Saya Pun Memasuki Wilayah Belanda
Di Belanda dan negara Eropa lainnya sama sekali tidak tampak pengendara yang melawan arus.
Di kalangan para pesepeda jarak jauh, Belanda adalah negeri impian. Di negeri itu, para pesepeda mendapatkan perlakuan istimewa. Selain tersedia jalur sepeda yang begitu banyak, tidak hanya di kota, tetapi juga di perdesaan. Masyarakatnya pun gemar mengayuh sepeda kemana pun mereka pergi.
Saya tiba di Belanda pada Sabtu, 27 Januari 2024. Hari itu, saya bersepeda dari Kota Bremen melewati Sogel. Kedua kota ini masih berada dalam wilayah Jerman. Bremen berada di barat laut Jerman.
Bahkan, Bremen menjadi negara bagian terkecil di negeri itu. Namun, kota ini juga berperanan penting sebagai pusat perdagangan dengan memiliki pelabuhan terbesar kedua di Jerman, setelah Hamburg.
Kota Bremen terletak sekitar 60 mil dari Laut Utara. Sedangkan Pelabuhan Bremen berada di mulut Sungai Weser yang menuju ke Laut Utara. Pelabuhan dibangun pada 1.827.
Di Pelabuhan ini, sejak dulu hingga sekarang perusahaan-perusahaan raksasa dunia biasa bertransaksi seperti minyak bumi, benang wol, kapas, tembakau dan kopi. Sebagian dari komoditas itu berasal dari Indonesia, antara lain tembakau dan kopi.
Saya mulai mengayuh sepeda dari Bremen pada pukul 08.38. Suhu udara pada pagi itu hanya 1 derajat celsius sehingga kondisinya cukup cerah dan bersahabat. Perjalanan saya mengarah ke timur, menuju ke Belanda.
Mengayuh sepeda pada hari itu terasa sangat menarik. Saya tidak lagi terhalang oleh salju tebal, suhu udara yang sangat dingin dan angin kencang sehingga dapat merasakan kenyamanan bersepeda di wilayah Eropa yang terkenal ramah terhadap pesepeda.
Jalur sepeda tersedia di mana-mana. Jalur khusus tersebut terpisah dengan jalan mobil. Jalur sejenis juga ada di negara-negara yang saya lewati sebelumnya yakni Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan sebagian Jerman. Akan tetapi, saat itu masih berselimut salju sehingga kenyamanan mengayuh sepeda tidak terasa optimal.
Kali ini saya menyaksikan dengan jelas di mana jalur sepeda terpelihara dengan baik, dan setiap saat selalu dilewati pesepeda. Jadi jalur sepeda bukan asal dibangun.
Lebih menarik lagi, dalam jalur sepeda tidak menjadi tempat parkir kendaraan lain. Di jalur sepeda juga sama sekali tidak ada jalan berlubang atau galian parit dan lainnya seperti di Jakarta.
Jalur sepeda itu tersedia di kiri dan kanan jalan. Di beberapa titik jalur itu hanya ada pada salah satu sisi badan jalan. Artinya, jalur sepeda tersebut digunakan untuk dua arah. Tetapi jalur seperti ini tidak banyak.
”Local legend”
Untuk hari itu, laju bersepeda saya agak lebih cepat. Perjalanan ini kian menarik lagi, sebab saya melewati cukup banyak wilayah perdesaan yang indah dan bersih. Permukiman tertata rapi. Hal ini membuat gairah gowes saya pun meninggi. Semangat terus menggelora.
Desa yang saya lewati, antara lain Delmenhorst, Ganderkesee, Kirchatten, Sandatten, Huntlosen, Nikolausdoorf, Garrel, Mittelksen Thule, Werite dan lainnya.
Di beberapa segmen, saya mendapatkan local legenddalam strava. Misalnya, pada segmen Vrees-2-Werite, yakni jarak 5,29 kilometer, saya berada di urutan kedua, khusus untuk kategori usia 55-64 tahun dengan kecepatan 34,8 kilometer per jam. Pada segmen yang sama untuk kategori semua usia mulai dari belasan tahun, maka saya berada pada urutan ke-27.
Jika melihat dari klub sepeda yang saya ikuti dalam strava, hanya satu klub yang anggotanya pernah melewati jalur ini, yakni Maap Cycling Club (Maap.cc) dengan 8 orang anggotanya. Saya juga menjadi anggota klub tersebut, dan berada pada urutan teratas. Luar biasa!
Sementara klub lainnya, yakni PCA atau Portugal Cycling Alliance, Paris Bike Festival, kemudian Laltra Cyclistica dan klub saya di Jakarta Lollipop Cycling Club (LCC) belum pernah melewati rute itu.
Sampai dengan 27 Januari hanya satu klub yang pernah melewati rute tersebut, yakni Mapp.cc. Hal ini terasa janggal, sebab rute ini berada di Eropa. Apalagi jalur dari Bremen ini juga tergolong menarik.
Local legend ini sebetulnya juga saya dapatkan dalam rute-rute sebelumnya. Akan tetapi, saya tidak terlalu serius memperhatikan sehingga selalu terabaikan dalam membuat catatan perjalanan.
Gowes ini berakhir di Sogel. Saat itu sudah menjelang petang. Total jarak tempuh mencapai 104,17 kilometer dengan elevation gain hanya 337 meter atau mendatar.
Sogel berada tidak jauh dari garis perbatasan Jerman dan Belanda. Di Eropa tidak ada lagi border. Yang ada hanya semacam patok penanda perbatasan negara.
Dari Sogel, saya loading menuju garis perbatasan. Di sana, saya menyempatkan diri melakukan ritual perbatasan, yakni mendengarkan lagu kebangsaan Jerman, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. Saat itu sudah pukul 18.00.
Selepas itu, saya melakukan pengambilan foto suasana di perbatasan. Kalau di Google ada pencatatan perbatasan kedua negara tersebut. Saya sempat memberikan ulasan dan melengkapi dengan sejumlah foto yang menandakan bahwa saya pernah berada pada titik itu, yakni Dreilandereck: Groningen-Drenthe Nierdersachsen.
Dari sana, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Emmen di Belanda. Kota ini pun letaknya tidak jauh dari perbatasan. Emmen masuk Provinsi Groningen, terletak paling utara Belanda. Malam itu saya menginap di kota tersebut.
Keesokan harinya saya beristirahat di Emmen. Kesempatan ini saya gunakan untuk mencuci pakaian, dan bersama kru melakukan edit foto serta video. Sepanjang hari, kami nyaris tidak ke mana-mana.
Kunjungi Giethoorn
Pada Senin, 29 Januari 2024, saya melanjutkan bersepeda dari Emmen menuju ke Giethoorn. Hari itu, suhu udara cukup dingin, sebab mencapai minus 1 derajat celsius. Saya memulai perjalanan pada pukul 08.00.
Perjalanan menuju Giethoorn sesungguhnya atas saran seorang teman, yakni tante Sunarti. Beliau berpesan bahwa saat berada di Belanda wajib mengunjungi kota tersebut. Giethoorn adalah desa wisata yang sangat populer di Belanda dan selalu diburu wisatawan.
Desa ini terletak di tepi Danau Bovenwijde. Di masa lalu, transportasi dari rumah ke rumah menggunakan sampan melintasi sungai dan kanal-kanal yang bermuara ke danau tersebut. Kebiasaan itu tetap terpelihara hingga saat ini demi kepentingan pariwisata.
Meski pagi itu suhu udara di Emmen minus 1 derajat celsius, tetapi saya tidak mengenakan jaket tebal yang khusus di daerah dingin. Saya hanya memakai beberapa lapis pakaian untuk mencegah suhu dingin menembus badan.
Pada hari itu, saya mulai merasakan betapa bersahabatnya Belanda terhadap para pesepeda. Fasilitas jalan begitu lengkap dan sangat berkeselamatan. Jalan yang ada sama sekali tidak berlobang, benar-benar mulus dan bersih.
Bukti keberpihakan pemerintah kepada pesepeda terlihat dari infrastuktur yang tersedia begitu bagus. Marka jalan yang lengkap, rambu-rambu dan fasilitas parkir sepeda yang lengkap selalu tersedia di terminal, halte, pertokoan dan tempat umum lainnya.
Di wilayah perdesaan, saya berjumpa dengan banyak penduduk lokal menggunakan sepeda sebagai transportasi ke tempat kerja dan sekolah. Mereka mengayuh dengan tertib dan selalu berada dalam jalur sepeda yang ada.
Jumlah pengguna sepeda jauh lebih banyak dari pengendara sepeda motor. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di Indonesia.
Setiap kali mau berpindah lajur selalu memberi tanda dengan tangan. Jika hendak belok ke kanan maka tangan kanan memberikan petunjuk. Begitu pula saat hendak belok ke kiri. Pada setiap sepeda selalu terpasang lampu depan dan belakang. Lampu-lampu itu wajib dinyalahkan siang dan malam. Istilahnya light on.
Kedisiplinan dalam berlalu lintas adalah cerminan suatu bangsa. Itu terlihat di jalan raya. Disiplin dan keteraturan yang saya jumpai di Belanda adalah memberi kesempatan kepada pengendara lain di setiap persimpanan yang tanpa lampu lalu lintas.
Pertama, pengaturan dengan marka segitiga sama kaki atau piramida. Jika piramida dimana runcingnya mengarah ke kita, itu berarti kita wajib berhenti sekaligus memberi kesempatan kepada pengendara lain untuk melaju.
Kedua, ketertiban di lampu merah. Saya melihat tidak ada satu orang pun melakukan penyerobotan di lampu merah baik pengendara, pesepeda maupun pejalan kaki.
Ketiga, melawan arus. Di Belanda dan negara Eropa lainnya sama sekali tidak tampak pengendara yang melawan arus.
Keempat, salah parkir. Kasus ini juga hampir tidak terlihat di Eropa. Kelima, kecepatan tinggi, jalan zigzag atau ugal-ugalan sama sekali tidak terjadi. Kasus penyerobotan di lampu merah, melawan arus dalam berkendara, salah parkir, dan zigzag paling banyak terjadi di India, Nepal, dan Indonesia.
Apabila kita ingin meningkatkan keteraturan berlalu lintas, perlu menanamkan nilai-nilai menghargai orang lain, memberikan hak orang lain sesuai porsinya, kesopanan. Menegakkan keadilan, memberikan apresiasi dan penghargaan (reward) serta sanksi atas pelanggaran (punishment).
Perjalanan menuju Giethoorn tidak mudah mendapatkan restoran. Maklum, jalur ini masih tergolong pedesaan sehingga didominasi ladang pertanian yang luas tanpa tersedia tempat makan.
Akhirnya pada pukul 13.00, kami harus berhenti sejenak di tepi jalan untuk makan makanan kecil seperti roti, biskuit dan lainnya sekedar ganjal perut. Pukul 14.00 kami tiba di Giethoorn. Total jarak mencapai 80,80 kilometer dengan elevation gain 124 meter.
Desa tanpa jalan raya
Desa ini memang sungguh indah. Di sana, sama sekali tidak ada jalan raya. Yang ada hanyalah kanal-kanal yang mengelilingi rumah-rumah penduduk. Setiap rumah umumnya memiliki halaman dengan taman yang tertata apik dan indah.
Rumput menghijau dengan aneka bunga berwarna warni menghiasai rumah-rumah di Giethoorn. Menariknya lagi, mayoritas rumah setempat beratap jerami yang dibangun pada abad 18 dan 19.
Keindahan Giethoorn tersohor hingga ke luar Belanda. Wisatawan memberikan banyak julukan kepada desa ini karena keindahan dan keunikannya. Julukan yang banyak disematkan adalah Venice of the Netherlands and Dutch Venice atau Venesia dari Belanda.
Alasannya, kanal-kanal yang mengelilingi desa Giethoorn serupa dengan kanal-kanal di Venesia, Italia. Selain itu, Giethoorn juga mendapatkan 12 julukan lainnya antara lain Little Venice, Venice of North, Desa Kanal, Desa tanpa mobil, desa tanpa jalan raya. ”Giethoorn memiliki banyak nama panggilan,” tulis informasi dalam laman Giethoorn Village.
Hari itu tidak banyak wisatawan yang mengunjungi Giethoorn. Hanya ada beberapa wisatawan individu, dan satu group wisatawan dari Taiwan berjumlah 15 orang serta kami tiga orang dari Indonesia. Kami sempat menyewa satu perahu untuk mengelilingi desa ini melewati kanal-kanal yang indah, bersih dan tertata rapi.
Mungkin saat itu bukan musim liburan, melainkan musim dingin sehingga banyak wisatawan memilih tidak melakukan perjalanan. Padahal, menurut saya, perjalanan ke Eropa pada musim dingin juga menarik. Menyaksikan dan merasakan salju. Tarif hotel dan lainnya pun jauh lebih murah dibanding saat musim panas. Terpenting menggunakan mantel dan jaket khusus musim dingin, maka kita dapat menikmati suasana Eropa yang berkualitas dan tidak terlalu menyiksa.
Dari Giethoorn, saya loading menuju ke Kota Zwolle yang letaknya tidak begitu jauh dari desa indah tersebut. Tiba di Zwolle menjelang petang, dan malam itu menginap di kota ini.
Masuk Amsterdam
Esok harinya, Selasa, 30 Januari 2024, saya mengayuh sepeda dari Zwolle menuju ke Amsterdam. Suhu udara semakin bersahabat yakni 5 derajat celcius. Pukul 08.53, saya pun memulai gowes.
Di rute ini saya melewati banyak kawasan kincir angin. Artinya saya melewati wilayah yang memiliki kecepatan angin yang tinggi. Kadang saya melawan angin, sebab bertiup dari depan. Tetapi, kadangkala saya pun didorong angin dari belakang.
Menarik lagi, di kiri dan kanan jalan tumbuh banyak pohon berbaris rapi. Pemerintah Belanda sengaja menanam pohon-pohon itu guna membantu pengguna jalan melewati jalur ini dengan nyaman tanpa terhalang hantaman angin kencang.
Jalan yang saya lewati ini juga sangat kaya dengan marka dan rambu jalan sehingga menambah tingkat keselamatan bagi pemakai jalan. Di setiap tempat penyeberangan selalu dilengkapi dengan tombol untuk cepat menjadi hijau sehingga pejalan kaki atau pesepeda tidak menunggu terlalu lama di lampu lalu lintas.
Kekurangan dari rute ini adalah terbatasnya ketersediaan restoran atau warung. Hal ini menjadi persoalan serius bagi pesepeda jarak jauh untuk mendapatkan makan yang ideal di tengah perjalanan. Di negara-negara maju sepertiChina dan Eropa, restoran hanya beroperasi di tempat tertentu yang telah mendapat izin dari pemerintah setempat.
Memasuki kota Amsterdam semakin lengkap pula fasilitas untuk pesepeda. Banyak fasilitas seperti taman kota yang besar dan luas jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor yang hanya terhubung dengan jalur sepeda.
Terdapat pula jembatan khusus sepeda dan pejalan kaki yang menyeberangi sungai. Taman dan pepohonan bersih dan terawat. Sungai dan danau pun bening tanpa sedikit pun limbah. Aliran air berlangsung lancar tanpa terhalang sampah dan lainnya.
Sekitar pukul 17.30, saya pun tiba di pusat kota Amsterdam. Jarak perjalanan saya hari itu mencapai 105,26 kilometer dengan total ketinggian hanya 105 meter. Kontur jalan mendatar dan nyaris tanpa tanjakan.
Hingga di Amsterdam, saya ingin mengatakan, penataan infrastruktur jalan, termasuk sistem pengaturan perambuan, marka jalan, jalur sepeda, penataan desa atau kota kecil di Belanda sungguh menarik. Penataan ini jauh lebih baik dari Jerman, Denmark, Norwegia dan Swedia.