Koalisi Usulkan Tiga Poin Revisi UU Ormas
JAKARTA,KOMPAS – Masuknya revisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan atau ormas dalam Program Legislasi Nasional 2019 membuka peluang revisi akan dilakukan di 2019.
Terkait hal itu, Koalisi Kebebasan Berserikat mengusulkan setidaknya tiga poin revisi untuk menjamin kebebasan berserikat selain mendorong ormas ke depan, profesional dan kredibel. Termasuk di dalamnya, mencegah penyimpangan dana bantuan dari negara ke ormas yang kerap terjadi selama ini.
Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Peneliti dari PSHK Ronald Rofiandri mengatakan, Jumat (28/12), pada akhir 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan aturan di UU Ormas yang mensyaratkan setiap ormas harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) dari pemerintah. Namun dalam praktiknya, KKB masih sering menjumpai, ormas diwajibkan untuk membuat SKT atau diminta memperpanjang SKT saat masa berlaku SKT habis.
“Jika tidak memiliki SKT, ormas tidak bisa melakukan tugasnya, seperti mewawancara atau meminta informasi publik ke pemerintah. Ormas bahkan dicap ilegal,” ujarnya.
Oleh karena itu, jika DPR dan pemerintah akan merevisi UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas, revisi hendaknya memasukkan pula putusan MK tersebut ke dalam materi revisi. Ini penting untuk kembali mengingatkan bahwa tidak ada kewajiban ormas membuat SKT, dan kalaupun ormas tidak membuat SKT, bukan berarti ormas tidak bisa beraktivitas.
Selain itu, dikeluarkannya SKT oleh pemerintah, diharapkan tidak hanya administratif sifatnya. “Perlu ada instrumen untuk memverifikasi tata kelola keuangan, administrasi, dan rekam jejak ormas tersebut sebelum pemerintah mengeluarkan SKT terhadap ormas tertentu,” katanya.
Sebab dengan memiliki SKT, ormas berpeluang untuk memperoleh bantuan dari negara. Maka diharapkan hanya ormas yang profesional dan kredibel yang memperoleh bantuan itu. Verifikasi sekaligus penting untuk mencegah penyimpangan bantuan negara ke ormas seperti yang kerap terjadi selama ini. “Dalam beberapa kasus korupsi, elit birokrat justru beternak ormas, supaya ormas dapat bantuan, kemudian setelah bantuan cair, dikorupsi untuk elit,” tambahnya.
Dengan instrumen verifikasi itu, Ronald melanjutkan, akan sekaligus mendorong ormas lebih profesional dan kredibel ke depan.
Peran pengadilan
Selain persoalan SKT, KKB kembali mendorong agar pencabutan SKT atau status badan hukum ormas dilakukan oleh pengadilan, bukan pemerintah. Ini seperti yang pernah diatur di dalam UU 17/2013 tentang Ormas sebelum dicabut Presiden Joko Widodo dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), dan kemudian lahir UU 16/2017.
“Upaya untuk menghapus atau mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada ormas sebagai subyek hukum harus dilakukan melalui putusan pengadilan layaknya badan hukum lainnya, seperti pernyataan pailit perseroan terbatas dan pembubaran partai politik melalui MK,” jelasnya.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam revisi, mengeluarkan yayasan dari kategori ormas yang diatur di UU Ormas. Sebab keduanya, entitas yang berbeda.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan setelah revisi UU Ormas diputuskan masuk Prolegnas 2019, fraksinya akan mengupayakan agar revisi dilakukan di 2019. “Sesuai komitmen fraksi kami ketika perppu ormas disahkan, kami akan mendorong revisi. Ini yang akan kami dorong di masa sidang DPR berikutnya, di 2019,” katanya.
Masukan dari KKB pun akan diperhatikan. Ini terutama menyangkut dihidupkannya kembali kewenangan pengadilan. “PPP menyetujui hal itu. Namun proses di pengadilan tidak lagi lama seperti di UU Ormas sebelumnya. Bahkan kalau sifatnya mendesak, bisa saja nanti pembubaran dengan penetapan pengadilan. Jadi prosesnya tidak sampai satu minggu,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, menginginkan DPR dan pemerintah duduk bersama dulu untuk memilah RUU yang perlu diprioritaskan pembahasannya, di antara 55 RUU di Program Legislasi Nasional 2019. Sebab di 2019, masa kerja anggota DPR hanya hingga akhir September 2019. Mulai Oktober, anggota DPR periode 2014-2019 akan diganti oleh anggota DPR hasil Pemilu 2019. Selain itu, di sisa masa kerja anggota DPR hingga September, anggota DPR akan disibukkan dengan Pemilu 2019.
Revisi UU Ormas menurutnya, bisa saja termasuk yang perlu diprioritaskan pembahasannya. Namun ini dengan syarat, substansi revisi tidak bertentangan dengan semangat lahirnya perppu yang kemudian menjadi UU 16/2017.
“Misalnya ada ormas yang jelas-jelas anti Pancasila, masak proses pembubarannya harus berbelit-belit? Bahwa proses pembubaran melalui pengadilan sebuah keniscayaan tetapi tidak bisa digeneralisir untuk semua kasus. Dalam kasus-kasus tertentu, negara dalam hal ini pemerintah tetap memiliki tanggung jawab mengambil langkah yang cepat,” jelasnya. (APA)