DEPOK, KOMPAS – Pemekaran daerah di Indonesia yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan, dalam banyak kasus justru menimbulkan konflik. Elite sebagai kelompok kunci di masyarakat kerapkali muncul sebagai aktor, sekaligus faktor kunci terjadinya konflik di masyarakat.
Dalam konteks pemekaran Kabupaten Mamasa, di Sulawesi Barat, konflik etno-religius muncul karena para elite yang bersaing, memainkan politik identitas, terutama identitas agama untuk meraih kepentingan politiknya. Agama, oleh para elite kemudian dijadikan sebagai instrumen pemersatu – dalam konteks negatif – untuk menciptakan diferensiasi kelompoknya dengan kelompok lain yang berbeda kepentingan, sehingga tercipta polarisasi di masyarakat.
“Dalam kaitan ini agama dijadikan instrumen, dijadikan sebagai alat, dalam mencapai kepentingan tertentu dalam perebutan kekuasaan,” kata Mohamad Subhan, wartawan senior Harian Kompas, dalam sidang promosi doktor di FISIP Universitas Indonesia di Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (23/10/2018).
Subhan mempertahankan disertasinya yang berjudul “Rivalitas Elite dalam Konflik Etno-Religius: Dinamika Konflik Pemekaran Daerah di Mamasa”. Hadir dalam sidang promosi doktor ilmu Sosiologi itu, Prof Isbandi Rukminto Adi (ketua sidang), Prof Iwan Gardono Sudjatmiko (promotor), Prof Dody Prayogo (ko-promotor), serta anggota tim penguji, yakni Dr J Kristiadi, Prof Sudarsono Hardjosoekarto, Dr Teguh Kurniawan, Francisia Saveria Siska Ery Seda PhD, dan Dr Ricardi S Adnan.
Disertasi ini mengambil kasus pemekaran Mamasa, yang sebelum dimekarkan pada tahun 2002, menjadi bagian dari Kabupaten Polewali Mamasa di Provinsi Sulawesi Selatan (sebelum Sulbar dimekarkan). Pemekaran ini kemudian juga menimbulkan rivalitas antara daerah induk dengan daerah pemekaran yang menghasilkan dualisme aparatur pemerintahan serta menganggu pelayanan publik. Selain itu, juga muncul konflik horizontal di masyarakat.
Konflik etno-religius ini melibatkan elite dalam berbagai lapisan, seperti elite birokrasi daerah, elite partai politik, dan elite informal (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat). Elite yang bersaing berlomba melobi pihak berwenang di pemerintahan pusat.
Dalam persaingan elite ini, menurut Subhan, sentimen etnis saja belum bisa menghasilkan efek kuat untuk membentuk polarisasi identitas kelompok yang pro dan kontra pemekaran. Sebab, orang Mandar yang mayoritas beragama Islam dan tinggal di pesisir serta orang Toraja yang dominan beragama Kristen dan tinggal di pegunungan sama-sama punya memori kolektif bahwa mereka berasal dari satu leluhur. Hal ini yang membuat mereka sebelum konflik pemekaran itu, bisa hidup berdampingan secara harmonis. Bahkan, dalam satu keluarga, ada yang berbeda agama.
Namun, kondisi ini berubah setelah agama dijadikan alat mobilisasi pembentukan identitas. Apalagi, hal ini kongruen dengan perubahan demografi penduduk setelah pemekaran. Penduduk dengan agama yang semula mayoritas, setelah pemekaran berubah menjadi minoritas.
Beberapa penguji sempat menanyakan preskripsi yang ditawarkan dari disertasi ini guna menghindari konflik pemekaran secara umum maupun yang terkait dengan konflik etno-religius. Subhan menuturkan, para pemangku kepentingan perlu kembali pada pemahaman mendasar bahwa otonomi bukan bertujuan membangkitkan semangat kedaerahan, lokalitas, dan kesukuan. Namun, sarana meningkatkan kesejahteraan dan merekatkan persatuan bangsa.
“Pemerintah juga harus jelas dalam melaksanakan otonomi daerah. Kalau ada daerah yang tidak mampu, gagal dalam otonomi, gabung kembali ke daerah induk,” katanya.
Prof Iwan Gardono Sudjatmiko sebagai promotor, seusai menyatakan Subhan menjadi doktor ke-96 bidang sosiologi di UI, juga menyampaikan bahwa disertasi itu memberikan rekomendasi yang rinci, bagi pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dia menyampaikan harapan gelar doktor itu, bisa membuat Subhan dalam menjalankan tugas kewartawanan bisa meningkatkan kualitas fakta dan data, sehingga bisa lebih dipercaya karena ditopang dengan pendekatan ilmiah.