JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Dalam Negeri mencatat ada sebanyak 254 usulan pembentukan daerah otonom baru. Usulan itu masih akan disaring kembali melalui peraturan pemerintah yang kini tengah disusun oleh pemerintah pusat. Persyaratan pun semakin diperketat untuk menguji kemandirian daerah sebelum ditetapkan sebagai otonom baru, tanpa tergantung pemerintah pusat.
Berdasarkan data terakhir Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 254 usulan daerah otonom baru (DOB). Jumlah itu berasal dari 87 usulan yang telah diamanatkan dalam amanat presiden, sebanyak 166 usulan yang tercatat di Kemendagri, dan 1 Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB yang tertunda yakni Kota Raha, Sulawesi Tenggara.
Adapun, berdasarkan tingkatan daerahnya, dari total 254 usulan itu, sebanyak 33 merupakan usulan pemerintah provinsi, 193 usulan pemerintah kabupaten, dan 28 usulan pemerintah kota.
Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro mengatakan, usulan itu masih ditahan sampai moratorium dicabut. Sembari menunggu, pemerintah kini tengah membentuk payung hukum pembentukan DOB berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang mana merupakan turunan dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
"Karena jumlahnya banyak sekali, perlu payung hukum yang ketat dan desain pemekaran yang baik untuk mengatur apakah sebuah wilayah ini patut dimekarkan atau tidak. Jadi kalau belum layak, ya kita tidak mekarkan dulu," ujar Suhajar di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menambahkan, perumusan PP itu sudah mencapai 90 persen. PP mengatur dua hal, yakni penataan daerah dan desain besar otonomi daerah.
"Desain besar otda itu berisi tentang perspektif gimana otda wilayah kita ke depan, termasuk di dalamnya adalah berapa sesungguhnya daerah otonom provinsi yang layak, berapa kabupaten yang layak. Yang layak itu artinya dengan parameter-parameter yang sudah diatur dalam PP itu," ujar Akmal.
Diperketat
Akmal menjelaskan, sejumlah parameter akan lebih didetailkan dalam PP yang baru sehingga tidak lagi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan dan Pemekaran Wilayah. Dalam parameter yang lama, persyaratan pemekaran masih sangat longgar, hanya sebatas jumlah warung, tempat mandi cuci kaki, dan rumah ibadah. Akibatnya, bermunculan DOB yang tidak terseleksi dengan bagus.
Sedangkan, dalam draft PP nanti, parameter itu lebih ketat, antara lain kapasitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, kesiapan aparatur, kesiapan infrastruktur, serta tingkat ekonomi masyarakatnya.
"Kami membuat sebuah rancangan produk hukum yang berisi parameter-parameter yang lebih logis. Artinya, ketika dimekarkan, daerah-daerah tersebut bisa betul-betul prospektif untuk menjadi DOB yang tumbuh dan berkembang mandiri ke depan," kata Akmal.
Selain itu, lanjut Akmal, draft PP yang baru juga akan diatur terkait suatu daerah yang akan menjadi DOB. Daerah itu nantinya harus melewati masa percobaan selama tiga tahun untuk dilihat kemandirian dalam perekonomian saat terlepas dari pemerintah induknya.
"Kalau tiga tahun dia bisa mandiri, baru ditingkatkan menjadi DOB. Artinya, yang lebih penting adalah kami ingin setelah dimekarkan, daerah itu tidak tergantung pada pusat dan provinsi. Jadi betul siap mandiri. Karena kalau sudah dimekarkan dan dananya masih tergantung dengan pusat ya percuma," ujar Akmal.