Asas Kepatutan Melarang Bekas Napi Koruptor Jadi Peserta Pemilu
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Meski masih ada beda pendapat, asas kepatutan bisa digunakan Komisi Pemilihan Umum sebagai sandaran hukum untuk menolak bekas narapidana korupsi untuk menjadi peserta pemilu legislatif.
Di atas berbagai alasan moral dan etika hukum selama ini, mantan Hakim Agung Artijo Alkostar memberikan usulan yang patut diperhatikan, bahwa di atas semua dasar hukum, ada asas kepatutan.
”Jadi, apakah patut, seorang bekas napi koruptor maju dalam kepesertaan pemilu legislatif,” kata komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang, di depan komunitas anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sejumlah perguruan tinggi yang berkumpul di Kampus Universitas Dr Soetomo, Surabaya, Jumat (24/8/2018).
Saut hadir pada acara berjudul ”Diskusi Publik, Pro Kontra Mantan Napi Korupsi Menjadi Peserta Pemilu” yang menjadikan Saut sebagai satu-satunya pembicara.
Ia mengatakan, sejumlah argumen beredar tentang peluang bekas napi korupsi ikut pemilu, misalnya, bukankah napi korupsi sudah menjalani hukuman atau bukankah ada maaf dalam pranata sosial masyarakat kita.
Namun, juga sikap anti pada gagasan menerima bekas napi korupsi tersebut, yakni bahwa sifat kerugian korupsi menimbulkan dampak berjangka panjang bagi masyarakat.
Saut menjelaskan, pada sejumlah realitas hukum dalam pemilu, ada praktik yang membedakan mana bentuk korupsi karena gratifikasi dan mana bentuk partisipasi atau sumbangan.
”Pada kasus calon wakil presiden (Saut menolak menyebutkan namanya), ada gejala korupsi yang disebut ’mahar’. Hal itu, meski jadi kepedulian KPK, berada di wilayah hukum KPU,” ujarnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, sikap KPK jelas menolak. Namun, KPU juga terikat aturan hukum, misalnya uang belum diberikan dan tidak melibatkan dana publik.
Pada saat yang bersamaan, tidak ada jaminan bekas napi koruptor tidak melakukan hal yang sama selagi menjabat, yaitu kembali mempraktikkan korupsi. KPU dan KPK belum membangun kesepakatan mengenai hal ini.
Di tengah aneka silang argumen tersebut, Saut mengemukakan pandangan dalil dalam etika hukum yang disebut ”asas kepatutan” tersebut.
Selain membahas berbagai dalil dalam hubungan kerja KPK dalam isu pemilu dan demokrasi tersebut, Saut juga membahas perkembangan dan rencana pengembangan kelembagaan KPK.