JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menginginkan percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Pasalnya, jika melampaui masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat pada April mendatang, dikhawatirkan pembahasan RUU hukum pidana itu harus dimulai lagi dari awal.
Harapan Presiden itu disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Enny Nurbaningsih setelah bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (7/3). Pertemuan yang berlangsung lebih dari satu jam itu menghadirkan tim perumus RUU hukum pidana yang dipimpin Muladi, Menteri Kehakiman (1998-1999), serta anggota tim perumus, seperti Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Eddy OS Hiariej.
Dalam pertemuan itu, Presiden didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. ”Jadi, Presiden berharap, kalau bisa, pada masa sidang ini dipercepat. Karena kekhawatiran kita semua, bukan hanya tim, jika ini tak selesai sampai 2019. Apalagi ini tahun politik, dikhawatirkan hal itu akan menjadi masalah besar,” ujar Enny.
Jadi, Presiden berharap, kalau bisa, pada masa sidang ini dipercepat
Keinginan menyelesaikan pembahasan RUU hukum pidana disampaikan juga oleh Muladi. Tim perumus menginginkan citra kolonial bisa dihapus dalam RUU itu. Muladi menyebut RUU hukum pidana sebagai satu bangunan desain besar, rekodifikasi aturan dengan misi dekolonialisasi, tetapi juga mendorong demokratisasi. Adapun batasannya adalah Pancasila, UUD 1945, prinsip-prinsip HAM, dan asas- asas hukum yang diakui bangsa-bangsa beradab.
Sejauh ini, DPR pada pertengahan Februari lalu memperpanjang masa pembahasan RUU hukum pidana. Alasannya, masih ada beberapa pasal yang diperdebatkan. Beberapa pasal yang masih kontroversial di antaranya penghinaan presiden; pengaturan tindak pidana korupsi, terkait narkoba, terorisme, dan lainnya; pasal pidana atas perzinahan yang diperluas; serta penghinaan pada parlemen dan pengadilan.
Namun, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Miko Ginting meminta Presiden tidak terburu-buru mendorong pembahasan RUU HP. Presiden diharapkan justru menghentikan pembahasan serta mengevaluasi keseluruhan pasal RUU itu.
”Risiko paling nyata adalah penolakan publik karena beberapa pasal masih jadi polemik. Ini bisa mengulang kasus UU MD3 (Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang ditolak masyarakat),” ujarnya.