Bagi para pencinta sastra, mengunjungi Stratford-upon-Avon bagaikan ziarah kebudayaan. Di tempat ini, pengunjung bisa singgah di situs-situs bersejarah, seperti rumah, sekolah, dan gereja, serta menonton drama.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·6 menit baca
Siapa tak kenal dengan aktor dan penyair legendaris William Shakespeare? Ia lahir dan besar di sebuah rumah kayu di Henley Street, Stratford-upon-Avon, pada tahun 1564. Di daerah yang sama, penulis dengan sebutan ”Pujangga dari Avon ini” sekolah, menikah, membangun keluarga, dan melahirkan karya-karya yang menginspirasi dunia. Kini, Stratford-upon-Avon berkembang menjadi daerah wisata sejarah dengan panorama indah.
Setelah sepekan terakhir langit Inggris diselimuti mendung, pada Minggu (30/1/2022) matahari bersinar cerah mengantarkan perjalanan ke tempat kelahiran Shakespeare. Adetya Ghassani Nurma Arif, mahasiswa Healthcare Operational Management University of Warwick, mengendarai mobilnya dari Coventry menuju Stratford-upon-Avon. Di dalam mobil ada beberapa teman sesama mahasiswa Indonesia yang kuliah di Inggris.
Perjalanan dari Coventry menuju Stratford-upon-Avon yang memakan waktu sekitar 30 menit bisa dikatakan mulus dan jauh dari kemacetan lalu lintas. Sepanjang perjalanan, suasana perdesaan dan alam yang membentang memanjakan mata. Perjalanan ini hanya sempat terkendala sulitnya mencari lahan parkir karena ada beberapa jalan yang ditutup.
Sesampainya di Stratford-upon-Avon, kemeriahan khas desa wisata langsung terasa. Ratusan orang memadati toko buku, toko suvenir, restoran, dan kafe. Ada pula kelompok wisatawan yang berfoto-foto di depan patung Shakespeare dan di depan rumah tempat kelahiran sang pujangga. Kemeriahan khas desa wisata tambah terasa dengan festival yang menjual aneka kerajinan tangan, lukisan, suvenir, dan makanan khas.
Di Stratford-upon-Avon, Adetya dan kawan-kawan mengunjungi situs-situs bersejarah, seperti rumah, museum, dan gereja tempat sang pujangga dimakamkan. Memasuki jam makan siang, rombongan kemudian berjalan kaki ke daerah kanal yang fenomenal.
Daerah kanal ini seperti sepotong surga di dunia. Pemandangan indah berupa aliran sungai, dengan burung-burung yang terbang dan bebek yang bermain di air, menjadi hiburan. Dari anak-anak hingga warga lansia dapat menikmati suasana khas perdesaan ini. Sekitar 10 menit berjalan kaki menyusuri kanal terdapat Gereja Holy Trinity tempat Shakespeare, istri, dan keluarganya dimakamkan. Sampai sekarang gereja ini masih buka dan dipakai masyarakat.
Pemandangan indah berupa aliran sungai, dengan burung-burung yang terbang dan bebek yang bermain di air, menjadi hiburan.
Di salah satu tempat terbuka, rombongan ini duduk menikmati bekal makan siang yang sudah dibawa dari rumah. Makan siang tambah terasa sedap dengan adanya pemandangan di depan mata, juga suara musik dan musisi jalanan yang memanjakan pendengaran.
Adetya menuturkan, dalam tiga bulan terakhir ia sudah tiga kali ke Stratford-upon-Avon. Biasanya ia menikmati wisata di desa sang pujangga bersama keluarga dan teman. ”Ini adalah destinasi wisata yang selalu kami tuju kalau ada tamu,” ujarnya.
Sebagai mahasiswa yang tinggal di Coventry, ia menjelaskan, di daerahnya tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi karena kotanya kecil. Kalau ada tamu yang datang, ia selalu mengajak ke Stratford-upon-Avon karena lokasinya dekat dari kota. Hanya dengan 30 menit mengendarai mobil, ia sampai di tempat wisata dengan pemandangan menakjubkan.
Saat berkunjung, ritual yang selalu dilakukan selalu sama. Ia akan berjalan-jalan, berfoto di situs-situs penting, kemudian piknik di pinggir sungai. Menurut ibu satu anak ini, desa wisata ini sangat cocok untuk tempat bermain anak-anak dan tempat nongkrong mahasiswa.
Handy Santoso, mahasiswa MA International Political Economy University of Warwick, mengatakan, ia sangat suka berkunjung ke Stratford-upon-Avon. Sayangnya, perjalanan ke tempat ini tidak mudah. Kalau tidak punya mobil, pengunjung harus naik moda transportasi umum, seperti kereta api, yang bisa memakan waktu lebih dari dua jam dari Coventry.
Sementara ongkos naik taksi ataupun kendaraan sewa daring bisa menguras kantong. ”Untuk mahasiswa seperti saya, masalah perjalanan ini menantang banget karena nggak punya mobil,” ujarnya. Namun, jerih payahnya menembus perjalanan ke Stratford-upon-Avon dibayar dengan keindahan tempat ini.
Aliran sungai
Berdasarkan sejarahnya, desa wisata ini pertama kali ditemukan oleh The Saxons ketika mereka menginvasi tempat yang sekarang menjadi Warwickshire pada abad ke-7 Masehi. Startford berasal dari kata Celtic dan Saxon, yaitu straet ford yang berarti mengarungi. Sementara Avon adalah kata Celtic yang berarti sungai atau air.
Mulanya, Stratford-upon-Avon berupa daerah perdesaan biasa yang kemudian seiring perkembangan peradaban dan perdagangan menjadi kota. Daerah ini dikenal sebagai tempat tinggal kelas pekerja, seperti tukang kayu, pembuat sepatu, dan pembuat roti.
Pada tahun 1557, seorang penjual sarung tangan, John Shakespeare, menikahi Mary Arden, putri seorang petani kaya dari Wilmcote. Putra mereka, William Shakespeare, lahir pada 23 April 1564. Putra seorang warga negara kelas menengah ini mengikuti sekolah tata bahasa. Pada tahun 1582, William menikahi Anne Hathaway, putri seorang petani dari Snottery.
Shakespeare menjadi penulis paling terkenal sepanjang sejarah. Ia mencapai puncak kejayaan di London pada 1585 dan 1592 sebagai aktor dan penulis. Karya yang dihasilkan antara lain Romeo and Juliet, Otthelo, Macbeth, dan Hamlet. Shakespeare memutuskan pensiun pada usia 49 tahun dan kembali ke daerah kelahirannya. Tiga tahun kemudian, Shakespeare tutup usia. Jenazahnya dimakamkan di Gereja Holy Trinity.
Shakespeare memutuskan pensiun pada usia 49 tahun dan kembali ke daerah kelahirannya. Tiga tahun kemudian, Shakespeare tutup usia.
Sampai sekarang, karya-karyanya menyentuh hati banyak pembaca. Karya Shakespeare masih dimainkan di Globe Theater, London. Karyanya juga dijadikan rujukan oleh pencinta sastra serta dipelajari oleh anak-anak di sekolah.
Sejarawan Tim Lambert pada situs Localhistories.org menuliskan, sepanjang abad ke-17 dan 18, Stratford-upon-Avon masih menjadi daerah yang sunyi. Memasuki abad ke-19, daerah ini mulai dikenal seiring dengan pembukaan kanal pada 1816, diikuti dengan jalur kereta api pada 1859. Daerah ini juga berkembang sebagai desa wisata yang dikenal sebagai tempat lahir Shakespeare. Sejak saat itu, ketenaran Stratford-upon-Avon terjadi turun-temurun. Orang-orang dari banyak kota datang untuk mengunjungi rumah sang pujangga.
Untuk mendukung pariwisata, rumah Shakespeare dijadikan monumen. Selanjutnya, ada pembangunan The Royal Shakespeare Theatre pada 1932 dan pembukaan The Shakespeare Centre pada 1964. Populasi penduduk juga semakin berkembang dari semula hanya 1.000 orang kini mencapai 27.000 orang.
Bagi para pencinta sastra, mengunjungi Stratford-upon-Avon bagaikan ziarah kebudayaan. Di tempat ini, pengunjung bisa singgah di situs-situs bersejarah, seperti rumah, sekolah, dan gereja; menonton drama; dan melihat patung-patung yang terinspirasi dari karya Shakespeare.
Namun, tempat ini juga bisa dikunjungi bahkan oleh orang yang tidak pernah membaca Shakespeare sekalipun. Berbagai aktivitas bisa dilakukan. Jalan-jalan di pinggir kanal, berkunjung ke taman kota, menikmati secangkir kopi di kafe, atau wisata kuliner di restoran yang ada merupakan pilihan menarik.
Grace Endina, mahasiswa MSc International Development with Conflict and Humanitarian Action University of Bath, tertarik berkunjung ke Stratford-upon-Avon karena kebesaran nama Shakespeare. ”Meskipun tidak ngikutin kisah Romeo and Juliet, saya tertarik ke sini karena Shakespeare adalah nama besar,” ujarnya.
Meskipun tidak ngikutin kisah Romeo and Juliet, saya tertarik ke sini karena Shakespeare adalah nama besar.
Sesampainya di Stratford-upon-Avon, Grace terpukau dengan keindahan panorama dan kehidupan masyarakat lokal yang sangat ramah dan sederhana. Selain itu, bangunan-bangunan di desa wisata ini juga sangat unik dan berbeda dengan tempat lain. ”Tidak heran, Shakespeare bisa melahirkan karya yang bagus banget karena tempat kelahirannya memberi banyak inspirasi,” ujarnya. Mengunjungi Stratford-upon-Avon, menurut Grace, membuatnya ingin mengenal sang pujangga dan karya-karya yang dihasilkan.