penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK dalam perkara korupsi pengadaan KTP-el. Markus diduga memengaruhi dua terdakwa perkara KTP-el, Irman dan Sugiharto, agar tidak memberikan keterangan yang memberatkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Markus juga diduga memengaruhi bekas anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S Haryani, agar memberikan keterangan tidak benar dan mencabut keterangannya di persidangan. Penyidik menemukan bukti berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Miryam yang dicoret pada sejumlah keterangan saat menggeledah rumah Markus di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.
Dalam persidangan pemeriksaan saksi untuk Irman dan Sugiharto pada 23 Maret 2017, Miryam pun mencabut keterangannya yang tertuang di BAP. Akibat kejadian ini, Miryam juga ditetapkan sebagai tersangka merintangi penanganan perkara. Miryam sudah menjalani persidangan dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 November 2017.
Penerimaan uang
Selanjutnya, pada Juli 2017, Markus kembali diumumkan sebagai tersangka karena diduga turut memuluskan pembahasan penambahan anggaran proyek KTP-el di DPR. Markus pun disebut telah menerima uang Rp 4 miliar dari Irman dan Sugiharto terkait proyek kartu identitas senilai Rp 5,9 triliun.
Berdasarkan berkas dakwaan milik Irman dan Sugiharto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 9 Maret 2012 mengajukan pengusulan penambahan anggaran untuk dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 kepada Menteri Keuangan. Untuk memperlancar pembahasan, Irman dimintai uang sebesar Rp 5 miliar oleh Markus selaku anggota Komisi II DPR. Atas permintaan itu, hanya Rp 4 miliar yang dipenuhi dan diserahkan kepada Markus di sebuah restoran di kawasan Senayan.
Tambahan anggaran baru disepakati pada Juni 2012, yaitu sebesar Rp 1,04 triliun untuk penyelesaian pengadaan blangko KTP-el sebanyak 65,3 juta keping.
Dalam perkara KTP-el ini, KPK telah menangani delapan tersangka termasuk Markus. Mereka adalah pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Agustinus, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Made Oka Masagung. Kemudian bekas Ketua DPR Setya Novanto dan keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Sementara itu, ada empat orang, temasuk Markus, yang ditangani karena berupaya merintangi perkara. Mereka adalah anggota DPR Miryam S Haryani, advokat Fredrich Yunadi, dan seorang dokter dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutardjo.