Tanah dan Rasa Aman (Bagian 62)
Rumah kita, rasa aman kita, berhubungan erat dengan di mana tanah kita berada. Saat memasuki wilayah Indonesia, Agustinus Wibowo merasakan makna kata-kata Robin Moken, penasihat Pemerintah Western Province, PNG, itu.

Hutan di wilayah Papua Indonesia yang berada di perbatasan dengan Papua Niugini banyak yang dibuka untuk ditanami gaharu.
”Tentu, saya orang Indonesia,” kata Robin Moken penuh kepastian. Dia adalah penasihat pemerintah Western Province, Papua Niugini, yang saya temui di kota Kiunga. Seorang pejabat tinggi PNG mengaku dirinya sebagai orang Indonesia, itu sungguh mencengangkan saya.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 59: Penduduk dan Pengungsi
- Bagian 60: Kamp di Tengah Hutan
- Bagian 61: Takut Bendera Merah Putih
Ayah Robin berasal dari seberang batas, yaitu Papua Indonesia. Saat itu yang berkuasa di Papua adalah Belanda dan Australia. Ayah Robin ingin menjadi warga Australia sehingga menyeberang ke timur batas. Robin lahir tahun 1960 di wilayah PNG, sebelum PNG merdeka pada tahun 1975, sehingga otomatis mendapatkan kewarganegaraan PNG.
Tapi kenyataannya, identitasnya tidak sesederhana itu. Tanah adat suku Robin berada di sisi Indonesia sehingga dia tidak punya tanah di PNG. Aturan tanah adat yang ketat di PNG tidak mengizinkannya membeli tanah.
”Di sini, tanpa tanah, maka kau bukan siapa-siapa,” kata Robin lirih.

Robin Moken
Robin menekankan bahwa dirinya berbeda dari para pengungsi Papua Indonesia, yang datang ke PNG dalam gelombang pengungsian tahun 1984. Dia bukan lari dari Indonesia gara-gara mendukung gerakan OPM dan dia punya status sah sebagai warga PNG.
Namun, Robin bersimpati kepada para pengungsi. Di daerah ”benjolan” Sungai Fly pada garis batas RI-PNG, tinggal sekitar 5.000 pengungsi Papua. Mereka hidup menderita karena kerusakan alam Sungai Fly.
Robin selalu mendorong Pemerintah PNG supaya memedulikan nasib para pengungsi Papua. Ia juga mendorong agar para pengungsi mau dipulangkan ke Indonesia atau setidaknya pindah ke kamp pengungsi resmi agar bisa mendapat bantuan dari PBB.
”Tapi mayoritas mereka tidak mau,” kata Robin menggeleng-geleng tanpa daya. ”Mereka punya agenda kemerdekaan Papua sehingga mereka kukuh tinggal di daerah perbatasan dengan kondisi seburuk apa pun.”
Robin menunjuk pada satu foto yang terpajang di dinding kantornya. Dalam foto itu, Robin tersenyum lebar bersama tentara Indonesia berseragam loreng di tengah hutan belantara saat melakukan survei pembangunan jalan raya melintasi patok perbatasan MM9 antarkedua negara.
”Sebelas tahun saya terus berbicara tentang pentingnya pembangunan jalan ini agar Dome dan Kiunga bisa tersambung ke Mindiptana dan Merauke di sisi Indonesia. Jalan ini adalah demi kebaikan kita bersama karena kami dan Indonesia bukan musuh. Sebelas tahun saya bicara, tetapi tak ada pemimpin kami yang mau mengerti,” ucap Robin.
Kini Robin tengah berpikir untuk benar-benar menjadi orang Indonesia. Anak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Kombut, Papua Indonesia, dan Robin terpikir untuk menyusulnya.
Saya bertanya, di manakah rumah baginya.
”Rumah adalah di mana tanah kita berada. Tanah kami ada di Indonesia, maka di sanalah rumah saya. Kita ini sebenarnya adalah orang-orang yang sama, tapi kita terpisah oleh garis batas dan agenda politik,” katanya lugas.

Kantor Robin Moken di Kiunga, Papua Niugini.
Saya menemui Robin karena saya butuh bantuannya. Visa PNG saya sudah kedaluwarsa dan saya telah mengirimkan paspor saya ke Port Moresby untuk mengurus perpanjangan visa. Proses itu memakan waktu satu bulan dan visa yang saya dapatkan pun pas satu bulan. Itu artinya, visa baru saya juga sudah hampir kedaluwarsa begitu saya menerimanya. Saya hanya punya waktu dua hari untuk meninggalkan negeri ini.
Masalahnya, sepanjang garis batas RI-PNG cuma ada satu perbatasan internasional, yaitu antara Jayapura dan Vanimo jauh di utara sana. Saya tak punya waktu untuk ke sana. Dengan cekatan, Robin menerbitkan selembar surat resmi bagi saya, yang mengizinkan saya menyeberang lewat perbatasan tradisional. Dia juga membantu saya mendapatkan stempel imigrasi di paspor.
”Cepat berangkat,” kata Robin melepas kepergian saya. ”Begitu kamu menginjakkan kaki di daerah benjolan Sungai Fly, kamu aman.”
Itu adalah benjolan kecil pada garis lurus perbatasan RI-PNG, yang sebenarnya merupakan lekuk-lekuk Sungai Fly. Di sebelah barat benjolan itu sudah wilayah Indonesia.
Tengah malam menjelang berakhirnya visa saya, perahu nelayan yang saya tumpangi menurunkan saya di daerah benjolan itu. Saya akhirnya bisa menghela napas lega, tak perlu lagi ketakutan dikejar-kejar tenggat visa PNG. Saat itulah saya benar-benar merasakan makna kata-kata Robin. Rumah kita, rasa aman kita, berhubungan erat dengan di mana tanah kita berada.

Kamp ladang milik keluarga Thomas Gabriel.
Namun, daerah ini adalah perbatasan yang aneh. Di atas peta, ini memang jelas wilayah Indonesia. Namun, daerah ini sebenarnya merupakan wilayah tanah adat orang PNG. Saya mendarat di kamp ladang suku Buazi dari Desa Mipan, PNG. Yang tinggal di sini adalah keluarga Thomas Gabriel, seorang kakek 50-an tahun yang sedang membuka hutan untuk ditanami gaharu. Kayu gaharu bisa dijual sangat mahal di Indonesia.
Ini hutan sunyi, dengan simfoni nyanyian burung dan serangga sambung-menyambung. Tak ada desa, tak ada toko, tak ada listrik atau fasilitas apa pun. Hanya ada gubuk panggung terbuka, tempat saya menginap bersama Papa Thomas selama beberapa hari sembari menanti perahu yang bisa mengangkut saya menuju Indonesia ”yang sesungguhnya”.

Thomas menunjukkan kartu pas lintas batas yang biasa dia gunakan untuk memasuki wilayah Indonesia.
Pemerintah Indonesia memang mengakui kepemilikan tanah adat suku-suku PNG sehingga membiarkan orang PNG untuk berkebun dan berladang di daerah perbatasan ini. Tapi, semua orang PNG yang tinggal di sini harus bisa menunjukkan kartu pas lintas batas berwarna kuning kepada aparat Indonesia yang sesekali berpatroli.
”Ini memang tanah Indonesia,” kata Papa Thomas. ”Kalau mereka mengubah aturan, bisa-bisa kami juga kehilangan tanah.”
Bagaimanapun juga, mereka hanyalah rakyat kecil yang cuma bisa tunduk pada keputusan para penguasa besar nun jauh di sana. Di abad ke-19, ketika Inggris, Belanda, dan Jerman membelah kekuasaan mereka di Pulau Papua dengan garis batas yang absurd, tak sedikit pun nasib suku-suku pedalaman ini ada dalam pertimbangan mereka.
Setidaknya Papa Thomas masih punya tanah luas, masih bisa cukup bebas di tanahnya sendiri. Yang lebih malang adalah Silvester Kundimko, seorang lelaki yang juga tinggal bersamanya di kamp tengah hutan ini. Dia berumur 42 tahun, tetapi wajahnya sudah penuh keriput seperti kakek 65 tahun.
Lahir di Merauke, Silvester adalah orang Papua Indonesia, ikut pengungsian akbar tahun 1984 ke PNG. ”Saya bukan OPM. Kami justru takut OPM,” katanya. ”OPM datang ke desa kami, mendesak orang-orang supaya berangkat mengungsi. Mereka bilang: ’Kamu mau mati? Kalau tidak, jalan!’”
”Mengapa tidak minta bantuan tentara Indonesia?” saya bertanya.
”Kami juga takut. Tentara Indonesia datang ke desa, menuduh kami OPM, jadi kami tak berani bicara macam-macam. Di muka musuh, di belakang musuh. Indonesia punya bedil, OPM hanya punya busur panah. Ya sudah, kami ikut yang dekat saja,” jawab Silvester.
Begitulah Silvester kehilangan tanah, menjadi pengungsi yang tercabut dari akarnya, kini terkatung-katung dari satu kamp ke kamp lainnya hanya untuk menyambung hidup yang penuh ketidakpastian.
Baca Juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.