Indonesia dari Merauke (Bagian 63-Habis)
Di Merauke, di kota ujung timur yang menjadi elemen penting dalam mantra nasionalisme Indonesia, Agustinus Wibowo mengakhiri satu babak perjalanan untuk mengenali negerinya. Namun, ia yakin, perjalanan itu masih panjang.

Tentara Indonesia berjaga di pasar internasional yang berada di sisi Indonesia.
Setelah empat hari tinggal di kamp hutan perbatasan yang penuh nyamuk malaria dan nyaris tanpa makanan, saya berhasil menumpang perahu menuju kampung Indonesia terdekat. Kebetulan, hari ini hari pasar, para nelayan Papua Niugini berbondong menuju ”pasar internasional” yang ada di sisi Indonesia.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 60: Kamp di Tengah Hutan
- Bagian 61: Takut Bendera Merah Putih
- Bagian 62: Tanah dan Rasa Aman
Saya meloncat turun dari perahu motor yang tertambat di tepian rawa, menginjakkan kaki di pasar terbuka di tengah pasar. Menyaksikan para tentara berbaju loreng dan hiruk-pikuk para pedagang berwajah Asia, serta mendengar bahasa Indonesia memenuhi udara, saya merasakan kembali keterbiasaan yang selama ini saya rindukan.
Akhirnya, saya pulang.

Agustinus Wibowo menumpang mobil bak terbuka menuju Asiki, Boven Digoel.
Saya menumpang mobil bak terbuka milik pedagang Indonesia yang penuh mengangkut mujair dari PNG. Jalan berdebu nan panjang melintasi perkebunan sawit membawa saya menuju dunia yang sama sekali berbeda. Hanya sekitar 30 kilometer dari garis batas PNG, saya merasa sontak dilemparkan dari Papua langsung ke tanah Jawa.
Asiki adalah sebuah kota kecil di Papua, setara kampung di Jawa, dengan jalan beraspal sempit bertabur lubang, sesekali dilintasi sepeda motor dan angkot. Masjid besar, gereja besar, rumah-rumah kumuh beratap seng berkarat yang bertebaran semrawut, diselingi warung Ponorogo dan Tegal. Bahasa Jawa riuh mendominasi percakapan.
Garis batas memang memisahkan sejarah. Di Papua seberang batas sana, sejarah yang memengaruhi hidup mereka adalah kolonialisme Australia, sedangkan kehidupan Papua di sisi barat garis batas ini tak lepas dari sejarah Indonesia dan penjajahan Belanda.
Asiki adalah bagian Kabupaten Boven Digoel, yang pada masa kolonialisme Belanda merupakan lokasi ”kamp konsentrasi” untuk membuang para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta dan Sutan Syahrir pernah dibuang ke daerah ini pada tahun 1935.
Nama Boven Digoel dalam bahasa Belanda berarti ”Digul Atas”, yaitu daerah hulu Sungai Digul. Pada awal abad ke-20, kamp Digul masih dikelilingi hutan belantara, dengan sungai dan rawa yang penuh buaya. Siapa pun yang dibuang ke sini, hampir dipastikan tak bisa meloloskan diri.
Namun, seiring waktu, daerah ini tak lagi terpencil karena menjadi salah satu destinasi program transmigrasi.
Program ini sebenarnya sudah dijalankan sejak zaman Belanda, awalnya disebut kolonisasi. Pemerintah Belanda pertama kali mendatangkan orang Jawa ke Merauke pada tahun 1902. Tujuannya agar para kolonis Jawa itu bisa berladang dan beternak untuk memenuhi kebutuhan makanan para pegawai pemerintah Belanda. Keturunan pendatang Jawa itu menjadi komunitas diaspora di Merauke, dikenal sebagai Jamer (Jawa-Merauke).
Setelah Belanda angkat kaki, Pemerintah Indonesia melanjutkan program transmigrasi ke Papua. Selain itu, Indonesia juga membuka Papua bagi semua warga Indonesia sehingga orang-orang dari berbagai penjuru Nusantara bermigrasi membanjiri Papua. Transmigrasi dan migrasi spontan itu menyebabkan antara tahun 1970 hingga 2000 jumlah penduduk Papua naik tiga kali lipat, dengan jumlah orang non-Papua sudah hampir menyamai orang Papua sendiri.

Mobil bak terbuka yang ditumpangi Agustinus Wibowo memasuki Asiki, Boven Digoel.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, Asiki mungkin hanyalah kota kecamatan biasa yang tidak mencolok. Asiki sudah dialiri listrik (walaupun belum 24 jam), dirambah sinyal seluler (walaupun masih lemah), punya pasar yang ramai, bahkan juga bank dan mesin ATM. Namun, ini adalah tempat yang diceritakan oleh orang-orang PNG di daerah perbatasan sana dengan penuh kekaguman.
Salah satu faktor kemajuan ini tentu adalah keberadaan para pendatang itu. Migrasi menyebabkan terjadinya pertukaran budaya, alih teknologi, dan geliat ekonomi. Di situlah, saya rasa, keistimewaan Indonesia dengan segala keberagamannya.
Keberagaman Indonesia ini pulalah yang menyelamatkan saya. Setelah berbulan-bulan di PNG, saya datang ke Indonesia tanpa uang rupiah sama sekali dan, parahnya lagi, mesin ATM di Asiki kebetulan tak beroperasi karena gangguan listrik. Namun, untunglah, seorang pedagang Jawa bermurah hati mengundang saya menginap di rumahnya dan seorang Tionghoa Makassar pengusaha travel memberi saya tumpangan gratis sampai ke Merauke.
Dalam mobil travel ini, saya juga melihat Indonesia. Ada dua wanita Jawa berjilbab, satu lelaki dari Wonosobo, dan seorang perempuan Papua, semua sibuk berdebat tentang intrik politik di Jakarta. Sementara musik yang mengiringi perjalanan kami adalah lagu Batak, yang bahasanya tak dimengerti seorang pun dalam mobil ini.
”Orang PNG sering memandang rendah kami orang Papua karena kami menjadi bagian NKRI, sedangkan mereka menjadi negara merdeka,” kata Helena, seorang ibu Papua dalam mobil kami. ”Tapi, mereka di PNG sana justru hidup terbelakang, bahkan tidak tahu cara pakai kompor atau mandi pakai sabun.”
Transmigrasi dan pembangunan memang telah membawa kemajuan di Papua, Helena mengakui itu. Tapi, dia juga khawatir, cara hidup di sini semakin mengikuti Jawa, lama-lama bisa mengikis jati diri Papua mereka. Setidaknya sekarang, kata Helena, banyak orang Papua sudah tak fasih bahasa daerah mereka lagi.
Sebagai pegawai pemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan kampung, Helena banyak bepergian ke pelosok pedalaman Papua. Ke mana pun dia pergi, dia selalu makan sagu. ”Saya sengaja menunjukkan ini kepada penduduk setempat supaya mereka ingat, kita masih orang Papua,” katanya.

Memasuki Merauke, Papua.
Transmigrasi adalah program kontroversial. Penolakan di kalangan masyarakat Papua sebenarnya sangat kuat sehingga, pasca-berakhirnya Orde Baru, pengiriman transmigran ke Papua dihentikan.
Perjalanan di PNG membuat saya mengenal konsep tanah adat orang Melanesia dan memahami mengapa ada penolakan itu. Para transmigran menempati dan menggunakan tanah adat milik penduduk asli sering kali tanpa memberikan kompensasi. Para pendatang itu juga mendominasi lapangan pekerjaan sehingga penduduk setempat justru merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
”Kami menolak transmigrasi, juga menolak hutan kami dijadikan perkebunan tanpa seizin kami,” kata Benny Rukamko, seorang aktivis OPM yang pernah saya jumpai di Dome, PNG.
Tak dimungkiri, semua hasil pembangunan dan infrastruktur di sisi barat perbatasan ini adalah kemewahan yang masih diimpikan orang-orang PNG di seberang perbatasan sana. Namun, apakah kemakmuran sungguh telah dinikmati masyarakat Papua sendiri?
Sepanjang perjalanan di pedalaman Papua ini, saya tidak banyak melihat orang Papua. Sesekali memang tampak beberapa permukiman kecil di pinggir jalan yang penduduknya mayoritas orang Papua, dengan gubuk-gubuk kumuh dan mengenaskan, sangat kontras dengan desa-desa transmigran yang lebih rapi dan modern.
Pemandangan paling menonjol di sepanjang perjalanan ini justru adalah pos-pos militer. Juga barisan pagar dan gapura bermotif merah putih, dengan tulisan besar berisi slogan-slogan nasionalisme, seperti ”NKRI Harga Mati”. Di daerah perbatasan yang punya sejarah konflik panjang ini, tampaknya memang ada keperluan untuk menekankan bahwa di sini adalah wilayah sah tanah air Indonesia.

Pos militer banyak ditemui dalam perjalanan dari Asiki menuju Merauke.
Jalan dari Asiki menuju Merauke sebagian besar sudah beraspal sehingga jarak 300-an kilometer hanya ditempuh dalam waktu 8 jam. Sementara di seberang perbatasan sana, hampir tak ada jalan sama sekali di seluruh Western Province sehingga, untuk menempuh jarak yang sama, tiga minggu saya harus terkatung-katung di pedalaman Sungai Fly.
Di Merauke, di kota ujung timur yang menjadi elemen penting dalam mantra nasionalisme Indonesia ini, saya harus mengakhiri satu babak perjalanan untuk mengenali negeri saya sendiri.
Dalam perjalanan lintas garis batas ini, saya menemukan bahwa garis batas kedua negara bagaikan cermin: apa yang terjadi di sisi timur batas sebenarnya refleksi dari yang terjadi di barat. Di kedua sisi ada kisah tentang kebanggaan identitas, tentang ikatan pada tanah, tentang impian akan kemerdekaan dan kemakmuran, serta tentang ketidakadilan dan ketidakberdayaan.
Betapa banyak hal baru yang telah saya pelajari dan betapa banyak kepercayaan lama saya telah diruntuhkan. Namun, masih banyak pula pertanyaan yang belum terjawab, misteri sejarah yang masih gelap.
Satu babak perjalanan memang telah berakhir, tapi saya yakin perjalanan ini masih panjang.
Baca Juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.