Selembar bendera Merah Putih sempat memberi Wilem banyak harapan. Namun, bendera itu juga membuat dia dimusuhi dan dikucilkan warga Digo.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Bendera Merah Putih yang diterima Wilem dari tentara Indonesia.
Digo memang ada di wilayah Indonesia, tetapi setiap pagi di kampung itu berkumandang lagu kebangsaan Papua Niugini.
Lagu itu dinyanyikan para siswa di satu-satunya sekolah di Digo, dibimbing oleh satu-satunya guru mereka, July Awom. Seluruh murid yang berjumlah 15 anak, bertelanjang kaki. Hanya July yang bersandal jepit. Lantai kelas mereka adalah tanah lempung yang bisa berubah menjadi lumpur ketika air hujan merembes masuk dari atap yang bocor. Para murid duduk di atas kotak kayu setinggi betis.
Penduduk Digo adalah pengungsi dari Papua Indonesia, yang melarikan diri dari Indonesia ke PNG pada 1984. Dalam pengungsian itu, mereka berkonflik dengan penduduk PNG sehingga terpaksa mundur kembali ke tengah hutan dan tanpa sadar kembali lagi ke wilayah Indonesia. Warga Digo bergotong royong membangun gedung sekolah itu.
July warga asli Digo, yang pernah mendapat pendidikan di PNG, dan mendapatkan gaji sebagai guru dari PNG. Sekolah itu pun resmi terdaftar di PNG. Dengan demikian, ini adalah (dan mungkin satu-satunya) sekolah PNG yang berdiri di dalam wilayah Indonesia.
”Mengajar di daerah terpencil seperti ini sangat sulit. Untuk beli kapur, saya harus pergi ke Kiunga,” kata July.
Dia harus berjalan kaki sehari penuh ke Tarakbits, lalu jalan kaki sehari penuh menyeberangi dua sungai besar sampai ke Ningerum, lalu naik bus ke Kiunga. Pergi pulang buat beli kapur butuh waktu satu minggu. Sekolah terpaksa diliburkan saat July membeli kapur.
AGUSTINUS WIBOWO
July mengajar murid-muridnya di Digo.
Sekitar setengah tahun sebelum kedatangan saya, tentara Indonesia menemukan Digo. Tentara Indonesia memang rutin mengadakan patroli untuk memeriksa patok perbatasan. Pada saat itu mereka mengambil rute yang tak biasa sehingga sampai di Digo.
Para tentara itu terkejut menemukan ada sekolah PNG di Digo, dengan bendera dan lagu kebangsaan PNG. Mereka mengira penduduk Digo adalah orang PNG—itu hal biasa karena banyak suku PNG memang punya tanah adat di dalam wilayah Indonesia.
Kepada penduduk Digo, para tentara meninggalkan sebuah bungkusan dan diterima Wilem Bab, salah satu lelaki tertua di kampung. Setelah para tentara itu pergi, warga Digo kaget karena isi bungkusan itu bendera Merah Putih Indonesia.
Kabar bahwa Wilem telah menerima bendera dari tentara Indonesia langsung menyebar ke desa-desa PNG di sekitar Digo. Ketakutan mencekam mereka: Indonesia akan menjajah kita. Mereka marah, mendesak Wilem mengembalikan bendera itu ke Indonesia.
Perjalanan Wilem menuju pos tentara Indonesia di desa Indonesia terdekat tidaklah mudah. Dia berjalan kaki dua hari, menginap semalam di hutan rimba, menyeberangi empat sungai kecil dan tiga sungai besar yang deras dan sedalam kepala. Sesampainya di Waropko, Distrik Tanahmerah, Wilem terkesima menyaksikan dunia yang berbeda. Desa itu diterangi listrik, dihuni orang-orang Asia yang berkulit lebih terang.
Namun, misinya gagal. Para tentara Indonesia berkukuh menolak pengembalian bendera itu. Mereka bilang, ”Kami tahu kalian orang Papua Niugini, tapi tinggal di wilayah Indonesia. Jadi, untuk keamanan, bendera ini kalian simpan.”
AGUSTINUS WIBOWO
Bendera Merah Putih itu membuat Wilem dimusuhi dan dikucilkan warga Digo.
Balada bendera Merah Putih itu membuat Wilem dimusuhi dan dikucilkan warga Digo.
Saya mengunjungi rumah panggung Wilem di ujung kampung, yang tanpa perkakas. Wajahnya dipenuhi gurat keriput, jenggotnya mulai memutih. Saya mengira dia berumur 60 tahun, ternyata baru 41 tahun. Anaknya masih bayi.
Mengenai perjalanannya ke Indonesia, Wilem bercerita, para tentara Indonesia waktu itu bicara padanya, ”Orang Papua sekarang sudah jadi pemimpin di Papua.” Itu membuat Wilem senang. Dia meyakini perubahan segera datang.
Yang paling Wilem dambakan adalah rumah sakit. Istri pertama dan dua anaknya mati tahun 1995 kena malaria. Istri keduanya yang sedang hamil dan terkena malaria harus berjalan kaki sendirian sampai pingsan-pingsan di tengah jalan untuk mencapai puskesmas di Tarakbits, desa PNG yang satu hari perjalanan jauhnya.
Karena itu, ketika para tentara Indonesia menyuruhnya menyimpan bendera itu, Wilem mematuhinya. Yang dia pikirkan sebenarnya bukan bendera, melainkan pembangunan.
Berselang dua bulan kemudian, Wilem dengan kehendaknya sendiri memutuskan untuk sekali lagi menempuh perjalanan menuju Indonesia.
AGUSTINUS WIBOWO
Wilem memimpikan rumah seng, rumah sakit, listrik, dan jalan raya masuk ke kampungnya.
Dia bertemu dengan kepala Kampung Upkim, memohon agar jalan raya yang akan dibangun Indonesia melalui Waropko dan Upkim bisa disambung terus sampai ke Digo. ”Bisa, bisa, kami akan bantu,” kata kepala Kampung Upkim. Wilem pulang sambil tersenyum, membayangkan rumah seng, listrik, jalan raya, dan rumah sakit masuk ke kampungnya.
Namun, begitu Wilem pulang ke Digo, warga kampungnya marah. Mereka takut kelakuan Wilem membuat desa-desa di PNG marah. Nanti orang Digo tak boleh pergi ke sekolah dan gereja di PNG. ”Orang-orang kampung benci saya berteman dengan Indonesia,” katanya.
Saya bertanya, di mana bendera itu.
Lesu, Wilem mengambil sebuah kotak kayu, di sudut gubuknya. Bendera itu ada di dalam kantong plastik, teronggok di dasar kotak.
Bendera itu terbentang di hadapan saya. Bendera Merah Putih yang masih baru, tetapi sudah lusuh. Selembar bendera yang sempat memberi Wilem banyak harapan, tetapi kemudian pupus lagi.