Perempuan Letal dalam Jejaring
Percakapan dua perempuan berikut ini terjadi pada 5 Agustus 2016 di sebuah grup semi-publik di kanal aplikasi Telegram. Tuturannya kurang lebih sebagai berikut.
A: “Saya berharap seseorang akan memberi bom dan mengajari saya caranya, sehingga saya bisa meledakkan kantor mereka (pemerintah).
B: “Saya juga, Umm”
Perbincangan tersebut adalah potret kecil dari gejala kegairahan yang tengah meluap-luap di kalangan perempuan dalam jejaring teror sejak beberapa tahun lalu di Indonesia. Namun, peran fatalistik kaum perempuan dalam aksi teror baru disadari dan menghenyakkan publik setelah pecah peristiwa penusukan di Mako Brimob dan bom bunuh diri di Surabaya yang lalu. Betapa militan dan ekstremnya kaum perempuan tersebut, hingga anak sendiri pun rela mereka korbankan nyawanya menjadi instrumen serangan teror.
Peran perempuan dalam jejaring kelompok ekstrem/teror pun menjadi perbincangan publik. Namun, hal itu tidak tiba-tiba terjadi. Penelitian IPAC yang laporannya dikeluarkan 31 Januari 2017 sebenarnya telah mengeluarkan peringatan soal perempuan dalam jejaring teror, termasuk potensi besar akan terjadinya bom bunuh diri yang dilancarkan perempuan. Percakapan dua perempuan di atas tadi dikutip dari laporan IPAC tersebut, yakni “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists”.
Mundur ke belakang, Desember 2016, polisi anti-teror menangkap dua perempuan calon pengebom bunuh diri, yakni Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, yang keduanya bekas tenaga kerja Indonesia di luar negeri (Taiwan dan Hong Kong). Keduanya berencana meledakkan diri masing-masing di Jakarta dan Bali. Rencana mereka ini paling tidak merupakan gejala awal yang mendekati konkret soal peran perempuan dalam serangan teror bunuh diri di Indonesia.
Aktivisme daring
Perempuan berperan dalam aktivitas jejaring teror setidaknya terbangun sejak banyak dari pelaku (laki-laki) teror ditangkap dan dipenjarakan. Lewat aktivitas membesuk suami di penjara misalnya, para perempuan lantas terlatih menjadi kurir, pembawa pesan, dokumen, menyelundupkan telepon seluler, juga rekaman-rekaman suara berbagai ceramah agama dari patron mereka.
Para perempuan yang ditinggalkan suami napi terorisme ini akhirnya juga membangun relasi dan saling mendukung satu sama lain. Laporan IPAC menyebutkan, aliansi mereka terbangun dan terfasilitasi lewat aktivitas membesuk itu.
Aktivitas fisik tersebut, kemudian dalam perjalanannya kian menguat lewat peran internet. Peran perempuan dalam jejaring teror memang tak terlepas berkat infrastruktur teknologi komunikasi. Lewat internet, aktivitas daring (online activism) perempuan dalam jejaring teror mendapat ruang. Mulai dari menebar propaganda, mengumpulkan dana, hingga akhirnya "turun gunung" mengambil peran secara fisik dalam berlatih senjata, termasuk sebagai pelaku jihad kekerasan dan bunuh diri.
Siska Nur Azizah alias Fatmah (21), salah satu yang terlibat dalam rencana penusukan terhadap polisi di Mako Brimob misalnya, mengaku sejak 2017 lalu intensif mengikuti kanal-kanal penebar paham radikal di internet. Kepada polisi pemeriksa awal, ia menyebut salah satu kanal yang diikutinya adalah Millah Ibrahim, yang memang sejak lama menjadi favorit kelompok ekstrem. Ia sendiri pernah bergabung dengan organisasi NII (Negara Islam Indonesia, KW9). Siska kemudian berbai\'at sendiri kepada pimpinan IS (Islamic State) Abu Bakar al-Baghdadi pada Oktober 2017 di kamar kosnya di Bandung, Jawa Barat.
Dalam era Islamic State (IS), perempuan memang lebih diberi ruang mengambil peran aktif untuk beraksi. Tidak lagi misalnya sebagai pendukung logistik atau pengumpulan dana. Namun juga maju di garda depan perlawanan. Sejak Februari 2014, IS membentuk batalyon Al-Khansaa yang merupakan semacam polisi perempuan IS yang bertugas menyaring, mengobservasi, memata-matai, untuk kepentingan pengamanan. Perkembangannya kemudian, Januari 2015, di kalangan pendukung IS tersebar dokumen "Women of the Islamic State: Manifesto and Case Study", yang ternyata ditulis oleh al-Khansaa. Berbagai media massa internasional pun ramai mengulasnya. Manifesto ini juga membolehkan perempuan untuk berjihad (dengan kekerasan) dalam situasi tertentu. Disebutkan juga, perempuan di usia sembilan tahun sudah boleh dinikahkan.
Tak identik religius
Sulit untuk memprofilkan tipe orang yang berpotensi menjadi pelaku bom bunuh diri. Robert A Pape dalam bukunya "Dying to Win" (2005) misalnya menyinggung juga peran perempuan-perempuan yang pernah menjadi pelaku bom bunuh diri dalam gerakan teror yang berdimensi agama di Lebanon. Nyatanya, para pelaku profil sehari-harinya jauh dari kesan atau penampilan religius.
Umumnya pelaku pun merupakan orang yang baru direkrut sebuah kelompok atau organisasi, atau secara sukarela bergabung dalam waktu singkat. Pape juga menggarisbawahi, aksi bom bunuh diri bukanlah jenis aksi serangan yang dimonopoli oleh fenomena religius. Ia meneliti fenomena aksi bom bunuh diri sejak 1980-2003 di beberapa negara. Sebanyak 43 persen pelaku aksi bunuh diri tergolong religius, sementara 57 persen lainnya tergolong sekuler.
Asumsi-asumsi awam soal pelaku bom bunuh diri juga gugur dalam penelitian Pape tersebut. Pelaku bahkan kerapkali secara ekonomi berkecukupan dan berpendidikan, baik yang dari kalangan religius maupun sekuler. Namun, mereka umumnya cukup punya kesadaran untuk mengikuti perkembangan politik. Oleh karena itu, mencurigai hanya dari penampilan seseorang saja tidaklah sahih.