Akhirnya Menaiki Balon Udara Raksasa di Cappadocia
Terdapat bukti-bukti kehidupan manusia sejak 5.000 tahun lalu di Taman Nasional Gerome, tempat yang menjadi daya tarik utama Cappadocia.
Setelah gagal sehari sebelumnya, kami akhirnya terbang menggunakan balon udara raksasa pada Jumat (24/10/2023) pagi. Sensasinya sungguh luar biasa. Dari ketinggian kurang lebih 1.500 meter, kami melihat kota Cappadocia yang indah dan bersih dengan jelas seraya menikmati matahari terbit.
Pukul 06.20, pengelola kegiatan balon udara menjemput peserta di penginapan masing-masing menggunakan mobil Mercedes Benz Sprinter. Setiap mobil mengangkut 15 orang. Tiket untuk terbang sudah kami beli sehari sebelumnya. Harganya berkisar 75 euro hingga 100 euro setara Rp 1.276.000-Rp 1.702.000 per orang.
Sekitar 20 menit sebelum terbang, semua wisatawan yang ingin mengudara sudah berkumpul di lokasi masing-masing yang telah ditentukan. Mereka berasal dari berbagai negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Salah satunya kami dari Indonesia.
Pengelola kemudian memberikan penjelasan singkat tentang tata cara terbang, regulasi, dan hal lain yang wajib menjadi perhatian selama berada di udara. Setiap balon terisi 28 orang dengan dua pendamping yang bertugas sebagai pilot dan kopilot.
Penumpang dari setiap balon pun saling berkenalan sebab umumnya berasal dari negara berbeda. Kami mencoba menjalin keakraban agar suasana di atas udara pun lebih mencair.
Menikmati matahari terbit
Tepat pukul 07.00 waktu setempat, balon-balon raksasa mulai terbang. Kurang lebih 150 balon raksasa yang mengudara. Gerakan balon ke udara menggunakan daya dorong helium atau api, sedangkan untuk terbang horizontal mengandalkan tenaga angin.
Kekuatan angin pada pagi umumnya lebih bagus daripada sore hari. Kalau cuaca buruk,balon tak sanggup naik. Begitu pula saat angin kencang. Bahkan, angin terlalu lemah juga tak akan sanggup mengudara.
Pada bagian bawah balon udara raksasa ada sebuah keranjang segi empat dengan tinggi sekitar 120 sentimeter. Bagian alas dan samping terpasang benda keras menyerupai titanium dan pada bagian atas terpasang atap yang menjadi tempat untuk helium.
Pada pinggir atap tersedia lubang untuk memasang tali yang terhubung dengan balon raksasa yang berada paling atas. Balon tersebut mengangkat kotak yang berisi para penumpang. Kotak itu terbuka tanpa kursi. Semua penumpang hanya berdiri sambil melihat panorama.
Setelah helium dinyalakan, pilot pun menggerakkan balon raksasa untuk terbang. Biasanya waktu terbang semua balon hampir bersamaan. Kalaupun berbeda, hanya dua sampai tiga menit. Warna balon pun bervariasi. Suasana ini menjadi panorama yang menarik dan unik sehingga menambah keindahan dan kegairahan pagi.
Dari sisi timur, perlahan-lahan muncul cahaya mentari yang indah. Inilah momentum yang menjadi daya tarik utama wisata balon udara raksasa. Wisatawan ingin menyaksikan matahari terbit dari udara. Panoramanya sangat menawan.
Jumlah balon yang diterbangkan tergantung pada cuaca. Waktu ideal adalah bulan Juli-Agustus. Sebab, saat itu merupakan musim kemarau dengan cuaca pagi hari yang bagus. Jumlah balon yang mengudara berkisar 300-400 unit. Harga tiket pun selalu dua kali lipat dari harga normal.
Hamparan batu vulkanik
Setelah menyaksikan matahari terbit, kami pun terbang mengelilingi kota Cappadocia seraya melintasi sejumlah titik bangunan tua dan goa-goa yang masih terawat. Ketinggian terbang balon pun diturunkan agar kami dapat melihat dari dekat bukit dan tebing-tebing yang indah.
Cappadocia terkenal dengan hamparan batuan vulkanik yang terbentuk oleh erosi gunung berapi selama jutaan tahun. Batuan itu menjadi beragam bentuk yang unik seperti menara, kerucut, lembah dan goa. Beberapa batuan itu memiliki tinggi hingga 45 meter.
Menurut Ensiklopedia Britannica, Cappadocia terletak di timur-tengah Anatolia, tepatnya berada di dataran tinggi terjal di utara Pegunungan Taurus, pusat Turki saat ini. Tampak hamparan bebatuan vulkanik lunak nan dramatis dan erosi membentuk lembah-lembah serta kerucut serta goa.
Itulah yang membuat bangunan di Cappadocia seperti tempat ibadah dan rumah, banyak terbuat dari batu dan berada di bawah tanah. Hal ini terjadi sejak era Bizantium dan Islam tersebar ke seluruh perdesaan.
Terdapat bukti-bukti kehidupan manusia sejak 5.000 tahun lalu di Taman Nasional Gerome, tempat yang menjadi daya tarik utama Cappadocia. Pada abad ketiga Masehi, misalnya, tempat itu menjadi perlindungan orang-orang yang tinggal di jaringan-jaringan formasi goa alami atau terukir dari batu lunak.
Gerome, yang merupakan rumah bagi tempat ibadah dan area perlindungan, pada 1985 ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Adapun Gerome, dikutip dari Culture Trip, adalah pusat atraksi wisata utama Cappadocia. Cappadocia bukan merupakan nama kota, melainkan wilayah.
Lokasi terbang dan pendaratan berbeda. Jarak kedua titik berkisar 7-12 kilometer, tergantung pada paket terbang yang dibeli. Semakin jauh jarak terbang, paketnya pun cenderung lebih mahal. Kurang lebih satu jam kami berada di dalam balon raksasa.
Sungguh ini sebuah pengalaman yang berharga. Berpuluh tahun hanya mendengar cerita atau membaca informasi tentang terbang dengan balon udara raksasa, tetapi baru kali ini merasakan langsung. Memang seru dan menyenangkan.
Bangunan tempo dulu
Kota Cappadocia memang indah dan unik. Keistimewaan ini sebab kota ini melewati begitu banyak perjalanan sejarah umat manusia sejak Romawi, Bizantium, hingga masuknya peradaban Islam.
Itu sebabnya ada banyak lokasi wisata menarik. Maka, sehari sebelumnya, saya pun mencoba mengunjungi sejumlah tempat bersejarah dengan bersepeda. Didukung kontur naik-turun membuat saya dapat melihat pemandangan kota dari tempat ketinggian atau yang rendah secara keseluruhan. Kekuatan sebagai kota tua sungguh nyata dan terasa.
Di kota ini berkembang begitu banyak restoran dan hotel kecil. Hotel yang ada pun selalu dengan konsep bangunan yang menarik. Misalnya, berbentuk goa, rumah tradisional masyarakat Cappadocia.
Bahkan, ada pula goa asli, peninggalan masyarakat tempo dulu, disulap menjadi penginapan yang bersih dan rapi lengkap dengan segala fasilitasnya. Harga pun cukup mahal sebab memiliki sensasi yang berbeda. Mungkin juga karena kota ini selalu menyedot jutaan wisatawan setiap tahun.
Setelah selesai menikmati kota Cappadocia dari udara pada pagi hari, sekitar pukul 12.00 saya sempat berbincang secara langsung melalui channel Youtube dengan wartawati Kompas.com, Dian Maharani. Dia menanyakan sejumlah hal seputar kisah perjalanan saya hingga masuk ke Turki.
Selepas itu, saya bersepeda lagi dengan mengambil jalur lingkar luar Coppadocia. Mulai dari Goreme menuju ke Urgup, kemudian Cavusin dan berakhir di Aktepe sejauh 30,93 kilometer. Jalannya bagus dan mulus.
Konturnya naik dan turun sehingga total ketinggian mencapai 593 meter. Suhu udara pun tetap dingin selama saya mengayuh sepeda, berkisar 5 derajat hingga 8 derajat celcius.
Selama perjalanan, saya melewati begitu banyak lokasi wisata yang indah. Bangunan tempo dulu itu terpelihara dengan baik. Lokasi-lokasi ini selalu menyedot banyak wisatawan asing.
Di tengah perjalanan, saya berjumpa dengan sejumlah anak SMA asal Indonesia yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di Turki. Mereka meluangkan waktu berlibur di Cappadocia.
Menuju Ankara
Besok harinya, Sabtu (25/11/2023) pagi, saya kembali ke lokasi penerbangan balon raksasa, ingin menyaksikan dari bawah. Ternyata cuaca pagi itu yang mendung terkategori tidak layak untuk menerbangan balon raksasa.
Maka, pukul 10.00, saya memutuskan melanjutkan bersepeda ke kota Ankara. Sejak memulai gowes, cuaca masih mendung disertai gerimis dan angin kencang. Suhu udara pun hanya 5 derajat celsius.
Saking dinginnya, saat memasuki Kilometer 32,51, saya memutuskan berhenti. Lokasi ini berada di kota Gulsehir, dekat Sungai Kizilirmak. Sungai ini cukup panjang dengan muara di Laut Hitam.
Di lokasi itu juga kami makan siang. Menunya lagi-lagi roti dicampur daging. Dalam suhu yang sangat dingin, makanan yang tersaji kami makan dengan lahapnya.
Selesai makan siang, saya memilih loading dengan mobil pengiring langsung menuju ke Ankara. Kami tiba pukul 19.30 dan menginap di Hotel Ismira.
Dapat aplaus di gereja
Besoknya, hari Minggu (26/11/2023), saya menyempatkan diri mengikuti misa di Gereja Meryam Anna. Gereja ini berada di lingkungan Kedutaan Vatikan. Berada di kawasan Cankaya. Suhu udara masih dingin disertai hujan rintik. Umat yang mengikuti misa saat itu lumayan banyak. Tetapi, dari warna kulit dan bentuk wajah sepertinya mayoritas adalah pendatang dari luar Turki.
Uniknya setelah selesai misa, ada pemberitahuan bahwa bagi umat yang baru pertama kali mengikuti ibadah di gereja itu mohon angkat tangan. Setelah itu, diminta ke depan altar untuk memperkenalkan diri.
Mula-mula ada satu keluarga dari Filipina yang angkat tangan. Mereka berjumlah tujuh orang yang datang ke Ankara untuk berwisata.
Setelah petugas bertanya lagi, apakah masih ada yang lain? Saya mencoba lihat kiri dan kanan, tetapi tidak ada yang memberikan reaksi. Saya pun mengangkat tangan, lalu maju untuk memperkenalkan diri.
Awalnya saya menginformasikan identitas saya, kemudian menjelaskan mengapa saya bisa berada di Ankara dan mengikuti misa. Saya menyampaikan bahwa saya berangkat dari Jakarta dengan bersepeda hingga di Ankara. Sampai saat itu memasuki bulan kelima dan melewati beberapa negara dan Turki adalah negara ke-11, dan selanjutnya akan menuju ke Paris.
Umat yang hadir, termasuk pastor, terheran-heran. Ada yang sampai melongo seakan tidak percaya. Tetapi, setelah itu, mereka memberikan aplaus yang luar biasa. Tepuk tangan membahana di seisi gereja.
Selesai misa, beberapa orang langsung mendatangi saya. Mereka ternyata orang Indonesia. Ada dua orang, yakni Pak Dody dan Pak Purba yang bekerja di Ankara. Kemudian, satu lagi mahasiswa, namanya Aria yang sedang kuliah mengambil jurusan sejarah.
Saya senang sekali bisa berjumpa dengan orang Indonesia di Ankara. Mereka juga memberikan apresiasi yang tinggi atas pencapaian saya bersepeda dari Jakarta. Petualangan yang nyaris belum pernah dilakukan orang Indonesia.
Hari itu juga Om Yan Kristanto tiba di Ankara dari Surabaya. Dia akan menggantikan Om Yayak yang terpaksa kembali ke Jakarta karena alasan kesehatan. Menghadapi udara dingin yang tiada hentinya membuat fisiknya sering terganggu.