JAKARTA, KOMPAS — Persoalan persatuan dan keadilan yang menjadi salah satu tantangan besar dalam kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini tidak cukup hanya diselesaikan lewat pendekatan ekonomi. Tantangan itu harus dijawab dengan solusi yang holistik guna memastikan tidak ada bagian dari komponen bangsa ini yang merasa ”ditinggalkan” dalam kebijakan pembangunan.
Tantangan persatuan dan keadilan ini terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dimuat di Kompas, Senin (22/5). Jawaban semakin lemah mendapat proporsi yang besar saat responden ditanya soal empat indikator kohesi sosial, seperti solidaritas sosial, toleransi antarumat beragama, toleransi antarsuku atau etnis, serta toleransi antargolongan. Mayoritas responden juga berpendapat Indonesia belum mampu menjadi negara yang mandiri secara ekonomi (74,1 persen) dan belum bersih dari praktik korupsi, korupsi, dan nepotisme (86,6 persen).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Imaduddin Abdullah, Senin, menuturkan, pendekatan ekonomi saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan atau ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat. Menurut dia, pendekatan ekonomi lewat pemberian aset fisik berupa tanah ataupun modal harus diikuti dengan penanganan sumber daya manusia.
”Ada ketimpangan dalam akses pendidikan maupun kesehatan antara orang miskin dan orang kaya. Data menunjukkan bahwa orang yang berpenghasilan rendah cenderung akan putus sekolah,” kata Imaduddin.
Hal ini, lanjutnya, disebabkan dua hal. Pertama, fasilitas pendidikan relatif tidak ada di dekat rumah penduduk berpenghasilan rendah. Kedua, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah juga harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Dampaknya, orang kaya akan menjadi semakin kaya dan orang miskin semakin tertinggal. Kondisi yang hampir sama terjadi pada akses kesehatan. Orang kaya lebih punya akses ke fasilitas kesehatan dibandingkan orang miskin.
”Diperlukan juga kebijakan afirmatif untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan ke masyarakat miskin. Perlu peninjauan ulang penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan agar tepat sasaran. Begitu pula dengan dana transfer daerah,” ujar Imaduddin.
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang juga Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Purwo Santoso, dihubungi dari Jakarta, Senin, menuturkan, strategi kebudayaan sangat diperlukan dalam menjaga persatuan. Strategi kebudayaan ini penting untuk menjadikan latar belakang Indonesia yang multikultural tidak dipandang sebagai sumber perpecahan, tetapi kekuatan. Namun, Purwo menganggap hal ini belum menjadi kesadaran bersama elite.
”Tidak cukup hanya dengan pidato unutk merajut kontribusi silang-menyilang Indonesia yang tidak bisa dibongkar siapa pun,” ucap Purwo.
Menurut Purwo, pemerintah bisa menyediakan ruang komunikasi dan interaksi bagi setiap organisasi kemasyarakatan untuk menumbuhkan semangat lintas kelompok yang lebih kuat.