Pulau di Indonesia Jadi Nama Jalan di Amsterdam
Semakin maju negara tersebut, semakin baik sistem lalu lintasnya.
Dampak dari kolonisasi Belanda terhadap Indonesia ternyata berdampak luas. Salah satu di antaranya adalah begitu banyaknya orang Indonesia menetap di Belanda dan menjadi warga negara negeri itu. Uniknya lagi, sejumlah nama jalan di kota Amsterdam, misalnya, mengambil nama pulau-pulau di Indonesia.
Saya tiba di Amsterdam pada Selasa, 30 Januari 2024, dan menginap pada salah satu hostel di Jalan Borneo atau Borneo Straat yang terletak tengah kota. Saat itu hari menjelang petang.
Begitu berada di kawasan tersebut, saya sebetulnya agak penasaran dengan pilihan nama jalan ini. Akan tetapi, perasaan itu menghilang seiring kelelahan mengayuh sepeda pada sehari sebelumnya sejauh 105,26 kilometer dari Zwolle melewati hadangan angin yang lumayan kencang.
Keesokan harinya, yakni pada Rabu, 31 Januari 2024, saya dan kru memilih istirahat di Amsterdam. Kami mengisi waktu dengan berjalan kaki ke pusat kota atau Centrum.
Kami tidak menggunakan mobil sebab biaya parkir kendaraan di Amsterdam dan kota lain di Belanda sungguh mahal, yakni 7 euro setara Rp 120.000 per jam. Pemerintah setempat sengaja menerapkan tarif parkir kendaraan yang mahal agar masyarakat beralih menggunakan transportasi umum, seperti bus, trem, dan kereta atau berjalan kaki atau bersepeda.
Begitu keluar dari penginapan, saya kaget lagi setelah melihat ada Jalan Lampong, Jalan Timor. Ada pula Jalan Jambi, Jalan Sunda, Jalan Nias, Jalan Bali, Jalan Celebes, Jalan Sumatera, dan lainnya. Sungguh luar biasa.
Salut untuk pemerintah dan masyarakat Belanda yang rela memberi nama jalan di negeri dengan nama khas Indonesia. Mungkin ini dampak dari adanya hubungan yang erat masyarakat dan Pemerintah Belanda dengan Indonesia di masa lalu.
Sungai bersih
Saya kembali bersepeda pada Kamis, 1 Februari 2024. Hari itu tujuan perjalanan ke kota Den Haag. Suhu udara hanya 2 derajat celsius dengan langit yang biru dan cerah, tetapi cukup dingin.
Gowes hari itu saya memilih hanya sejauh 61,61 kilometer. Pilihan ini karena melalui jarak tersebut saya ingin mempersembahkan untuk istri tercinta yang berulang tahun ke-61 tepat pada 1 Februari 2024.
Baru kali ini, saat ulang tahun istri, saya tidak berada satu kota dengannya. Sama seperti pada Natal tahun 2023. Begitulah konsekuensi dari pilihan saya menjelajahi dunia dengan bersepeda sejak 8 Juli 2023 yang dimulai dari Tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta.
Mengingat suhu masih terasa dingin, pakaian gowes pun saya sesuaikan dengan keadaan. Paling dalam adalah baselayer, lalu jersey musim dingin, jaket sepeda yang agak tipis lengan panjang dan celana padding musim dingin. Sarung tangan tebal yang menutup semua jari, penutup kepala, dankupluk wajah, hidung dan mulut, serta sepatu sepeda khusus musim dingin.
Tepat pukul 08.33, saya memulai bersepeda. Saya menyusuri kanal Singelgracht ke arah barat daya. Sepanjang perjalanan tampak bersih. Sungai dan kanal yang ada terpelihara dan sehat. Airnya bening dan sama sekali tak tampak sampah sedikit pun. Semua sudut kota tampak bersih dan apik.
Seketika terbayang sungai-sungai di Indonesia yang mengalir di tengah kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Jambi, Medan, Semarang, Pontianak, dan lain sebagainya. Sungai-sungai itu begitu kotor, keruh, dan berbau tidak sedap.
Di tepi kiri dan kanan sungai selalu ada permukiman padat. Bertahun-tahun, semua pihak mengaku prihatin atas kondisi itu. Akan tetapi, penataan dan revitalisasi cenderung dilakukan seadanya. Tidak ada solusi tuntas seperti yang dikembangkan di Eropa.
Tertib berlalu lintas
Menarik lagi adalah pemakai jalan begitu tertib dan teratur. Tidak ada pejalan kaki yang menerobos di lampu merah meski jalan sepi. Bahkan, di setiap persimpangan tanpa lampu merah pun, pengguna jalan tak akan melakukan pelanggaran.
Mereka selalu mengutamakan pemakai jalan lain yang lebih berhak berjalan terlebih dahulu. Jadi, tidak main terobos seperti yang selalu terjadi di negara kita.
Memang, di negara-negara maju tidak sulit bagi warganya bersikap tertib di jalan raya. Maklum, budaya tertib dan disiplin telah berlangsung lama dan selalu konsisten terjaga serta terpelihara oleh semua pihak: masyarakat dan pemerintah.
Semakin maju negara tersebut, semakin baik sistem lalu lintasnya. Ada tiga parameter untuk menilai suatu negara tergolong maju atau berpotensi maju pesat. Pertama, adanya keteraturan sistem lalu lintas yang tinggi. Hal ini terkait infrastruktur, sarana prasarana, dan regulasi atau undang-undang, serta budaya tertib berlalu lintas dari masyarakat.
Kedua, koruptif yang rendah di segala lini, terutama pada aparatur pemerintahan dan masyarakat. Ketiga, memiliki kepedulian dalam menjaga keseimbangan alam atau lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam rute yang saya lewati menuju Den Haag, saya melihat beberapa sungai, kanal, dan polder yang tertata bagus, bersih, dan airnya yang bening. Air dengan sengaja dibiarkan mengalir dengan lancar pada jalurnya tanpa ada bagian yang buntu sehingga menjadi rawa.
Di Belanda sepertinya tidak ada rawa. Semua air mengalir tanpa henti pada parit, sungai, kanal dan polder yang ada. Bahkan, sungai, kanal dan polder berfungsi juga sebagai prasarana transportasi.
Ikan dan burung pun hidup bebas dalam jumlah yang banyak. Hal ini menandakan air yang ada berkualitas terbaik. Bebas dari pencemaran aneka limbah dan sejenisnya. Di lokasi resapan air juga sama sekali tak ada bangunan apa pun.
Sepanjang perjalanan tersedia jalur sepeda. Jalur sepeda itu selalu terhubungkan dengan taman-taman kota, hutan kota atau ruang publik yang ada di tengah kota. Lokasi-lokasi itu selalu menjadi tempat berkumpul warga untuk olahraga, seperti jalan kaki, lari, atau bersepeda dan lainnya.
Perjalanan saya juga melewati kota Leiden. Ini adalah salah satu kota terpenting di Belanda. Di sana ada Universitas Leiden sebagai perguruan tinggi tertua yang pendiriannya pada tahun 1575. Jarak Amsterdam dan Leiden hanya 50 kilometer.
Selepas Leiden atau sekitar 3 kilometer menjelang kota Den Haag, persis di Kilometer 61,61, saya memutuskan mengakhiri gowes hari itu. Total ketinggian hanya 159 meter atau kontur jalan mendatar.
Saya telah menuntaskan janji dan komitmen saya mendedikasikan jarak mengayuh sepeda pada hari itu sebagai hadiah untuk istri tercinta di Jakarta. Mengayuh sepeda yang mencapai angka 61,61 tidak mudah. Butuh konsentrasi sekaligus teknik pengelolaan emosi mengayuh yang pas. Karena, salah sedikit saja bakal melewati angka yang diinginkan.
Kuliner Indonesia
Setibanya di Den Haag, saya langsung memenuhi undangan makan siang dari Tante Sunarti. Dia teman saya dari Makassar yang membuka usaha travel di Belanda. Usaha ini hanya khusus melayani teman-temannya dari Makassar yang ingin berlibur di Eropa.
Bahkan, klub sepeda E2G dari Makassar saban tahun selalu melakukan perjalanan bersepeda di Eropa selalu diurusi Tante Sunarti. Lama waktu touring berkisar 10-14 hari. Saya pernah sekali ikut touring E2G di Eropa, yakni gowes dari Amsterdam ke Paris pada Mei 2022.
Makan siang kami di restoran Indonesia. Restoran ini menyediakan aneka menu kuliner khas Nusantara. Saya memilih nasi rendang dan bakso. Bakso enak banget sehingga saya makan dua porsi. Sementara rendang juga enak, tetapi terlalu pedas.
Jumat, 2 Februari 2024, udara kota Den Haag begitu cerah dengan suhu hanya tiga derajat celsius. Hari itu saya bersepeda di sekitar kota Den Haag hingga di Delf sejauh 24 kilometer.
Pagi hari saya bersepeda dari penginapan menuju kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk bertemu dengan Duta Besar Pak Mayerfas sekaligus menyerahkan vandel dari Persatuan Purnawirawan Polri.
Belanda memang agak unik. Den Haag bukan sebagai ibu kota negara, tetapi kantor kedutaan negara-negara asing malah berada di kota ini. Sementara itu, pusat pemerintahan berada di Amsterdam. Den Haag memiliki penduduk sekitar 474.291 jiwa.
Keberadaan di KBRI itu saya manfaatkan untuk mendalami pengurusan perpanjangan visa Schengen (Uni Eropa). Sesuai ketentuan, urusan visa dilakukan di negara asal. Namun, saya berharap ada peluang untuk mengurus perpanjangan itu di Eropa atau negara terdekat.
Sebelumnya, saya juga telah mengontak Pak Mayerfas terkait rencana perpanjangan visa. Hal ini penting sebab terkait kelanjutan perjalanan kami. Apakah akan sampai Juli atau berhenti sampai Mei? Visa saya berakhir pada 9 Mei untuk masa validitasnya, sedangkan masa tinggal berakhir pada 30 Maret.
Sebenarnya sejak dari Iran dan Turki kami mencoba mendekati KBRI untuk mengurus pembuatan visa bagi kru untuk Oom Yayak dan Dimas untuk visa yang baru. Visa keduanya sengaja belum diurus di Jakarta karena bersepeda dari Jakarta hingga memasuki Eropa tidak dapat diprediksikan waktunya.
Problem visa
Kami khawatir saat tiba di Eropa, masa valid visa pun sudah berakhir. Bahkan, durasi tinggal sudah selesai sebelum masuk. Terbukti sejak memulai perjalanan dari Jakarta pada 8 Juli 2023, kami baru memasuki Eropa pada 14 Desember 2023.
Kami pun mencoba mengurus visa Uni Eropa saat berada di Iran dan Turki. Pihak KBRI Teheran berhasil melakukan pendekatan dengan Kedutaan Besar Perancis di Iran. Mereka mengizinkan kami mengurus visa Uni Eropa di Teheran.
Akan tetapi, waktu wawancara dan biometri membutuhkan waktu dua minggu. Kondisi ini menurut kami terlalu lama. Untuk urusan biometri saja sudah dua minggu. Belum lagi menunggu proses cetak juga selalu memakan waktu sekitar dua minggu sehingga kami bakal menghabiskan waktu sebulan di Teheran.
Maka, kami bermohon agar urusan visa dipindahkan ke Turki agar bisa menghemat waktu. Akhirnya atas upaya KBRI Ankara, kami melanjutkan perjalanan ke Turki dan mengurus visa di Ankara. Alhasil, kami menghabiskan waktu tidak lebih dari dua pekan, urusan visa Uni Eropa pun tuntas. Biometri lima hari dan seminggu kemudian visa sudah terbit. Visa ini untuk Dimas dan Yan. Masa berlaku visa ini hanya tiga bulan.
Persoalan berikutnya adalah memperpanjang visa setelah 90 hari, yakni pada Februari atau Maret. Selain di Den Haag, saya juga melakukan pendekatan dengan KBRI yang kami lewati sebelumnya, yakni Bulgaria, Serbia, Polandia, Hongaria, Jerman, Turki, termasuk juga Portugal, negara yang belum saya kunjungi.
Tetapi, tidak berhasil. Karena ketentuan perpanjangan visa harus di negara asal, yakni Indonesia. Akhirnya, kami pun memutuskan kembali ke Jakarta pada 26 Februari 2024 untuk mengurus perpanjangan visa Uni Eropa.
Selesai dari KBRI Den Haag, saya menuju rumah keluarga di Rijswijk, yakni Oom Bob Mantiri. Dia sudah puluhan tahun tinggal di Belanda dan telah menjadi warga negara negeri itu. Saat ini Oom Bob berusia 80 tahun.
Saya diterima Oom Bob dan istrinya yang juga keturunan Indonesia. Mereka sangat senang atas kehadiran saya, apalagi datang menggunakan sepeda dari Jakarta.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke kota Delf dan sekitarnya untuk sekedar jalan-jalan menikmati Belanda. Di tengah jalan, saya melihat ke kiri dan kanan, tetapi tidak ada restoran.
Kami pun teringat sebelum gowes pagi itu sempat mendapatkan titipan barang dari atase Polri di Den Haag, yakni Kombes Sugeng. Dia menitipkan bekal berupa nasi gudeg. Kami pun menikmati makanan itu dengan lahapnya.