Saya Sempat Terjatuh di Jalan Es
Sebetulnya perjalanan ke Royken tidak masuk rencana. Namun, nama desa ini mirip nama saya sehingga saya penasaran.
Setelah beberapa pekan mengayuh sepeda di jalan yang berselimut salju, baru di Oslo, Norwegia, saya terkena musibah. Saya jatuh terpeleset pada salju yang membatu akibat licin. Namun, insiden tersebut tidak menimbulkan cedera serius.
Musibah itu terjadi dalam perjalanan dari Oslo menuju Royken pada Sabtu, 20 Januari 2024. Pagi tersebut suhu udara mencapai minus 20 derajat celsius. Bahkan, data yang tampak pada strava tertulis suhunya terasa minus 24 derajat celsius.
Setelah selesai persiapan, kami berdoa, memohon bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa agar melindungi hingga mencapai finis. Jauhkan kami dari segala gangguan, baik kecelakaan, kejahatan, maupun cuaca buruk. Bahkan, selalu berikan kami kesehatan dan kebahagiaan selama perjalanan.
”Black Ice”
Seusai berdoa, tepat pukul 08.41, saya mulai mengayuh sepeda di tengah salju yang masih menebal. Badan jalan pun tertutup salju. Bahkan, di lokasi tertentu, salju yang ada sudah mengeras dan membatu. Salju seperti ini disebut black ice.
Saya sempat melewati bagian salju yang membatu. Ternyata jalan itu sangat licin. Ban belakang sepeda seketika terpeleset. Saya pun refleks menurunkan kaki untuk menjaga agar tetap seimbang, ternyata kaki juga ikut terpeleset karena licin. Saya pun terpelanting.
Beruntung saya mengenakan helm tebal khusus salju dan pakaian dingin beberapa lapis sehingga posisi kepala dan anggota tubuh lainnya tetap aman. Tidak mengalami cedera yang serius. Memang musim dingin seharusnya melakukan olahraga ice skating bukan mengayuh sepeda seperti saya.
Sebetulnya perjalanan ke Royken tidak masuk dalam rencana. Seharusnya dari Oslo bergerak ke selatan menuju kota Fredrikstad. Namun, nama desa ini mirip nama saya sehingga menimbulkan penasaran. Apakah ada makna khusus dari kota tersebut? Ada apa di Royken?
Letak kedua daerah berbeda arah. Untuk menuju ke Royken, dari Oslo saya bergerak ke arah barat daya. Kontur jalannya naik dan turun selama beberapa kali. Suhu dingin terasa sangat menyengat.
Di kiri dan kanan jalan tampak cukup banyak area bermain ice skating. Pesertanya lumayan banyak. Dalam benak saya berpikir bahwa berolahraga seharusnya menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Musim dingin adalah waktunya bermain ice skating, bukan gowes. Tak mengherankan orang-orang Eropa di beberapa negara yang saya lewati sebelumnya selalu mengatakan bahwa saya gila. You are crazy man!
Bertemu wartawan
Tidak jauh dari Oslo, saat mengisi bahan bakar mobil, kami berjumpa dengan seorang lelaki setengah tua. Dia penasaran dengan penampilan saya mengayuh sepeda dan ada juga mobil bernomor polisi B yang belum pernah terlihat di negara itu dan wilayah Eropa lainnya.
Dia pun mendekat dan menyapa. Kami kemudian berkumpul di sebuah kedai dalam kawasan itu. Dia bertanya banyak hal. Saya menjelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia. Saya bersepeda dari Jakarta sejak 8 Juli 2023. Dia begitu antusias lalu mengontak seorang wartawan agar datang menemui kami di kedai tersebut.
Tak lama berselang wartawan pun tiba. Dia menanyakan perjalanan saya dan lainnya serta melakukan pengambilan foto, lalu kembali ke kantornya. Satu jam berikutnya terbitlah berita pada media daring setempat bernama Budstikka News.
Berita tersebut intinya mengabarkan tentang saya bersepeda keliling dunia. Bahkan, mampu gowes di tengah suhu yang sangat dingin. Padahal, saya berasal dari wilayah tropis. Lumayan, akhirnya kegiatan saya mendapatkan publikasi di Eropa.
Sekitar pukul 12.30, saya tiba di Royken dengan menempuh jarak kurang lebih 40,9 kilometer. Total ketinggian mencapai 542 meter. Suhu masih tetap dingin dengan salju yang cukup tebal. Kami singgah di sebuah restoran untuk makan siang.
Penasaran mengapa desa itu bernama Royken, saya akhirnya menanyakan kepada beberapa warga setempat yang ada di restoran. Akan tetapi, tidak seorang pun yang tahu.
Akhirnya secara berkelakar saya menyampaikan ke beberapa orang yang ada bahwa Royken berasal dari nama Royke, seorang pemuda setempat yang pada masa lalu gemar bersepeda. Dia begitu populer di wilayah itu.
Pada suatu ketika dia mengayuh sepeda melewati jalan tanjakan demi tanjakan di desa tersebut. Dia keyapahan. Melihat ini, teman-temannya memberikan semangat dengan mengatakan, ”Ayo Royke gasken, gasken.” Maka sebutan Royke gasken kemudian disingkat menjadi Royken. Maka sejak itu desa ini pun bernama Royken.
Itu kelakar saya bukan cerita yang sebenarnya. Itu ilusi saya. Selesai makan siang, saya loading ke kota Fredrikstad sejauh 93 kilometer. Suasana dingin di dalam mobil yang tanpa pemanas menjadi tantangan besar selama perjalanan.
Setiap lima menit kami harus menyemprot kaca depan dengan cairan anties agar terhindari dari gumpalan salju yang mengeras. Menjelang sore, kami tiba di kota itu dan menginap semalam.
Suhu udara membaik
Keesokan harinya, yakni Minggu, 21 Januari 2024, saya menyempatkan diri bersepeda ke sejumlah tempat di dalam kota Fredrikstad. Cuaca masih sangat dingin dan bersalju tebal. Kondisi ini diperparah dengan terpaan angin yang cukup kencang sehingga menambah rasa dingin.
Setelah mencapai jarak kurang lebih 14,16 kilometer, saya memilih loading menuju kota Helsingborg, Swedia. Kami sempat melintas di pos perbatasan Norwegia-Swedia. Di situ kami juga melakukan ritual perbatasan, yakni mendengarkan lagu kebangsaan Norwegia dan menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”.
Pada Senin, 22 Januari 2024 pagi, saya mengayuh sepeda dari Helsingborg menuju ke Kopenhagen, ibu kota Denmark. Kondisi udara pagi itu cukup bagus. Suhu udara tidak lagi di bawah nol derajat, melainkan 8 derajat celsius. Tidak ada salju. Pemandangan benar-benar menggembirakan.
Saya pun mulai mengurangi pakaian antidingin. Tidak lagi mengenakan jaket tebal dan cukup menggunakan jaket tahan angin yang lebih tipis. Kalau saya memakai jaket hitam atau oranye, berarti suhu yang ada mencapai minus 15 derajat celsius atau lebih. Sebaliknya, mengenakan jaket warna hijau berarti suhunya mendekati atau di atas nol derajat celsius.
Sekitar pukul 08.20, saya bersepeda langsung menuju dermaga untuk menyeberang dengan kapal menuju kota Helsinrong, Denmark. Kapal feri yang mengangkut kami hari itu ukurannya jauh lebih kecil dari kapal-kapal sebelumnya. Jarak pelayaran lebih pendek, yakni hanya satu jam. Setiap 20 menit ada kapal yang berlayar.
Setibanya di Helsinrong, saya melanjutkan bersepeda ke arah selatan. Angin kencang menyusuri pantai, sepanjang jalan nyaris tak ada lagi salju. Ini suatu pengalaman luar biasa yang sangat membahagiakan setelah selama beberapa pekan setiap hari bergumul dengan salju sejak dari Polandia. Hanya ada beberapa tumpukan salju yang telah berwarna hitam.
Angin bertiup dari arah barat atau sebelah kanan saya sebab saya menuju ke selatan. Sepanjang perjalanan tampak pemandangan rumah penduduk yang cukup indah. Tertata rapi dan bersih. Setiap rumah selalu tersedia sejumlah tempat sampah. Ada khusus sampah kertas, plastik, logam, organik.
Ada pula lajur khusus sepeda. Bahkan, lajur sepeda itu menghubungkan dengan taman-taman. Di sebuah taman, saya berpapasan dengan seorang tunanetra yang berjalan sendiri menggunakan tongkat. Begitu mendekat, saya menyapanya dan dia membalasnya dengan sopan.
Dari warna kulit, dia bukan orang asli setempat. Ternyata dia asli Korea yang sudah lama menetap di Denmark dan menjadi warga negara tersebut.
Saya mencoba menawarkan diri untuk membantunya, tetapi dia mengatakan tidak perlu, sebab sudah menguasai jalan di kota itu. Dia mengaku tahu jalan yang ada hingga di rumahnya. Luar biasa. Sungguh menakjubkan.
Tiba di Kopenhagen
Pukul 13.30, saya tiba di Kopenhagen, dan langsung mencari makan siang. Sorenya saya mencari tempat cukur rambut. Kali ini saya memangkas rambut cukup pendek seperti saat masa aktif di kepolisian. Ternyata nyaman juga.
Selasa, 23 Januari 2024, saya bersepeda dari Kopenhagen menuju Ladnehuse sejauh 62,8 kilometer. Begitu mau strat pada pukul 08.20, Om Yan, sang pengemudi, menyampaikan bahwa ada sebuah kertas yang tertempel di kaca depan mobil.
Saya kemudian bertanya, apakah kertas itu berupa stiker? Om Yan mengatakan, bukan. Setelah saya membacanya, ternyata kertas tersebut adalah surat tilang dari polisi setempat. Mobil kami dinilai telah melanggar aturan memarkir mobil di depan hotel itu. Mengherankan juga, sebab malam sebelumnya saat mau parkir mobil di lokasi itu, pengelola hotel telah mengizinkan dan mengatakan tidak ada masalah.
Pembayaran dendanya harus menggunakan kartu tertentu, di mana lokasinya tidak jauh dari kawasan tersebut. Dendanya 56 euro setara Rp 954.184. Pembayaran harus melalui transfer ke bank tertentu.
Pagi itu, kami terpaksa keliling mencari bank yang dimaksud. Setelah bertemu kantor bank tersebut dan ingin membayar, ternyata petugasnya mengatakan pembayaran bukan pada kantor tersebut, melainkan di lokasi lain. Kami akhirnya menuju lokasi tersebut untuk membayar denda. Tuntas juga.
Belajar dari kasus itu, kami menjadi lebih hati-hati dalam memarkir mobil di hotel di kota-kota berikutnya. Apalagi di Eropa Barat, terutama di kota-kota besar, parkir kendaraan selalu menjadi masalah serius dan utama.
Harga parkir sengaja diberlakukan biaya mahal agar mendorong warganya beralih ke angkutan umum. Ini sesuai teori transportasi. Semakin ke pusat kota, harga parkir selalu mahal. Di Amsterdam, misalnya, di pusat kota biaya parkirnya 9 euro per jam. Bayangkan.
Jalur sepeda di Denmark memang jauh lebih lengkap dan banyak dibandingkan negara-negara sebelumnya, yakni Swedia, Norwegia, dan Finlandia, yang juga lebih baik dari negara-negara di eropa timur, seperti Polandia. Namun, Denmark, Jerman, dan Belgia masih kalah lengkap dibandingkan Belanda.
Denmark terkenal dengan transportasi sepeda yang begitu banyak. Di mana-mana kami menyaksikan orang bersepeda. Lahan parkir sepeda pun ada di mana-mana.
Denmark adalah negara maju, selain menyiapkan ruang untuk bersepeda yang besar, negara ini juga mengembangkan transportasi umum, baik bus, tram, maupun kereta api dan kereta bawah tanah yang andal. Hari itu saya menginap di kota Rudby, selatan Denmark.