JAKARTA, KOMPAS – Upaya untuk menyelesaikan masalah Papua harus terpadu melibatkan semua pihak, termasuk Pemerintah Daerah, Polri dan TNI. Selain aspek sosial politik dan budaya juga harus mendapat perhatian selain aspek ekonomi tercapai kesehatian dengan masyarakat Papua.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri dan mantan Ketua Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) Bambang Darmono, Kamis (6/11/2018). Keduanya sepakat bahwa penanganan harus proporsional dan komprehensif di mana aksi kelompok bersenjata harus diatasi oleh militer yang profesional. Namun, semua pemangku kebijakan harus berperan aktif, terutama pemerintah di Jakarta dan Papua.
Kiki mengatakan, intinya adalah pemerintah harus merebut hati dan pikiran masyarakat. Inti permasalahan adalah keadilan sosial yang belum dirasakan masyarakat Papua. Bahwa beberapa waktu lalu ada kekerasan berupa penembakan massal oleh kelompok bersenjata, hal ini sekiranya diselesaikan secara militer.
“Tapi tentaranya harus benar-benar mengerti bagaimana operasi yang betul,” kata Kiki.
Hal senada disampaikan Bambang Darmono yang menekankan pada pendekatan sosial, politik dan budaya. Ia menekankan pentingnya dialog dengan masyarakat Papua, termasuk soal sejarah integrasi. Mantan Ketua UP4B ini mengatakan, pola pembangunan kerap kali terlalu dipaksakan. Padahal sejatinya pembangunan itu ditumbuhkan dari masyarakat Papua sendiri.
“Mari kita buat yang orang Papua bisa, bukan yang kita mau. Itu prinsipnya,” kata Bambang.
Dialog adalah hal yang esensial dalam menyelesaikan masalah Papua. Pasalnya, secara budaya masyarakat Papua terdiri dari 252 suku yang otonom. Bambang menggarisbawahi, inisiatif harus datang dari pemerintah pusat mengingat ada gap antara budaya di Jakarta dan di Papua.
“Integrasi teritorial sudah selesai. Sekarang yang harus dikerjakan integrasi sosial. Dan untuk ini butuh hati kita semua,” tandas Bambang.
Kiki menekankan pentingnya keterpaduan antara semua pemangku kepentingan. Misalnya, untuk mencari kelompok separatisme, tidak bisa dari sekedar interogasi. Akan tetapi, lewat pemihakan masyarakat. Pemihakan ini yang diperoleh dari pendekatan seperti diadakannya fasilitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang berpihak dan menyenangkan masyarakat. Keterpaduan itu juga harus diimplementasikan di lapangan dengan jelas.
“Spirit kemarin kelihatan tidak ada keterpaduan. Pemborong sipil bekerja di daerah rawan, tidak dikawal,” katanya.
Aspek Keamanan
Terkait dengan aspek keamanan, Kiki menekankan pentingnya profesionalisme militer, terutama TNI AD. Sementara, Bambang menyoroti pembagian yang jelas antara TNI dan Polri dalam mengatasi masalah kelompok bersenjata. Menurut Bambang, prinsip kedaulatan adalah berlakunya hukum positif Indonesia di wilayah Papua. Adanya pembantaian 19 orang di Papua tersebut menunjukkan negara tidak hadir. Untuk mengatasinya, sesuai dengan undang-undang Pertahanan Negara, UU Polri, dan UU TNI harus diserahkan pada TNI.
“Tidak ada itu operasi gabungan TNI/Polri. Baik TNI maupun Polri harus bekerja sesuai bidang masing-masing. Kalau dicampur malah jadi berantakan,” kata Bambang.
Sementara Kiki menekankan pentingnya profesionalisme TNI, terutama terkait intelijen, teritorial, hingga satuan tempur. Ia mengatakan, perlu ada evaluasi lebih lanjut terkait tidak adanya persiapan yang efektif padahal setiap tanggal 1 Desember selalu diperingati oleh OPM. Ia juga mempertanyakan bagaimana cadangan logistik pasukan TNI di pos-pos. Secara lebih umum, Kiki menandaskan bahwa operasi militer tidak saja terdiri dari operasi tempur.
“Operasi intel dan teritorial sangat penting terutama untuk merebut hati dan pikiran masyarakat. Pisahkan masyarakat dari kombatan bukan secara fisik tapi psikologis,” katanya.