Gairah Berlipat Ganda Bersepeda di China
Meski cukup melelahkan, perjalanan di rute ini cukup menyenangkan sebab mendapat sambutan dari warga setempat, terutama saat memasuki wilayah Viengphokha.
Selasa, 22 Agustus 2023, pukul 09.40, saya resmi memasuki wilayah China melalui pintu lintas batas (border) di Boten, utara Laos menuju wilayah Mohan, Yunnan, China. Urusan pada imigrasi serta bea dan cukai setempat pun berlangsung lancar. Hal ini sungguh membahagiakan sebab prosedur untuk masuk wilayah China tergolong rumit bagi saya yang membawa serta mobil pengiring dari Jakarta.
Berdasarkan catatan pada Garmin saya, saat memasuki wilayah China, total jarak yang saya lalui sejak dari Monumen Nasional (Monas) Jakarta pada 8 Juli 2023 telah sejauh 3.469 kilometer. Ternyata selama 46 hari ini saya mengayuh sepeda sudah cukup jauh.
Saat mengurus visa dan izin perlintasan mobil, pihak China langsung meminta jadwal masuk ke negeri tersebut. Kami mengusulkan tanggal 22 Agustus 2023. Usulan ini disetujui. Itu sebabnya, saya dan kru pun menyesuaikan dengan jadwal tersebut.
Begitu tiba di border Mohan pukul 09.00, saya langsung berjumpa dengan Lin alias Joey, tour guide dari Navo, agen perjalanan di China. Sejak beberapa bulan lalu, kami sudah menjalin komunikasi dengan pihak Navo setelah mengetahui bahwa Pemerintah China mewajibkan adanya registrasi bagi kendaraan bermotor dari luar negaranya, serta surat izin mengemudi sementara bagi pengemudi selama berada di China.
Demi kelancaran perjalanan, kami memutuskan menyewa jasa Navo. Tugasnya antara lain mengurus registrasi mobil. Setelah registrasi, pihak berwenang di China mengeluarkan nomor pelat sementara bagi mobil pengiring. Bahkan, Navo juga membantu mengurus SIM sementara bagi Om Yayak M Saat selaku pengemudi.
Tugas lain adalah memberikan informasi perjalanan baik rute, penginapan, makanan, tempat-tempat yang penting dan menarik di China. Termasuk juga membantu pengurusan administrasi di border masuk dan keluar China.
Atas bantuan agen perjalanan itulah urusan kami memasuki wilayah China berjalan lancar. Begitu pula saat mengurus nomor mobil dan SIM sementara di Mohan. Tidak bertele-tele. Hal ini sangat melegakan sebab sebelumnya banyak cerita yang kurang menyenangkanbagi warga asing yang membawa mobil dari negara asalnya saat masuk di China.
Pelayanan yang bagus ini juga membuat saya seolah mendapat suntikan vitamin yangmelipatgandakan semangat dan gairah untuk melakukan petualangan dari atas sadel sepeda di ”Negeri Tirai Bambu” ini. Sungguh bahagia!
China menjadi negara keenam dari 47 negara yang akan saya lewati dalam mengayuh sepeda dari Jakarta hingga Paris, Perancis. Waktu di China sama dengan waktu Indonesia bagian tengah atau lebih cepat satu jam dari waktu di Jakarta.
Wajah berbeda
Yang menarik saat berada di perbatasan Laos dan China, saya menyaksikan betapa dua negara ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Di wilayah Laos, sejak lebih kurang 50 kilometer menjelang border, kondisi jalan cukup jelek. Setiap 300-500 meter selalu dihadapi jalan yang rusak, berlubang, dan berdebu.Jika terjadi hujan, jalan itu pun becek. Pesepeda harus ekstra hati-hati sebab sering kali melintas bersama truk-truk besar.
Kondisinya kumuh dan semrawut. Padahal, jalur ini menjadi lintasan utama bagi semua kendaraan dari Laos menuju China, atau sebaliknya. Kendaraan didominasi truk besar pengangkut komoditas. Namun, begitu berada di wilayah China, keadaan berbanding terbalik. Jalan yang ada beraspal mulus, bersih, dan rapi. Di border, disediakan tempat parkir kendaraan yang luas. Suasana dan auranya sangat menyenangkan membuat kita merasa nyaman.
Setelah semua urusan di border tuntas, saya pun memulai bersepeda. Siang itu saya gowes menuju ke kota Meng La, sekitar 60 kilometer dari Mohan. Malam harinya, saya dan kru menginap di Meng La.
Rabu, 23 Agustus 2023, saya melanjutkan bersepeda ke kota Jinghong sejauh 150 kilometer. Dalam rute ini, saya melewati empat gunung sebelum masuk finis di mana ada sejumlah tanjakan yang kemudian disusul turunan panjang. Gunung pertama, puncaknya berada pada ketinggian 1.120 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dua gunung berikutnya juga memiliki ketinggian rata-rata 1.300 mpdl. Gunung yang keempat agak pendek, dengan ketinggian tidak lebih dari 1.000 mdpl. Setelah itu, melewati jalan turunan yang cukup panjang, diselingi beberapa tanjakan dan turunan (rolling) pendek. Lokasi di finis berada pada ketinggian 530 mdpl.
Kami juga mencoba kuliner setempat. Uniknya, restoran di China bagian selatan, saat memesan makanan, pengunjung yang langsung memilih bahan mentah dari makanan yang diinginkan. Setelah itu baru pengelola restoran memasak dan menyajikan kepada para pemesan.
Kebiasaan ini sama dengan yang terjadi di Laos bagian utara. Mungkin karena sama-sama berada di perbatasan sehingga sejumlah tradisi masyarakat setempat cenderung sama atau mirip sekalipun berbeda negara.
Tanjakan panjang
Jarak dari Huasai di Laos selatan hingga di Boten hanya 221 kilometer. Itu sebabnya, saya membagi dalam dua etape perjalanan. Hari pertama rute Huasai hingga Viengphoukha sejauh 121 kilometer dan hari kedua rute Viengphoukha-Boton 102 kilometer.
Saya berada di Boten sejak Minggu, 20 Agustus 2023 sore. Saya memilih tiba lebih cepat sehari dari jadwal masuk ke China. Pertimbangan utama untuk bisa istirahat sekaligus menjelajahi dan mengenal lebih jauh wilayah Boten sebagai gerbang Laos dan China.
Boten bagian dari Provinsi Luang Namtha.Ibu kota provinsi juga bernama Luang Namtha. Sama seperti di Indonesia, Provinsi Bengkulu ibu kotanya Bengkulu atau Provinsi Jambi ibu kotanya Jambi. Kota Luang Namtha berada antara Boten dan Viengphoukha. Kedua kota kecil ini sama-sama setingkat distrik.
Saya mengayuh sepeda dari Viengphoukha menuju Boten. Gowes dimulai pukul 06.30 sebab perjalanan menuju utara Laos umumnya melewati pegunungan dan bukit. Kota Viengphoukha berada pada ketinggian 600 mdpl dengan udara yang sejuk dan dingin. Malam hari, airnya terasa cukup dingin.
Hari itu masih menghadapi beberapa kali tanjakan dan turunan yang lumayan berat dan variasi. Bahkan, ada satu titik yang mana jalan tanjakannya sejauh 3 kilometer tanpa henti. Kondisi seperti ini hingga di kilometer 30.
Selepas itu, perjalanan mulai menurun, diselingi jalan mendatar, serta tanjakan halus hingga finis. Posisi kota Boten pada ketinggian sekitar 900 mdpl. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan hutan, persawahan, dan perkebunan karet yang luas. Siang itu udara pun agak mendung sehingga tidak terlalu menguras tenaga.
Persis di kiri dan kanan jalan juga terdapat cukup banyak permukiman penduduk. Hal ini berbeda dengan di Thailand. Di ”Negeri Gajah Putih” itu, di jalan arteri utama nyaris tidak ada permukiman. Yang ada hanya restoran, kafe, atau perkantoran.
Rumah-rumah warga cenderung berada pada jarak 1.000 meter dari jalan arteri utama. Pemandangan di Laos sama seperti di Indonesia, yakni perkampungan cenderung mendekat atau berada di tepi jalan raya utama.
Sepanjang perjalanan, saya juga melihat dari dekat kondisi gedung sekolah di Laos yang cukup memprihatinkan. Ada yang sudah rusak dan reot. Kondisi ini juga mirip seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun, hal ini sama sekali tidak saya saksikan di Malaysia dan Thailand.
Masyarakat Laos tergolong ramah. Sepanjang jalan, baik orang dewasa maupun anak-anak selalu aktif menyapa saya. Mereka sepertinya senang sekali melihat ada orang yang mengayuh sepeda melewati daerahnya. Anak-anak selalu menyapa saya dengan menyebut: bye bye bye.
Saya pun selalu membalas sapaan mereka dengan menyebut samadhi, terutama kepada orang dewasa. Kata samadhi mirip seperti menyebut horas saat di Sumatera Utara. Kadang saya yang lebih dahulu menyapa. Namun, adakalanya mereka yang aktif. Saya senang sekali dengan kesahajaan mereka.
Saya teringat saat bersepeda di beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami hal serupa. Anak-anak setempat selalu menyapa para pesepeda yang mengayuh sepeda dengan sebutkan: halo mister, halo mister. Sapaan itu diucapkan sebab cukup banyaknya wisatawan asing yang mengayuh sepeda melewati wilayahnya.
Sementara pada perjalanan menuju utara Laos tidak banyak dilewati pesepeda jarak jauh. Dari pemantauan saya di Komunitas Strava, jalur ini hanya dilewati sekitar 10 pesepeda dalam setahun terakhir. Artinya, masuk kategori sepi. Jadi, kalau anak-anak Laos menyapa para pesepeda dengan sebutan bye-bye menunjukkan keramahan. Kesahajaan.
Saat ini, Pemerintah Laos juga sedang mengembangkan Boten dengan membangunkawasan ekonomi baru menyerupai golden triangle dengan skala yang lebih kecil. Sejumlah pabrik dan industri mulai dibangun di wilayah tersebut. Target pasarnya adalah China.
Yang menjadi kendala di utara Laos ini adalah kondisi infrastruktur yang masih minim. Kerusakan jalan terjadi di banyak titik, termasuk menuju border yang merupakan jalur utama antarnegara. Jalan berkualitas bagus hanya terdapat di dalam kawasan border Boten yang menjadi kawasan ekonomi baru.
Lebih parah lagi koneksi internet pun masih mengandalkan jaringan 3G. Akibatnya, kecepatan pengiriman data maksimalhanya 2 megabyte per second (Mbps). Akibatnya, komunikasi pun kadang terhambat.
Upaya menghidupkan ekonomi di kawasan Boten juga tampak dari adanya kereta cepat melayani border Boten dengan Vientiene, ibu kota Laos. Kecepatannya sekitar 350 kilometer per jam. Lama perjalanan sekitar tiga jam. Investornya juga dari China.
Semula kami ingin menjajalnya, tetapi setelah menghitung waktu perjalanan pergi-pulang, maka kemungkinan takkan tepat waktu untuk pelaporan di border China di Mohan pada 22 Agustus 2023 pagi. Rencana itu pun dibatalkan. Sepintas model konstruksinya mirip dengan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Di Boten, saya sempat berjumpa dengan sepasang suami-istri yang hendak keliling dunia menggunakan mobil. Sang suami asli China, sedangkan istri asal Malaysia. Mereka juga hendak masuk ke China, tetapi belum mengurus dokumen perjalanan untuk mobil. Saya pun membagikan kontak Navo, agen yang membantu perjalanan kami di China kepada mereka.
Perjalanan ini bagi sang suami merupakan yang kedua kalinya. Kali pertama, katanya, dilakukan beberapa tahun lalu. Dia bermobil hingga di Amerika Serikat. Kali ini dia mengajak istrinya untuk berkelana bersama. Sungguh sebuah petualangan yang menarik dengan sejuta pengalaman yang berkesan.
Sehari sebelumnya, yakni Sabtu, 19 Agustus 2023, saya mengayuh sepeda dari Huasai menuju Viengphoukha. Rute ini merupakan yang terberat dalam perjalanan saya sejak dari Jakarta. Saya harus melewati empat gunung. Total ketinggian mencapai 2.113 meter.
Saya memulai gowes pada ketinggian 300 mdpl. Pada gunung pertama dan kedua menghadapi tanjakan masing-masing sejauh 3 kilometer. Setelah itu melewati gunung ketiga dengan panjang tanjakan 4 kilometer, dan gunung keempat jalan menanjak mencapai 1 kilometer. Semua tanjakan itu tanpa henti. Puncak dari gunung keempat berada pada 1.040 mdpl.
Meski cukup melelahkan, perjalanan di rute ini cukup menyenangkan sebab mendapat sambutan dari warga setempat, terutama saat memasuki wilayah Viengphokha. Mereka aktif menyapa saya. Yang anak-anak menyapa dengan menyebut: bye, bye. Orang dewasa menyapa dengan sebutan: samadhi. Saya kemudian membalas dengan mengucapkan Khob Chai, artinya terima kasih.
Tidak sedikit pula yang melambaikan tangan disertai senyum yang merekah. Cukup mengagetkan saya. Hal seperti ini tidak saya jumpai selama melewati wilayah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Viengphoukha menyerupai kampung. Tidak banyak lampu di jalan. Mungkin tidak jauh berbeda dengan beberapa wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali tahun 1990-an.
Padahal, daerah ini berada pada poros utama yang menghubungkan Laos dan China di sisi barat. Arus lalu lintas terutama truk-truk besar yang mengangkut komoditas menuju China sangat lancar. Setiap tiga menit selalu ada truk besar yang lewat menuju border Boten (Laos) dan Mohan (China).
Setelah melewati tanjakan panjang di empat gunung, ada warung di tepi jalan, saya pun beristirahat sejenak di Kilometer 60. Sempat pula tertidur selama 15 menit di bangku. Semua ingin memesan makanan, tetapi akhirnya memutuskan membeli mi instan, lalu memasak menggunakan kompor gas portable yang terangkut dalam mobil pengiring. Enak dan lezat sekali.
Sekitar 10 kilometer menjelang tiba di kota Viengphoukha dihantam hujan yang cukup lebat. Mengingat jarak dengan penginapan semakin dekat, saya tetap gowes dan tiba di finis sekitar pukul 17.15.
Kota kasino
Sebelum meninggalkan Hausai, pada Jumat, 18 Agustus 2023, saya mengunjungi lagi golden triangle. Kali ini ingin menjelajahi kawasan ini. Ingin melihat lebih jauh perkembangan kota baru yang dikerubuti para investor dari China tersebut.
Pembangunan kota ini memang belum sepenuhnya selesai. Infrastruktur dasar, antara lain jalan, juga belum seluruhnya teraspal. Namun, hotel berbintang, apartemen, restoran, kafe, dan pertokoan terus menggeliat. Sementara gedung perkantoran nyaris tidak ada.
Yang paling menonjol adalah kasino yang beroperasi di banyak tempat. Kasino boleh dibilang sebagai kekuatan yang ditawarkan kepada wisatawan. Kasino juga layaknya menjadi hiburan yang paling dicari para pelancong di kota yang berada persis di Sungai Mekong ini.
Siang itu, saya sempat mengayuh sepeda sejauh lebih kurang 25 kilometer sepanjang bentangan border tepi Sungai Mekong yang membatasi wilayah Laos dan Myanmar. Dari Laos, saya bisa melihat dengan jelas permukiman warga dan kondisi wilayah di Myanmar.
Setelah itu, kami kembali lagi ke Huasai. Kali ini kami menginap pada penginapan di tepi Sungai Mekong, namanya River Side. Hotelnya bersih dan apik. Saya memilih di lantai 4 agar bisa melihat dengan jelas wilayah Chiang Khong, Provinsi Chiang Rai, Thailand, yang hanya terpisahkan oleh aliran sungai tersebut.
Kami juga mencoba menjajal kuliner yang ada di restoran tepi Sungai Mekong. Ada sup ikan Mekong. Ikan diolah mirip kuah asam di Indonesia timur, tetapi rasanya lebih enak.
Cuci pakaian
Yang biasanya cukup rumit dalam perjalanan jauh seperti ini adalah urusan mencuci pakaian. Persoalan ini sudah kami pikirkan sejak masa persiapan di Jakarta.
Kami membuat kebijakan bahwa pakaian kotor hanya boleh dicuci di setiap kota yang waktu istirahatnya lebih dari sehari. Kurun waktu yang lama memungkinkan pakaian yang dicuci, seperti celana dan baju bisa kering maksimal.
Sementara pakaian ukuran kecil, seperti sarung tangan dan kaus kaki, bisa dicuci setiap sore setelah menyelesaikan perjalanan. Makanya, jika tiba di finis, setelah beristirahat sejenak saya langsung mandi dan mencuci sarung tangan atau kaus kaki lalu menjemurnya di tempat yang tepat. Esok paginya sudah mengering.
Khusus jersei yang basah akibat terkena hujan selama perjalanan, begitu tiba di finis, saya langsung jemur. Setelah kering akan dimasukkan ke dalam kantong pakaian kotor dan baru dicuci saat mendapatkan waktu istirahat panjang. Istirahat panjang biasanya setiap lima atau enam hari sekali.
Jadi, istirahat seperti ini tidak semata-mata untuk pemulihan fisik, tetapi juga untuk menyuci pakaian kotor. Selama ini istirahat panjang pernah dilakukan di Jambi, Batam, Kuala Lumpur, Penang, Bangkok, dan Huasai. Sejauh ini skenario yang kami rencanakan ini berjalan cukup efektif. Urusan mencuci pakaian pun tidak mengalami kendala yang serius.
Dari kota Jinghong, saya pun bergerak ke utara, kemudian nantinya ke arah barat, dan akan keluar menuju Nepal. Perjalanan menuju ke perbatasan China dan Nepal kemungkinan memakan waktu lebih kurang sebulan.