Bawaslu di Tengah Kontradiksi Putusan Pencalonan DPD
Bola panas kini di tangan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Lembaga ajudikasi penyelanggaraan pemilu itu kini harus menangani sengketa proses pemilu yang diajukan oleh Oesman Sapta Odang atau Oso terkait dengan belum dicantumkannya nama Oso di dalam daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah. Seperti dalam catur, gerakan Bawaslu ini akan sangat ditunggu, sebab posisi raja telah dibidik, dan benteng sudah dikunci.
Penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu saat ini dalam posisi sulit, karena mereka harus menindaklanjuti tiga putusan pengadilan dengan implikasi berbeda di lapangan. Semua putusan hukum itu akan menyangkut nasib Oso dalam keikutsertaannya sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019. Sementara pemilu kian dekat, Bawaslu dituntut cepat merespons situasi sulit ini.
Oso selaku warga negara berhak atas kepastian hukum, sedangkan penyelenggara pemilu wajib menyelenggarakan pemilu atas dasar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berikut putusan pengadilan terkait. Pertanyaannya, putusan pengadilan yang mana?
Tidak bisa dimungkiri konsistensi putusan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu kini menghadapi ujian setelah keluarnya putusan yang memiliki dampak hukum berbeda dari dua lembaga pengadilan tertinggi di Tanah Air, yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kedua lembaga itu menguji tingkatan peraturan perundang-undangan yang berbeda, tetapi pada satu momen tertentu putusan kedua pengadilan itu bisa saja tidak berkesesuaian dan membawa dampak hukum berbeda bagi warga atau lembaga negara.
Momen itu tiba ketika Oso, yang juga Ketua DPD, mengajukan uji materi ke MA. Uji materi diajukan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Anggota DPD.
Oso mempersoalkan Pasal 60A PKPU 26/2018 yang mewajibkan calon anggota DPD untuk mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik. Di sisi lain, PKPU 26/2018 itu sejatinya merupakan respons KPU atas putusan MK No 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan 23 Juli 2018. Dalam putusan itu, MK memberikan tafsir terhadap frasa “pekerjaan lain” di dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu. MK menyebutkan pekerjaan lain yang tidak boleh dijabat oleh anggota DPD salah satunya ialah pengurus parpol. Ketentuan itu berlaku sejak Pemilu 2019 hingga pemilu selanjutnya.
MA dalam putusan uji materi tanggal 25 Oktober 2018 mengabulkan permohonan Oso. MA menyatakan Pasal 60A PKPU No 26/2018 itu bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, yakni UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemilu. Pertentangan itu terjadi karena PKPU yang meminta pengurus parpol menjadi calon DPD itu diberlakukan surut, yakni pada Pemilu 2019, ketika Oso telah dinyatakan lolos Daftar Calon Sementara (DCS). MA berpandangan pemberlakuan ketentuan secara surut itu berlawanan dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
MA dalam putusannya juga merujuk pada putusan MK, bahwasanya pengurus parpol tidak boleh menjadi anggota DPD. Hanya saja, waktu pemberlakuan ketentuan itu bukan pada Pemilu 2019, melainkan pada pemilu berikutnya. Pada poin ini ada perbedaan masa berlakunya norma hukum di dalam putusan MK dan MA. MK di satu sisi menyebutkan larangan bagi pengurus parpol menjadi anggota DPD itu berlaku sejak Pemilu 2019.
Dilema implementasi putusan pengadilan itu menajam ketika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Oso atas keputusan KPU tentang penetapan DCT. PTUN Jakarta memerintahkan KPU agar mencantumkan nama Oso di dalam DCT.
KPU telah memutuskan untuk tetap meminta Oso mundur dari parpol sampai 21 Desember 2018, tetapi problem hukum belum berhenti. Pihak Oso membawa persoalan ini ke Bawaslu sebagai sengketa proses pemilu.
Langkah Bawaslu selanjutnya bisa saja menentukan, meski harus diingat sebelumnya Bawaslu pernah menolak sengketa pencalonan yang diajukan Oso terhadap SK KPU tentang Penetapan DCT, dan pelanggaran administrasi terkait PKPU 26/2018. Dalam hal ini, Bawaslu dan KPU sepakat tidak ada persoalan dalam penetapan DCT oleh KPU, dan PKPU 26/2018. Namun, dengan hadirnya putusan PTUN Jakarta, dan laporan pihak Oso ke Bawaslu, akankah hal itu berubah?
Melakukan segala cara
Dari silang sengkarut putusan pengadilan dan sengketa dalam proses pemilu terkait dengan pencalonan Oso, pengajar filsafat hukum Universitas Bina Nusantara (Binus) Shidarta menilai filosofi berhukum kerap dilupakan. “Semua orang ingin menang dengan melakukan segala cara. Cara-cara itu berpotensi memicu kontradiksi dalam putusan hukum,” katanya, Selasa (18/12/2018) di Jakarta.
Menurut Shidarta, kontradiksi itu timbul karena jalur penyelesaian melalui sengketa pemilu yang telah diputuskan Bawaslu berusaha dimentahkan dengan membawa persoalan ini ke ranah administrasi, yakni dengan menggugat ke PTUN. Kendati hal ini diatur di dalam UU Pemilu, celah ini berpotensi lebih banyak menimbulkan putusan hukum yang kontradiktif.
“Bila konsisten menganggap ini sebagai ranah pemilu, sebenarnya putusan Bawaslu itu kan final dan mengikat, sehingga seharusnya berhenti di situ,” kata Shidarta.
Ketiga putusan pengadilan itu, menurut Shidarta, pada akhirnya tidak memenuhi salah satu ciri ketentuan norma, yakni tidak boleh kontradiktif satu sama lain. Namun, lebih besar dari itu, preseden ini menyiratkan kerusakan sistem hukum yang lebih besar. “Sampai kapan membentur-benturkan kedua lembaga seperti ini. Andaikata KPU ikuti putusan PTUN, apakah bisa disebut dia telah melaksanakan UU Pemilu? Tidak, karena ada putusan MK yang berkata lain, dan putusan MK itu setara dengan UU,” katanya.
Hak Oso sebagai pencari keadilan, tentu juga harus dilindungi. Gugum Ridho Putra, kuasa hukum Oso mengatakan, kliennya mengikuti ketentuan di dalam UU Pemilu dengan mengambil langkah hukum atas PKPU 26/2018 dan keputusan penetapan DCT. Kliennya dimenangkan di MA dan PTUN, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut dari KPU.
“Kami sampai pada kesimpulan untuk mengambil langkah mengadukan surat KPU Nomor 1492/PL.01.4-SD/03/KPU/XII/2018 tanggal 8 Desember 2018 perihal Pengunduran Diri sebagai Pengurus Partai Politik bagi Bakal Calon Anggota DPD Penilu 2019 kepada Bawaslu RI dengan jalur penyelesaian sengketa proses pemilu,” kata Gugum.
Menurut Gugum, upaya hukum itu diambil Oso sehingga karier politik kliennya tidak hancur karena mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Sebaliknya, ia menilai KPU harus bertanggung jawab atas hilangnya karier politik calon anggota DPD lainnya yang terlanjur mundur. Putusan PTUN Jakarta untuk kliennya, di sisi lain bisa menjadi cerminan bagi calon anggota DPD lain yang terlanjur mundur dari parpol, bahwasanya ada kesalahan pembuatan keputusan oleh KPU dalam penetapan DCT.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, kasus seperti dalam pencalonan Oso seharusnya bisa dihindari bila setiap pihak, termasuk lembaga pengadilan konsisten terhadap putusan pengadilan sebelumnya.
“Masalah seperti ini sudah pernah, dan selalu berpotensi terjadi, di mana pihak-pihak yang tidak setuju terhadap putusan MK atau MA kemudian membawa ke pengadilan lain dengan “bungkus perkara” yang berbeda,” kata Satya.
Diperlukan kearifan dalam memandang suatu persoalan hukum, menurut Satya, sehingga setiap pihak tidak semata-mata mencari celah hukum demi memenangi suatu perkara. Yang harus disadari, hukum tidak selalu mencerminkan keadilan itu sendiri...