Tepat Sebulan, Pesepeda dari Jakarta Tiba di Bangkok
Kurang lebih pukul 14.00, saya sudah tiba di Bangkok. Saat itu terjadi kemacetan parah di ibu kota Thailand tersebut. Saya memutuskan tidak masuk tengah kota, tetapi memilih jalur pinggir kota menuju utara Bangkok.
Selasa (8/8/2023) sekitar pukul 04.00, saya terbangun. Badan terasa sangat fit setelah beristirahat cukup lama sejak Senin (7/8/2023) sore. Saya pun memutuskan untuk bersepeda lebih dini. Hari itu, saya bersepeda dari Hua Hin menuju Bangkok, ibu kota Thailand. Hari ini juga genap sebulan saya mengayuh sepeda yang dimulai dari Monas, Jakarta, dengan total jarak telah mencapai 2.450 kilometer dan total ketinggian 12.327 meter.
Setelah menyiapkan diri dengan baik, tepat pukul 04.45 waktu setempat, saya memulai gowes. Sementara ketiga teman seperjalanan masih tertidur nyenyak. Saya sengaja tidak membangunkan mereka. Biarkan mereka menikmati tidur yang pulas.
Sebelum berangkat, saya hanya menyampaikan pesan via Whatsapp kepada Om Yayak selaku manajer touring bahwa saya jalan duluan. Saya sudah bangun tidur pada pukul 04.00. Badan terasa sangat segar dan prima. Daripada tidur lagi lebih baik mengayuh sepeda mulai dini hari.
Gowes pagi itu sungguh mengasyikkan. Jalan pun masih sepi dari lalu lalang kendaraan bermotor. Tetapi, lampu jalan menyala terang benderang di kiri dan kanan badan jalan. Jalan lebar serta beraspal mulus. Saya juga tetap menyalahkan lampu sepeda di bagian depan dan belakang. Tiupan angin pantai yang begitu menyegarkan menyemangati kayuhan saya.
Lebih menarik lagi, di Thailand pun selalu tersedia lajur khusus sepeda sehingga saya bersepeda dengan nyaman. Adanya lajur khusus sepeda ini saya lihat mulai dari Singapura, Malaysia, hingga Thailand. Itu tidak hanya di kota, melainkan juga di luar kota.
Artinya, sejumlah negara di Asia Tenggara telah memberikan perhatian yang serius dan meluas terhadap keselamatan para pesepeda. Secara tidak langsung mendorong warga untuk giat bersepeda jarak jauh. Ini sungguh membanggakan. Mungkin kebijakan ini bagian dari gerakan menyelamatkan bumi. Bersepedalah ke mana pun untuk menyelamatkan bumi.
Hua Hin merupakan salah satu daerah wisata favorit di Thailand. Letaknyaberseberangan dengan dari Pataya. Sama-sama wilayah pesisir dari kawasan Teluk Bangkok. Kedua daerah mengapit Bangkok. Hua Hin berada di barat daya Bangkok, sedangkan Pataya berada di sebelah tenggara dari Bangkok.
Perjalanan menuju Bangkok sejauh 147 kilometer itu cukup lancar. Jalan yang ada umumnya landai. Nyaris tidak ada tanjakan ataupun tanjakan yang diselingi turunan (rolling). Saat memasuki Kilometer 60, Om Yayak dan dua rekan lainnya pun tiba dalam perjalanan dari Huan Hin. Mereka bangun tidur sekitar pukul 05.30, lalu 30 menit sesudahnya langsung berangkat menggunakan mobil pengiring, yakni double cabin Toyota Hilux.
Kurang lebih pukul 14.00 saya sudah tiba di Bangkok. Saat itu terjadi kemacetan parah di ibu kota Thailand tersebut. Saya memutuskan tidak masuk tengah kota, melainkan memilih jalur pinggir kota menuju utara Bangkok. Kami menginap di wilayah utara agar memudahkan saat keluar dari Bangkok menuju kota berikutnya ke arah utara. Bangkok termasuk salah satu kota dengan kemacetan terparah.
Di Bangkok, saya memutuskan menginap dua malam. Hari berikutnya, yakni Rabu, 9 Agustus 2023, mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di tengah kota. Saya bertemu dengan Dubes Pak Rachmat Budiman dan stafnya. Termasuk Atase Kepolisian KBRI Bangkok Kombes Endon Nurcahyo. Saya menyerahkan plakat dari Pensiunan Polri. Perkumpulan Pensiunan Polri memang sengaja menyiapkan 47 plakat yang akan saya serahkan kepada 47 Kedubes RI yang dilewati dalam bersepeda dari Jakarta hingga Paris.
Sehabis itu, saya meluangkan waktu menjajal jalur sepeda (Sky Line) Suvarnabhuni di Bangkok sejauh 23,5 kilometer yang terletak di samping Bandar Udara Suvarnabhuni. Untuk bermain di dalamnya, peminat terlebih dahulu mendaftarkan diri dengan menunjukkan paspor dan identitas lainnya, lalu diberikan tanda pengenal berupa gelang RFID warna biru. Fungsi gelang, antara lain, untuk membuka portal saat memasuki jalan tol yang mengeliling danau yang ada.
Setiap akhir pekan, para pesepeda berjubel menjajal jalur sepeda ini. Jumlahnya bisa mencapai kurang lebih 3.000 pesepeda. Ada beberapa pilihan bagi pesepeda yang menjajal. Bisa memilih mengikuti pleton cepat, menengah, pelan, atau bersepeda seorang diri.
Tersedia dua jalur. Ada jalur warna biru untuk kecepatan normal dan jalur warna ungu untuk pleton cepat atau kebut-kebutan. Ketika sudah berada di dalam jalur, pesepeda wajib menuntaskan rute yang tersedia sejauh 23,5 kilometer, dan dilarang berbalik arah. Di dalam kawasan itu tersedia kamar mandi, kamar kecil, restoran, kafe, termasuk toko sepeda.
Malam harinya, saya dijamu makan Pak Endon Nurcahyo. Dia mengajak juga sejumlah pesepeda di Bangkok. Ada warga Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Thailand. Ada pula yang pesepeda asli orang Thailand.
Mereka banyak bertanya seputar rencana kayuhan saya dari Jakarta hingga Paris. Ada yang mengaku suka touring sepeda jarak jauh, tetapitidak mencapai ribuan kilometer dan selama berbulan-bulan. Mereka memberikan apresiasi kepada saya, dan mendoakan agar perjalanan ini selalu lancar.
Bertemu lagi dengan kru
Dalam mengayuh sepeda menuju Bangkok, saya dan kru sempat berpisah. Dua anggota, yakni Om Yayak M Saat dan Dimas GA Priyanto, harus berpisah karena kembali lagi ke border Dannok dan Betong untuk menyelesaikan izin masuk mobil pengiring ke Thailand pada 2 Agustus 2023. Selama dua hari kami berpisah.
Kami baru berjumpa lagi pada Jumat, 4 Agustus 2023, dalam perjalanan dari Nakhon Si Tammarak menuju Surat Thani, persisnya di Kilometer 90 dari 145 kilometer yang dilalui, saat menjelang makan siang. Pagi hari itu gowes sendiri. Om Stefi Oswald Wungkana yang dua hari terakhir bersama saya pagi itu menunggu Om Yayak dan Dimas di kota Nakhom Si Tammarak.
Rasanya senang sekali, akhirnya kami berempat dapat berkumpul kembali. Mobil pengiring pun tetap bersama kami. Dua hari sebelumnya, perhatian saya harus terbagi dua. Setiap kali istirahat saya perlu mengecek keberadaan Om Yayak dan Dimas bersama mobil.
Setelah tim sudah lengkap, perjalanan semakin lancar. Embusan angin masih cukup kencang, tetapi tidak menjadi hambatan serius. Beberapa kali saya berlindung di belakang mobil untuk menghindari angin kencang yang menguras tenaga.
Yang menarik pada rute ini adalah bangunan rumah adat yang berbentuk rumah panggung. Berbahan baku kayu tidak jauh berbeda dengan rumah-rumat ada di Sumatera, bahkan di Minahasa, Sulawesi Utara. Yang unik lagi adalah banyaknya patung ayam jantan. Ada yang ditempatkan di tepi jalan. Ada pula yang dipasang di depan rumah. Dalam tradisi masyarakat Thailand, ayam jantan dianggap sebagai dewa yang memberikan jalan menuju kemakmuran dan kekayaan. Mereka selalu berdoa di depan patung ayam.
Persoalan terbesar berada di Thailand adalah bahasa. Masyarakat setempat tidak banyak yang mampu berbahasa Inggris. Maka, saat berada di warung atau restoran saya mengandalkan terjemahan suara melalui Google. Ini sangat membantu dan memudahkan dalam berbelanja atau bertanya seputar rute perjalanan dan informasi lainnya.
Persoalan lain adalah makanan. Rasa makanan di wilayah Tengah Thailand sedikit asam dan asin sehingga kurang nyaman di lidah. Tetapi, suka atau tidak suka, saya harus tetap memakannya agar memiliki energi untuk tetap mengayuh sepeda.
Hari berikutnya, saat melewati rute Surat Thani menuju Mu Ban Thep Thani sejauh 148 kilometer, kami juga masih menghadapi angin kencang. Di kilometer 10, saya bertemu dengan seorang warga lokal yang sedang bersepeda menuju rumahnya yang lain.
Kami gowes bareng selama kurang lebih 20 kilometer. Dia mengaku sebagai perajin bambu. Dia meminta nomor kontak dan nama akun media sosial saya. Lelaki setengah baya itu mengaku ingin mengikuti laporan perjalanan saya hingga Paris.
Selang beberapa kilometer berikutnya, saya bertemu lagi dengan pesepeda lainnya. Sepedanya dipasangkan dengan panier dengan mengangkut sejumlah barang. Katanya dia ingin ke Chiang Mai, lalu berlanjut menuju Laos.
Tidak lama kemudian, dua ban sepeda kempis sekaligus akibat terkena kayu saat saya gowes berlindung di belakang mobil. Kejadian ini merupakan kedua kalinya sejak gowes dari Jakarta. Kami istirahat sejenak untuk mengganti kedua ban dalam sepeda. Setelah itu melanjutkan kayuhan.
Perjalanan hari itu menghadapi suhu udara melebihi 40 derajat celsius. Saya terpaksa berhenti beberapa kali untuk minum air dan istirahat sejenak. Saya juga meminum air kepala muda. Rasanya manis dan segar. Air kepala muda Thailand memang terkenal paling manis dan berkualitas terbaik di dunia. Aromanya pun lembut. Kelapa ini merupakan varietas lokal, yakni nam hom atau air harum. Buahnya dipetik saat berusia 28-32 hari, saat itu kepadatan nutrisinya sudah mencapai puncak.
Ban sepeda kempis kembali pada kayuhan dari Mu Ban Thep Thani menuju Phurak sejauh 154 kilometer, Minggu, 6 Agustus 2023. Baru gowes 14 kilometer, kasus tersebut terjadi akibat terkena serpihan kaca. Akhirnya, saya putuskan mengganti sepeda dari warna biru dengan sepeda berwarna merah putih bertuliskan Indonesia dan Royke World Cycling.
Saya berhenti sejenak di Kilometer 87,87. Mendapatkan angka unik seperti ini saat gowes tidak mudah. Itu sebabnya saya abadikan. Secara umum perjalanan hari itu lancar dan aman. Kami tiba di Phurak menjelang petang. Penginapan yang ada umumnya berupa motel, sebab hanya menjadi tempat transit.
Fisik sempat drop
Senin, 7 Agustus 2023, saya bersepeda dari Phurak menuju Hua Hin sejauh 149 kilometer. Sebetulnya sejak bangun pagi, kondisi badan saya terasa kurang fit. Akan tetapi, saya mencoba bersepeda saja barangkali setelah berkeringat mungkin kondisinya kembali pulih.
Kayuhan sepeda saya terus melaju. Namun, fisik saya tidak juga membaik. Saya akhirnya memutuskan mengurangi kecepatan. Gowes sesuai kemampuan fisik. Saya terus mencoba hingga di Kilometer 102. Di situ, saya dan kru makan siang.
Setelah itu, tersisa 47 kilometer hingga Hua Hin, saya memutuskan untuk loading. Saya membutuhkan waktu untuk istirahat dan tidur lebih lama lagi. Maka, begitu tiba di penginapan di Hua Hin, saya langsung tidur. Sangat nyenyak.
Sebetulnya sehari sebelumnya melalui Garmin, saya sudah diingatkan agar hari itu harus istirahat dengan waktu tidur yang lebih lama. Saya melawan karena melihat situasi di Phurak yang tidak memungkinkan. Saya memutuskan tetap melanjutkan gowes, dan ingin istirahat di Bangkok.
Nyatanya, fisik saya drop sebelum tiba di Bangkok. Saya harus berhenti di Kilometer 102. Di Hua Hin saya bisa tidur dan istirahat guna memulihkan fisik dengan baik. Setelah tidur nyenyak cukup lama di Hua Hin, esok paginya saat bangun tidur kondisi fisik saya pulih kembali. Saya pun melanjutkan bersepeda hingga tiba di Bangkok dengan penuh semangat.
Baca Juga: Agustus Ini, Saya Lebih Banyak Berada di Thailand
Yang menarik dari rute Phurak-Hua Hin adalah di sepanjang jalan sejauh 149 kilometer itu pada kiri dan kanan jalan dipenuhi pohon kelapa. Jumlahnya ribuan pohon dalam jarak yang cukup dekat dan berbuah lebat. Saya yakin para petani setempat pasti selalu mendapatkan keuntungan sehingga bersedia menjaga dan merawat dengan begitu bagus. Hamparan pohon kelapa seperti ini belum pernah saya temui di wilayah sentra kelapa di Indonesia, seperti di Sulawesi Utara.
Hebatnya lagi, pada batang pohon kelapa tidak ada trap yang dibuat untuk menjadi pijakan dalam memanjat untuk memetik buah seperti yang terjadi pada pohon kelapa di Indonesia. Ternyata, di Thailand, pemetik kelapa bukan petani atau buruh tani, melainkan monyet yang terlatih. Seekor monyek sanggup memetik puluhan pohon kelapa dalam sehari. Luar biasa.
Saat ini, saya terus bergerak ke arah utara. Beberapa hari ini saya masih mengayuh sepeda di wilayah Thailand. Jika perjalanan lancar, pada Selasa, 15 Agustus 2023, saya masuk wilayah Laos. Mohon doanya, ya.