MANADO, KOMPAS - Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK semestinya diperkuat masuk dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penguatan LPSK akan memberi rasa aman bagi para saksi dan korban dalam perkara pidana.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional bertema "Peran LPSK dalam Hukum Pidana Indonesia" yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (14/8/2018). Pembicara dalam seminar tersebut yakni Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dan Dekan Fakultas Hukum Unsrat Flora Kalalo.
Menurut Flora, keberadaan LPSK sangat penting dalam sistem peradilan pidana khusus maupun pidana umum di Tanah Air yang kerap timpang. Ketimpangan disebabkan ketakutan para saksi dan korban dalam mengungkap kebenaran suatu peristiwa.
“Para saksi maupun korban dibayangi rasa takut dan khawatir atas laporan maupun kesaksiannya. Di beberapa kasus, terutama korupsi, para saksi bahkan diancam,” kata Flora.
Dikatakan, LPSK sudah harus dilibatkan dalam proses peradilan pidana ketika para saksi dan korban diperiksa oleh polisi ataupun jaksa sebagai penyidik. Pendampingan LPSK akan menjamin saksi dan korban berbicara jujur atas sebuah kasus. Menurut Flora, LPSK memberi kontribusi dalam penyelesaian kasus pidana yang lebih adil untuk saksi maupun korban.
Abdul Haris Semendawai berharap rekomendasi peran LPSK masuk sistem peradilan hukum pidana diajukan ke DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dikatakan, LPSK selama ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
“Saya berharap rekomendasi dari seminar nasional ini diberikan kepada pemerintah dan DPR agar ke depan peran LPSK lebih kuat dalam melindungi saksi dan korban,” kata Haris.
Ia mengatakan, sejak LPSK didirikan 10 tahun lalu, telah 10.000 lebih pemohon yang mengajukan perlindungan. Di samping saksi dan korban, ujar Haris, para saksi ahli juga harus mendapat perlindungan secara konkret. Dalam peraturan perundangan-undangan, saksi ahli bukan subjek yang dilindungi.
Peran penting LPSK dapat dilihat dengan bertambahnya pemohon dari para saksi dan korban dari tahun ke tahun. LPSK juga lebih aktif turun ke lapangan meski tidak diminta oleh korban. Inisiatif "jemput bola" itu dilakukan pada beberapa kasus terorisme, misalnya korban bom di Surabaya dan Riau.
Dikatakan, total kasus yang didampingi LPSK mencapai 60 persen dari total laporan dan pengaduan yang diterima. LPSK merupakan lembaga yang berwenang memberikan perlindungan serta hak-hak lain kepada saksi dan korban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Haris menjelaskan, para pelaku masih didominasi oleh sesama masyarakat. Namun, ada juga kasus yang melibatkan pejabat, aparatur sipil negara, polisi, dan personel militer.