JAKARTA, KOMPAS - Badan Pengawas Pemilu memutuskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tidak terbukti melakukan pelanggaran kampanye saat penutupan acara Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, Oktober lalu. Meski demikian, kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi para pejabat negara yang masuk dalam tim kampanye calon presiden-calon wakil presiden di Pemilu 2019.
”Para pejabat negara dalam masa tahun-tahun politik di tengah kontestasi yang sangat sempit harus menjadikan ini sebagai pembelajaran agar tak terulang di kemudian hari,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Titi mengatakan, terlepas dari apa pun putusan itu, kasus Luhut dan Sri Mulyani harus menjadi pembelajaran bagi pejabat negara yang masuk dalam tim kampanye nasional calon presiden-calon wakil presiden.
Apalagi, pada era keterbukaan informasi ini, tindak tanduk pejabat negara sangat menjadi sorotan dan perhatian publik.
”Perilaku betul-betul harus dijaga agar tidak jadi spekulasi dan kontroversi politik di publik. Apalagi di era keterbukaan akses media sosial yang sangat luar biasa ini, perhatian publik sangat besar. Hal-hal seperti itu tak perlu terjadi lagi jika mereka punya kesadaran sebagai pejabat publik yang dalam kerja mereka betul-betul berorientasi bagi banyak orang,” kata Titi.
Sebelumnya, Sri Mulyani dan Luhut telah diperiksa atas laporan Dahlan Pido ke Bawaslu pada 18 Oktober lalu. Keduanya diduga berkampanye saat penutupan acara Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia 2018 di Bali.
”Jadi, kami sudah menyatakan bahwa peristiwa yang dilaporkan tidak memenuhi unsur ketentuan pidana pemilu dan bukan merupakan pelanggaran pemilu. Mereka tidak terbukti melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon,” ujar anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo.
Ratna menjelaskan, dari hasil klarifikasi terhadap Sri Mulyani, unsur pelanggaran kampanye tidak ditemukan. Sri Mulyani dalam pengakuannya, lanjut Ratna, tak berniat melakukan kampanye saat menjelaskan maksud pengangkatan satu dan dua jari kepada Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde. Sri Mulyani justru ingin mencegah politisasi acara IMF-Bank Dunia 2018.
”’Karena simbol-simbol jari sekarang itu di Indonesia ada maknanya. Yang satu Jokowi dan yang dua Prabowo’. Itulah yang beliau jelaskan,” ujar Ratna.
[/caption]
Gestur
Ratna menambahkan, Luhut pun memberikan klarifikasi kepada Bawaslu bahwa dirinya hanya ingin menyebut Indonesia sebagai satu negara kesatuan dengan menunjukkan satu jarinya. Bawaslu menerima hasil klarifikasi itu karena permasalahan gestur hanya dapat dijelaskan oleh orang yang bersangkutan.
”Karena, kan, yang dilaporkan soal gestur. Kita, kan, tak bisa menafsir karena apa yang dimaksud, hanya orang itu yang bisa menjelaskan. Namun, setelah kami minta klarifikasi, ternyata mereka menjelaskan tidak punya maksud (berkampanye),” tutur Ratna.