Kemolekan Nusa Bunga
Kemolekan alam Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur memang tidak perlu diragukan. Namun, pulau berjuluk ”Nusa Bunga” ini juga menyimpan lembaran sejarah dan kekayaan budaya yang selalu menarik untuk diulik.
Kemolekan alam Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur memang tidak perlu diragukan. Namun, pulau berjuluk ”Nusa Bunga” ini juga menyimpan lembaran sejarah dan kekayaan budaya yang selalu menarik untuk diulik.
Cahaya matahari menyengat kulit di Taman Renungan Bung Karno di Kabupaten Ende, Flores, NTT, Senin (20/6/2022). Di bawah pohon sukun bercabang lima, patung Soekarno yang sedang duduk menyilangkan kaki seolah sedang berteduh.
Taman ini menjadi salah satu tempat favorit Bung Karno saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1934-1938. Ia sering merenung sambil menatap keindahan Pantai Kota Raja. Dari renungan inilah ”Putra Sang Fajar” mendapatkan inspirasi tentang nilai-nilai Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.
Jejak sejarah tersebut membuat Ende dijuluki ”Bumi Pancasila”. Salah satu bagian terpenting dalam masa pengasingan Sang Proklamator dijalani di sana.
Taman itu bukanlah satu-satunya petilasan Bung Karno di Ende. Sekitar 500 meter dari sana, terdapat rumah tua yang pernah ditinggali Soekarno bersama istrinya saat itu, Inggit Garnasih, selama diasingkan.
Patung Bung Karno dengan tongkat komando di tangan kirinya berdiri kokoh di depan rumah. Sementara di dalam rumah terdapat sejumlah barang seperti lemari dan tempat tidur peninggalan Soekarno.
Sumur dengan katrol timba di atasnya terletak di halaman belakang rumah. Saat mengunjungi Ende pada 1 Juni lalu, Presiden Joko Widodo membasuh tangannya dengan air dari sumur tersebut.
Baca juga: Petilasan Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur
Rumah itu menjadi salah satu destinasi wisata edukasi sejarah di Ende. Pengunjung datang dari berbagai penjuru daerah di Tanah Air.
”Kamarnya tidak luas. Tempat tidurnya juga sangat sederhana,” ujar Abirama (28), pengunjung asal Bali saat melongok ke bekas kamar Bung Karno berukuran sekitar 3 meter x 5 meter.
Utang Bung Karno di Ende
Setelah mengamati pemandangan laut dari taman perenungan, biasanya ”Bung Besar” berjalan kaki sekitar 650 meter ke Biara Santo Yosef yang terletak di kompleks Katedral Ende. Ia berteman baik dengan dua misionaris asal Belanda, Pater Gerardus Huijtink SVD dan Pater Joannes Bouma SVD.
Ketiganya sering berbincang di pendopo biara itu yang pada Januari 2019 dinamai Serambi Soekarno. Pater Yosef Seran SVD, pengelola Serambi Soekarno, mengatakan, Pater Huijtink dan Pater Bouma sangat bersimpati terhadap cita-cita perjuangan Bung Karno dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
”Bung Karno pun dipersilakan membaca buku yang ada di perpustakaan biara. Di sini, dia bebas membaca karena penjaga (yang ditugaskan pemerintah kolonial Belanda) tidak boleh masuk,” ujarnya.
Kedua pastor itu juga banyak membantu Bung Karno untuk menampilkan pertunjukan seni peran di atas panggung tonil. Di Ende dan beberapa tempat pengasingan lainnya, Soekarno memang pernah terlibat dalam beberapa pertunjukan seni. Namun, keduanya tidak pernah mengingat dan menghitung bantuan yang diberikan.
Akan tetapi, Bung Karno justru tidak pernah melupakan jasa sahabatnya itu. Yosef mengatakan, dalam kunjungan pertamanya ke Ende sebagai Presiden RI pada 1951, Soekarno mencari keberadaan Pater Huijtink.
”Bung Karno mengatakan masih punya utang 70 gulden. Utang itu merupakan uang sewa gedung saat menggelar pementasan tonil,” katanya.
Perjalanan di Pulau Flores semakin berkesan dengan menyinggahi Labuan Bajo. Lalu lalang turis mancanegara dan kapal-kapal pesiar menandakan kawasan bersiap menuju destinasi wisata kelas dunia. Goresan sejarah dan budaya yang dipelihara membuat Nusa Bunga semakin kaya makna.
Huijtink tak mempersoalkan utang tersebut. Namun, Bung Karno bersikeras untuk tetap membayarnya. Apalagi, Soekarno juga merasa berutang budi karena diberikan banyak asupan bacaan selama di Ende.
”Pater Huijtink pun menjawab kalau dia tidak punya permintaan lain kecuali ingin menjadi warga negara Indonesia. Permintaan ini pun dikabulkan,” ujar Yosef.
Baca juga: Harum Jasa Frans Seda, dari "Nusa Bunga" untuk Nusantara
Menurut Yosef, Pater Huijtink sangat menghormati Bung Karno karena visi besarnya mempersatukan Indonesia. Bahkan, pada masa pengasingan, Pater Huijtink sudah terbiasa memanggil Soekarno dengan sebutan ”Tuan Presiden”.
”Sepertinya beliau punya keyakinan bahwa Bung Karno akan memimpin Indonesia suatu saat. Pater Huijtink pun mendukung perjuangan kemerdekaan itu,” ucapnya.
Kampung adat
Perjalanan dari Ende menyusuri selatan Pulau Flores sungguh memanjakan mata. Biru air laut berpadu dengan deburan ombak menjadi obat melawan bosan dalam perjalanan berjam-jam. Gunung-gunung berselimut kabut tipis menyuguhkan pemandangan alam yang menyegarkan pandangan.
Flores kaya akan budaya. Kampung adat menjadi salah satu magnet wisata yang mengundang minat pelancong. Salah satunya Kampung Adat Bena, Kabupaten Ngada, berjarak sekitar 130 km dari Ende.
Hujan mengguyur Kampung Adat Bena, Jumat (24/6/2022). Namun, air hujan tidak melunturkan keindahan perkampungan megalitikum itu.
Puluhan rumah adat berdiri memanjang pada dua sisi di tanah bertingkat. Di tengahnya terdapat beberapa pondok kecil berbentuk kerucut.
Bena terletak di sisi timur Gunung Inerie. Posisinya diapit perbukitan yang ditumbuhi rimbun pepohonan. Kampung ini dapat diakses dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, dengan menempuh perjalanan darat sekitar 15 km.
Budaya menenun masih terus terjaga. Hasil tenun mama-mama dipajang di halaman rumah. Mereka menjualnya kepada wisatawan sehingga memberikan manfaat ekonomi bagi warga.
Baca juga: Jembatan Bambu Penyambung Kekerabatan Antaranak Suku
Berjarak 18 km dari Bena, anak-anak berlarian mengejar bola di Kampung Adat Wogo, Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Ngada. Semua rumah warga di kampung terbuat dari bambu, kayu, ilalang, dan ijuk.
”Kami di sini mengandalkan budaya. Jadi, budaya leluhur terus dipertahankan, termasuk dalam membangun rumah,” ujar Marselus Selu (64), warga Kampung Wogo.
Sejumlah warga di kampung itu dikenal sebagai pelestari alat musik tradisional Ngada, seperti foy doa, foy pai, dan bombardom. Ketiganya merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu.
Di Desa Nginamanu, mama-mama anggota Kelompok Subinana duduk berkumpul di teras rumah sambil menganyam bambu. Mereka membuat beragam produk anyaman, seperti mbere (wadah sirih dan pinang yang dipakai saat upacara adat), tas, dan polybag.
Sovia Mako (72), anggota Kelompok Subinana, mengatakan, saat ini, sudah jarang anak muda yang terampil menganyam. Padahal, keterampilan itu merupakan budaya leluhur yang diwariskan lintas generasi.
”Saat saya remaja pada 1960-an, hampir semua anak suka menganyam bambu. Namun, kondisi sekarang berbeda. Anak-anak sibuk main handphone. Sekarang kami coba ajak anak-anak belajar menganyam agar tradisi ini tidak hilang,” katanya.
Baca juga: Tangguh “Mama Bambu“ Pulihkan Ekonomi dan Ekologi
Sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Nginamanu, Severinus Do (68) menunjukkan tempat ritual adat di Kampung Adat Wolowea, Kabupaten Nagekeo, Flores. Di lokasi itu terdapat dua tiang kayu bercabang dua yang disebut peo. Tiang itu merupakan simbol leluhur perempuan dan laki-laki.
Di tempat inilah masyarakat adat menggelar pesta adat zoka. Pesta budaya ini digelar empat hari empat malam untuk memperkuat persaudaraan sembilan anak suku Wolowea.
”Masyarakat makan besar dengan membawa pangan lokal, seperti ubi, jali, dan jawawut. Ini juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur,” ujar Severinus.
Goresan sejarah dan budaya yang dipelihara membuat ”Nusa Bunga” semakin kaya makna.