Selaras dengan musim semi yang sudah di ambang pintu, kuntum-kuntum sakura pun bermunculan di Istana Gyeongbokgung. Untaian kuncup menjelang mekar sungguh selaras dengan pariwisata Korea Selatan yang kembali mengembang.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Pengunjung Istana Gyeongbokgung kini bisa lebih lega menambah wawasan tentang sejarah kerajaan Korea Selatan seiring meredanya pandemi. Pelancong dengan pakaian berwarna-warni cemerlang turut menyiratkan pariwisata yang semakin cerah.
Pergantian penjaga berbaju tradisional Korsel menyambut tamu-tamu Istana Gyeongbokgung di Seoul. Mereka spontan mencuri perhatian dengan paradenya. Seragam yang berlabur merah, kuning, dan biru berpadu panji-panji ungu berlambangkan naga.
Para pengawal mengenakan topi, menggenggam busur, menjinjing pedang, dan menggenggam tombak yang asyik untuk ditelaah, terlebih bagi wisatawan asing. Mereka beranjak mengitari gerbang megah dengan atap melengkung khas Asia Timur.
Upacara itu mengantar pengunjung menapaki pelataran luas menuju bangunan utama, Balai Geunjeongjeon. Jika diterjemahkan secara bebas, geunjeong mengusung pesan untuk memperhatikan seluruh urusan negeri dan memerintah dengan baik. Tak heran, Balai Geunjeongjeon mewadahi berbagai seremoni.
Aparat sipil dan militer menggelar apel pagi, ujian kenegaraan, pertemuan utusan dari luar negeri, sampai penobatan raja. Bangunan tersebut pernah terbakar saat penyerbuan Jepang tahun 1592. Simbol martabat, kemewahan, dan kewibawaan raja itu kemudian dipugar pada tahun 1867.
Kisah tak kalah mengharu biru berlangsung di Istana Geoncheonggung. Permaisuri Myeongseong tewas di tangan agen Jepang di huniannya, Gonnyeonghap, tahun 1895. Raja Gojong pun hengkang, disusul Jepang yang menghancurkan kediamannya pada tahun 1909, hingga baru dipulihkan hampir seabad berselang.
Terdiri atas 11 tujuan klasik, cagar budaya tersebut didominasi balai seperti Sujeongjeon, Gangnyeongjeon, Jibokjae, Jagyeongjeon, Donggung, dan Sajeongjeon. Sampai tetek bengek macam Dapur Naesojubang, Oesojubang, dan Saengmulbang pun bisa diamat-amati.
Terbentang dengan luas sekitar 410.000 meter persegi, tentulah Istana Gyeongbokgung seyogianya dikunjungi dengan fisik yang bugar jika berniat menghampiri semua bangunan. Rombongan yang singgah atas undangan Netflix berasa gempor juga berkeliling selama sekitar tiga jam.
”Untung masih lumayan pagi. Tenaganya masih banyak,” kata Bobby Wisnu Rahardjo (39) yang memandu tiga jurnalis asal Indonesia sambil tertawa. Sebelum menghadiri APAC Film Showcase dan konferensi pers Kill Boksoon, mereka menikmati pesona Istana Gyeongbokgung.
Beruntung, meski berjalan-jalan hingga siang, hawa di pengujung musim dingin pada Maret 2023 itu masih mendekap pelancong. Terik mentari dan gerah tak terasa, malah suhu sempat anjlok hingga 3 derajat celsius saat pagi dengan kabut tebal yang membatasi pandangan hanya beberapa puluh meter.
Kuntum sakura
Selaras dengan musim semi yang sudah di ambang pintu, kuntum-kuntum sakura bermunculan pula. Istana Gyeongbokgung memang tujuan papan atas di Korsel untuk menyaksikan keindahan bunga tersebut. Untaian kuncup menjelang mekar itu sungguh sinkron dengan turisme yang kembali mengembang.
Setelah dua tahun didera pandemi, negara yang termasuk paling ketat memberlakukan regulasi pencegahan Covid-19 di Asia tersebut berangsur-angsur membuka pintu hingga karut-marutnya dengan China soal keimigrasian melunak tiga bulan lalu.
Kesemarakan ikut bersemi lagi di Istana Gyeongbokgung dengan tetamu yang mengenakan hanbok berkelir menyala. Sejak beberapa ratus meter dari gerbang saja, kelokalan sudah merebak dengan muda mudi bersetelan khas ”Negeri Ginseng” yang berlalu lalang.
Ternyata, mereka yang turut memampangkan kebanggaan akan hanbok diapresiasi dengan memasuki Istana Gyeongbokgung tanpa dipungut bayaran. Anak-anak hingga pelawat dari Barat berpadu padan putih, hitam, kuning, dan ungu hilir mudik dengan wajah semringah.
Kawanan gadis berhanbok dengan gaya kenes juga berfoto di tepi mata air Yeolsangjiwon. Aliran menuju Telaga Hyangwonji menghamparkan refleksi bagai cermin yang elok hingga menahan langkah mereka. Sumber kehidupan yang segar dan jernih menjadi penawar dahaga keluarga kerajaan, penggawa, dan dayang.
Terlebih, Istana Gyeongbokgung berlatarkan keindahan Gunung Baegaksan yang menggoda warganet untuk mengabadikan momen dan memajangnya di media sosial. Beberapa bebek cantik juga berenang ditingkahi murai eurasia yang berkaok-kaok di sela pohon.
Beberapa pria paruh baya menyelonjorkan kakinya seraya beristirahat. Hari begitu cerah ceria sampai-sampai seorang dara tak tahan untuk bernyanyi dengan lantang sembari mengayunkan langkahnya yang diikuti senyum sejumlah pelanglang lain.
Marvela (24), wisatawan asal Tangerang, Banten, mengaku takjub dengan keramaian di Istana Gyeongbokgung dan banyaknya pengunjung yang tak memakai masker. ”Aku tetap merasa aman karena tempatnya luas dan terbuka. Benar-benar seperti zaman kerajaan, padahal di tengah kota. Bagus banget,” ucapnya.
Berdasarkan keterangan yang tercantum pada papan informasi, istana utama trah raja-raja Joseon itu didirikan pada tahun 1395. Yukjo-geori atau pusat politik dan ekonomi yang saat ini disebut Sejong-ro juga bisa dipandangi di kejauhan.
500 gedung
Pada puncaknya atau abad ke-19, sebanyak 500 gedung tersebar di Istana Gyeongbokgung, namun lebih dari 90 persen hancur akibat Pameran Produk Industri Joseon tahun 1915. Pemerintah Korsel lantas memulihkan warisan adiluhung itu sejak tahun 1990.
Istana Gyeongbokgung ditata demikian apik hingga printilan semisal Sumur Sojubang pun tampak terawat. Lubang dengan kedalaman 4 meter itu ditemukan saat rekonstruksi persemayaman putra mahkota dan digali pada tahun 2005, lalu selesai direstorasi satu dekade setelahnya.
Bagi penggila drakor, lokasi shooting sejumlah tontonan hit, seperti The Moon Embracing the Sun, When My Love Blooms, dan My Sassy Girl, itu tentu sayang untuk dilewatkan. ”Buat yang suka drakor, oke banget. Apalagi, kalau pengin lebih tahu tentang sejarah,” kata Dinda Ayu (28), pelawat dari Jakarta.
Jika hendak bergaya dengan hanbok, toko busana tersebut dan penyewaannya bertebaran di sekitar Istana Gyeongbokgung. Banyak remaja memakai busana serupa kimono itu hilir mudik sampai gang-gang sempit di Bukchon, obyek wisata historis lain yang berjarak kurang dari 1 kilometer.
Tarif turis mancanegara dewasa untuk mengunjungi Istana Gyeongbokgung 3.000 won atau sekitar Rp 34.000. Sementara tiket untuk anak dan remaja yang berumur 7-18 tahun seharga 1.500 won atau Rp 16.700. Mereka yang berumur 65 tahun ke atas dan enam tahun ke bawah tak dipungut bayaran.
Istana Gyeongbokgung yang berlokasi di 161 Sajik-ro, Jongno-gu, bisa ditempuh melalui Stasiun Gyeongbokgung dengan subway atau kereta bawah tanah jalur 3 di pintu keluar 5. Stasiun lain adalah Gwanghamun dengan subway jalur 5 di pintu keluar 2.