JAKARTA,KOMPAS – Pimpinan DPR dan Mahkamah Kehormatan DPR atau MKD seharusnya tidak diam saja melihat Taufik Kurniawan yang berstatus tersangka korupsi dan ditahan, masih bisa menjabat wakil ketua DPR. Apalagi janji dari Partai Amanat Nasional untuk mengganti Taufik, tidak kunjung direalisasikan.
Seperti diketahui, Taufik yang merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN), ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima imbalan saat mengurus dana alokasi khusus fisik di Kabupaten Kebumen, salah satu kabupaten di daerah pemilihannya, pada 29 Oktober 2018. Dia kemudian ditahan KPK, sejak 2 November 2018.
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, saat dihubungi, Jumat (23/11), mengatakan penetapan tersangka dan penahanan Taufik, apalagi dia pimpinan DPR, seharusnya disikapi serius oleh pimpinan DPR dan MKD. Terlebih, kasus yang menjeratnya, kasus korupsi. Penyikapan itu tak perlu menunggu putusan Taufik berkekuatan hukum tetap.
“Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada langkah tegas dari DPR, berarti DPR mengkonfirmasi kritik publik selama ini bahwa DPR sangat permisif terhadap perilaku korup,” katanya.
Tak sebatas itu, jika dibiarkan, berarti DPR sama saja membiarkan citra dan kehormatan lembaga yang mewakili rakyat itu runtuh. Ini praktis akan membuat publik sulit mempercayai DPR.
Penyikapan secara serius juga penting setelah PAN yang semula berjanji akan segera mengganti Taufik, tak kunjung merealisasikan janji itu. Berulang kali Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyatakan pembahasan penggantian Taufik di internal partai belum tuntas.
Menurut Oce, bentuk penyikapan serius oleh pimpinan DPR, bisa dengan menyurati PAN, agar partai tersebut segera mengganti Taufik.
Opsi lain, bisa juga dengan meminta MKD agar segera memproses penegakan etik atas Taufik Kurniawan. Sanksi atas pelanggaran kode etik DPR, bisa berupa pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR yang otomatis mencopot Taufik dari jabatan pimpinan DPR.
Kalaupun tak ada instruksi dari pimpinan DPR, Oce melanjutkan, MKD seharusnya bisa aktif bertindak.
“Kalau sudah tersangka, ditahan atau tidak, sudah mencoreng citra dan kehormatan DPR. Dalam konteks itu, MKD sebagai penjaga kehormatan DPR, seharusnya bertindak,” katanya.
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi membandingkan jika anggota parlemen di sejumlah negara maju tersangkut kasus korupsi. “Mereka dianggap menghina parlemen, sehingga sanksi berat langsung dijatuhkan. Seharusnya di DPR, hal serupa diterapkan, bukan justru dibiarkan,” ujarnya.
Tindakan pembiaran oleh DPR terhadap Taufik itu pun, dilihatnya semakin menyakiti hati publik. Apalagi Taufik tetap menerima gaji dan tunjangan sebagai pimpinan DPR, sekalipun Taufik kini tidak lagi bisa menjalankan tugasnya sebagai pimpinan atau anggota DPR, karena berada di tahanan.
Tindakan pembiaran DPR tersebut, juga kontras dengan upaya perbaikan citra DPR yang terus diupayakan oleh Bambang Soesatyo sejak menjabat sebagai ketua DPR, awal tahun ini.
Namun menurut Anggota MKD dari Fraksi PDI-P Ichsan Soelistio, saat ada anggota DPR yang terjerat kasus hukum, proses pengusutan dugaan pelanggaran etika anggota tersebut oleh MKD, harus menunggu proses hukum tuntas. Maka dalam kasus Taufik, MKD harus menunggu proses hukum Taufik tuntas.
“Artinya MKD menunggu Taufik diputuskan bersalah berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap. MKD tidak bisa mendahului proses penegakan hukum,” ujarnya.
Pasalnya, bisa saja dugaan keterlibatan Taufik dalam kasus korupsi, tidak terbukti di pengadilan. Jika memang tidak terbukti, tetapi kemudian MKD mendahului proses penegakan hukum dan menyatakan Taufik bersalah sehingga dia dicopot dari jabatannya, perbedaan antara putusan pengadilan dan MKD dapat memicu persoalan baru di kemudian hari.