JAKARTA, KOMPAS - Polemik antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terus terjadi terkait dibolehkan atau tidaknya pencalonan anggota legislatif bekas narapidana korupsi. Kedua instansi berpegang pada dasar hukumnya masing-masing sehingga tidak kunjung selesai. Di sisi lain, pembatalan peraturan KPU dapat merusak kualitas penyelenggaraan pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, polemik antara dua institusi itu dapat terselesaikan apabila semua kembali kepada tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu berpegang pada putusan KPU, sedangkan Bawaslu dapat mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung jika tidak setuju dengan PKPU itu.
"Jadi, selama PKPU belum dibatalkan, maka semua pihak harus tunduk pada PKPU, termasuk Bawaslu yang punya kewenangan penyelesaian sengketa. Jadi, prinsip penyelengagraan pemilu itu taat asas. Asas itu berhukum pada UU dan PKPU. Suka tidak suka, berbeda pendapat atau tidak, kita harus taat pada aturan itu," ujar Titi dalam diskusi "Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Kepatuhan terhadap Putusan Bawaslu" yang digelar di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).
Selama PKPU belum dibatalkan, maka semua pihak harus tunduk pada PKPU, termasuk Bawaslu yang punya kewenangan penyelesaian sengketa. Jadi, prinsip penyelengagraan pemilu itu taat asas. Asas itu berhukum pada UU dan PKPU. Suka tidak suka, berbeda pendapat atau tidak, kita harus taat pada aturan itu
Polemik itu bermula ketika Bawaslu menganulir putusan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang menolak bekas napi perkara korupsi menjadi calon anggota DPD dan DPRD di tiga daerah jajaran Bawaslu. Ketiga daerah itu adalah Provinsi Aceh, Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan), dan Provinsi Sulawesi Utara.
Titi menegaskan, kedua PKPU itu telah diundang-undangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 3 Juli 2018. Oleh karena itu, menurut Pasal 87 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, PKPU memiliki kekuatan yang mengikat dan sah. Apabila, Bawaslu tidak menyetujui PKPU itu, maka pilihannya harus mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
"Jadi forum di MA yang menjadi forum membuktikan bahwa KPU tidak benar, melampaui kewenangan, bukan di putusan Bawaslu atau Panwsalu (Panitia Pengawas Pemilu). Kl Bawaslu boleh mengesampingkan PKPU, ke depan kita tidak punya kepastian hukum. Karena setiap peraturan KPU tanpa diuji MA bisa dibatalkan sengketanya. Kalau ini dibiarkan, bisa jadi preseden buruk bagi kepastian tata kelola penyelenggaraan pemilu ke depan," kata Titi.
Jalan tengah lain, menurut Titi, Bawaslu mempunyai kewenangan untuk mengoreksi putusan jajaran di bawahnya yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya akan tetap konsisten menjalankan PKPU karena peraturan itu sah dan mengikat sepanjang MA belum membatalkannya.
"Tugas Bawaslu kan seharusnya memastikan bahwa KPU bertugas sesuai dengan PKPU itu. Ini bagian dari upaya kami untuk melindungi hak pemilih yang lebih besar dengan konsisten pada PKPU itu," tutur Arief.
KPU akan tetap konsisten menjalankan PKPU karena peraturan itu sah dan mengikat sepanjang MA belum membatalkannya.
Wajib dilaksanakan
Sementara itu, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, KPU wajib menjalankan putusan Bawaslu. Hal itu telah diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Pada Pasal 20 UU Pemilu, kata Fritz, disebutkan bahwa KPU Kabupaten/Kota harus segera melaksanakan putusan Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan demikian, tidak ada alasan putusan Bawaslu dan Panwaslu di tiga wilayah tersebut tidak cepat ditindaklanjuti.
"Pasal 20 disebutkan, KPU harus sesegera mungkin melalsanakan putusan Bawaslu kabupaten dan kota" ujar Fritz.
Fritz menegaskan, Bawaslu sudah mengajak seluruh parpol peserta pemilu untuk menandatangani pakta integritas agar tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi. Namun, saat ini Bawaslu menjalankan fungsinya sebagai peradilan penyelesaian sengketa.
"Semisal dalam melindungi hak warga negara, Bawaslu juga bertanggung jawab untuk menjaga hak itu, sehingga apabila ada kesewenangan dari suatu lembaga, maka itu merupakan pelanggaran berat," kata Fritz.
Anggota Panitia Khusus RUU Pemilu DPR Fandi Utomo mengatakan, Bawaslu sebagai lembaga yang menjalankan fungsi peradilan menunjukkan putusannya wajib dipatuhi oleh semua pihak. Masalah yang dialami oleh KPU, menurut Fandi, karena ruang banding tidak dibuka. KPU hanya mempunyai ruang untuk mengajukan koreksi putusan. Pengajuan ini bisa diartikan mekanisme banding.
"Bawaslu bisa membuka diri untuk ruang itu dibuka bagi KPU. Sebagaimana proses yang diatur UU Pemilu, proses banding akhir di PTUN. Saya kira kalau penyelenggara merasa keberatan, maka dia harus mengajuka banding ke PTUN," ujarnya.