Perancangan Ulang Konstitusi untuk Antisipasi Perkembangan Zaman Diperlukan
Oleh
Susana Rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perkembangan zaman dan teknologi membuat penyusunan ulang Konstitusi Indonesia semakin diperlukan. Penyegaran konsep ideologi negara juga perlu dilakukan.
Menurut Penanggung Jawab Acara Temu Akbar III Mufakat Budaya Indonesia (MBI) 2018 Radhar Panca Dahana, perkembangan dunia modern yang sangat cepat akibat globalisasi membuat seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia juga mengalami perubahan. Evolusi ini juga perlu dilakukan pada konsep Konstitusi di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) yang kini sudah kurang sesuai dengan dunia modern.
Radhar mengungkapkan, beberapa nilai dalam UUD 45 sudah tidak relevan dengan era modern. Penyusunan ulang diharapkan mampu memperjelas identitas bangsa Indonesia.
"Kalau Konstitusi negara jelas, pengelolaan negara juga akan jelas dan efektif," katanya.
Ketua Sidang Komisi Konstitusi MBI Refly Harun mengungkapkan, hasil sidang menghasilkan usulan penataan ulang UUD 45 yang berdasarkan pada prinsip konstitusi modern, yaitu demokratis, pluralis, dan mampu menjawab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beberapa nilai dalam UUD 45 sudah tidak relevan dengan era modern. Penyusunan ulang diharapkan mampu memperjelas identitas bangsa Indonesia.
Menurut Refly, saat ini UUD 45 kurang tertata dan memuat aturan yang tumpang tindih. Ia mencontohkan lembaga legislatif seperti DPR yang memiliki wewenang yang amat kuat sementara MPR tidak memiliki otoritas sama sekali dan bahkan cenderung tidak bekerja.
Selain itu, tumpang tindih kewenangan juga terjadi antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Padahal, seharusnya kekuasaan antar lembaga pemerintahan diatur jelas dalam konstitusi negara.
Hasil sidang Komisi menyarankan perubahan konstitusi dilakukan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh Presiden. Mereka harus merupakan orang yang ahli di bidangnya dan bukan anggota partai. Hal ini amat penting dipenuhi agar konstitusi yang dirancang tidak mengandung unsur kepentingan salah satu partai.
Penafsiran Pancasila
Sementara Ketua Sidang Komisi Ideologi MBI Marko Mahin menuturkan, Pancasila membutuhkan bentuk implementasi baru dalam kehidupan masyarakat. Selama ini, ideologi negara hanya ditafsirkan melalui satu pihak, yaitu negara. Akibatnya, nilai-nilai yang terkandung jauh dari praktek hidup masyarakat dan hanya menjadi jargon, slogan, atau yel-yel.
Pemaknaan masyarakat tentang Pancasila perlu diartikan sesuai penafsiran positif masing-masing individu. Pancasila bukanlah sesuatu yang asing karena berasal dari kebudayaan Indonesia. Penafsiran dari berbagai macam budaya diharapkan dapat menginternalisasi nilai luhur dalam Pancasila pada seluruh bangsa.
"Multitafsir secara positif akan membuat Pancasila menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari seluruh rakyat Indonesia," ungkapnya.
Abdullah Sumrahadi, Ketua Sidang Komisi Kebangsaan MBI mengatakan Indonesia tidak boleh melupakan jati diri Indonesia yang beragam, inklusif, dan berjiwa gotong royong. Untuk itu, negara perlu memberikan peranan yang lebih besar kepada minoritas dan perempuan dalam ruang publik.
Selain itu, Abdullah mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak menjadi gagasan belaka. Selama ini, masih banyak pos-pos pemerintahan yang masih dipegang kalangan mayoritas. "Mereka (minoritas) jangan hanya jadi pelengkap saja. Berikan mereka otoritas yang tepat dan kuat agar dapat membentuk program atau aturan yang lebih adil," pungkasnya.