JAKARTA, KOMPAS – Percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat terus dikebut menjelang target yang jatuh tempo pada Oktober 2019. Untuk mencapainya, pembangunan berfokus pada sejumlah sektor, antara lain infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi.
Direktur Aparatur Negara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Velix V Wanggai mengatakan, tenggat waktu diterapkan agar ada kerangka pembangunan yang jelas. Ia mengatakan, sejumlah strategi harus dilakukan dalam sepuluh bulan ke depan.
“Kami akan fokus pada sejumlah program, terutama di bidang infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi. Lalu kita akan fokus pada kegiatan, pembiayaan, dan clustering wilayah,” kata Velix, Selasa (11/12/2018) di Jakarta.
Menurut dia, pengelompokan wilayah di Papua dan Papua Barat perlu dilakukan. Sebab, luas wilayah Papua dan Papua Barat ditaksir jauh lebih luas dari Pulau Jawa. Selain itu, kondisi geografisnya yang berupa pegunungan dan pesisir pun menjadi tantangan. Maka, Papua dan Papua Barat dibagi menjadi tujuh wilayah adat.
Ada lima wilayah adat di Papua, yaitu Saireri, Mamta, Animha, Meepago, dan Laapago.
Sementara itu, ada sejumlah wilayah yang dikembangkan menurut potensinya di Papua Barat, antara lain kawasan wisata Raja Ampat dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.
Percepatan pembangunan dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Inpres itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 11 Desember 2017.
Selama satu tahun program percepatan pembangunan berlangsung, sejumlah hal tengah dilakukan. Dari sektor infrastruktur, salah satunya adalah pembangunan koridor trans Jayapura-Elelim-Wamena sepanjang 585 kilometer.
Sektor pendidikan juga turut dibangun di Papua dan Papua Barat. Staf Ahli Menteri Perencanaan PPN Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi mengatakan, sistem pendidikan berbasis asrama akan diterapkan. Menurut dia, hal ini perlu dilakukan untuk membuat anak-anak tetap bersekolah.
“Pada musim tertentu, anak-anak diajak ke hutan oleh orangtuanya. Kita harus memutus mata rantai ini. Maka asrama itu perlu. Kebutuhan dan pelajaran anak-anak akan disiapkan. Pada hari libur, mereka bisa pulang,” kata Oktorialdi.
Menurut Oktorialdi, sistem pendidikan berbasis asrama sudah mulai diterapkan di dua sekolah. Penerapannya merupakan hasil kerja sama dengan Indonesian American Society of Academics (IASA).
Pendekatan sosiologis-antropologis
Manajer Program Sekretariat Desk Papua Bappenas Theresia Ronny Andayani mengatakan, pembangunan di Papua dan Papua Barat dilakukan dengan pendekatan sosiologis dan antropologis. Pendekatan itu dinilai dapat menjembatani kekayaan budaya dan potensi. Selain itu, pendekatan tersebut dinilai dapat melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dalam pembangunan.
"Hal ini diikuti dengan peningkatan aktivitas komoditas unggulan lokal yang selama ini dijalankan baik kopi, coklat, karet, pala, ubi jalar dan sagu. Semoga tumbuhnya pengembangan ekonomi komoditas dan melayani komunitas lokal di wilayah terpencil," kata Theresia. (SEKAR GANDHAWANGI)