Kau bisa memberi tanpa mencintai. Tapi kau tak kan pernah bisa mencintai tanpa memberi
Demikian salah satu kutipan dari Robert Louis Stevenson (1850-1894), novelis masyur dari Skotlandia. Masih dalam kutipan yang sama dari karyanya ”Across the Plain”, Robert menambahkan, karya-karya agung cinta dikerjakan oleh siapa saja yang biasa melakukan kebaikan-kebaikan dengan cara-cara yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Nyak Sandang (91) adalah orang biasa dan sederhana. Ia adalah warga Gampong Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Selama hampir 60 tahun, kisahnya tentang sumbangsih rakyat kepada negara di tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia tak banyak yang tahu. Hanya keluarga dan tetangga dekat saja yang tahu.
Kisah itu sunyi, sesunyi surat obligasi Pemerintah Indonesia yang ia simpan selama ini. Kertas lusuh berukuran sekitar 10 centimeter x 25 centimeter itu adalah bukti otentik cinta rakyat kepada negara, bukti cinta yang memberi.
Pada 1950, Presiden Soekarno bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat di Aceh untuk menggalang dana guna membeli pesawat angkut milik negara. Penggalangan dana rakyat dilakukan sebab di usia dini kemerdekaannya, Indonesia belum memiliki cukup dana untuk membangun dan menyelenggarakan negara atau belum cukup dipercaya investor untuk menerbitkan Surat Utang Negara.
Melalui sebuah kepanitian oleh sejumlah tokoh Aceh, terkumpullah 20 kilogram (kg) emas dan uang setara dengan 120.000 dollar Singapura. Nyak Sandang dan ayahnya adalah bagian dari sejumlah warga Aceh yang memberikan sumbangsih saat itu.
Selain menyumbang 10 gram emas, Nyak Sandang menyumbang uang, hasil dari jual sepetak tanah dengan sekitar 40 batang pohon kelapa di kampungnya di Aceh Jaya. Sebagai tanda terima, Nyak sandang menerima surat obligasi pemerintah.
Dana yang dihimpun dari rakyat itu selanjutnya digunakan oleh pemerintah untuk membeli dua pesawat jenis Dakota. Pesawat itu lantas dinamai Seulawah RI-001 dan Seulawah RI-002. Seulawah berarti gunung emas.
Kisah Nyak Sandang mulai viral pada akhir Februari 2018. Kisah itu kemudian mengantarkannya ke Istana Merdeka di Jakarta, (21/03/2018), bertemu Presiden Joko Widodo.
Kepada Presiden, Nyak Sandang menyampaikan tiga harapan. Pertama, katarak yang dideritanya selama bertahun-tahun bisa segera dioperasi agar sembuh. Kedua, Nyak Sandang ingin ada masjid di kampungnya. Ketiga, ia ingin menunaikan ibadah haji.
Presiden pun menyanggupinya. Sepekan setelah bertemu Presiden, Nyak Sandang dioperasi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. Hasilnya, matanya sudah bisa melihat dengan jelas lagi. ”Sekarang sudah bisa mengaji lagi,” kata Nyak Sandang.
Sembilan bulan kemudian, Nyak Sandang berkesempatan bertemu Presiden Joko Widodo untuk kedua kalinya. Kali ini, pertemuan berlangsung di terminal VVIP Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Jumat (14/12/2018), sekitar 15 menit.
Ini terjadi di sela-sela kunjungan kerja Presiden. Presiden melakukan kunjungan kerja di Aceh, mulai Jumat pagi hingga Jumat Sore. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, Riau, menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1, Presiden berbincang-bicang dengan Nyak Sandang yang didampingi anak bungsunya.
Setelah mendengar aspirasi Nyak Sandang, Presiden berjanji mengirim tim ke rumah Nyak Sandang dalam waktu dekat untuk membicarakan detail realisasi dua harapan Nyak Sandang. Untuk keinginan melaksanakan ibadah haji, atas pertimbangan kekuatan fisik Nyak Sandang, Presiden menawarkan umroh.
Meski demikian, Presiden menyerahkan keputusan akhirnya kepada Nyak Sandang dan keluarganya. ”Tergantung keluarga nanti, apa inginnya (haji atau umroh). Saya minta tim ke rumah Nyak Sandang,” kata Presiden usai pertemuan.
Sementara untuk pembangunan masjid, tim yang dikirim Presiden juga akan segera meninjau lokasi di kampung Nyak Sandang. Tim juga akan membicarakannya dengan pemangku kepentingan setempat.
Kisah Nyak Sandang adalah kisah sederhana tentang cinta yang memberi. Kisah ini sangat relevan di saat pamrih lebih populer ketimbang memberi, di saat kebohongan diproduksi lebih massal ketimbang kejujuran.
Bagi Nyak Sandang, surat obligasi pemerintah yang disimpan selama puluhan tahun itu bukanlah instrumen keuangan atau alat investasi. Kertas lusuh itu adalah surat cinta Nyak Sandang kepada negara Republik Indonesia.