Para pengungsi Papua Indonesia di Dome, Papua Niugini, punya semangat juang tinggi. Setelah sejenak bergaul dengan para pengungsi itu, Agustinus Wibowo mengakui, mereka adalah manusia tangguh yang pantang menyerah.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Rumah pengungsi Papua Indonesia di Desa Dome-2, Papua Niugini
Sudah sejak tahun 1984 para pengungsi dari Papua Indonesia tinggal di desa Dome, Papua Niugini. Jumlah mereka kini bahkan telah melebihi jumlah warga asli Dome. Menurut data kepala desa, warga Dome-1 hanya sekitar 700 jiwa, sedangkan pengungsi yang menghuni Dome-2 mencapai 1.700 jiwa.
Di desa yang berpenduduk padat ini, pangan adalah masalah utama. Tanah di Dome tidak bagus, berwarna merah dan retak-retak. Dengan adanya luapan pengungsi, persaingan atas tanah dan sumber makanan pun menghebat.
Konflik di antara mereka telah menjadi kontak fisik. Penduduk asli Dome yang marah sering menebangi pohon pisang yang ditanam para pengungsi. Suatu malam, penduduk asli juga pernah membakar habis sekolah yang dibangun susah payah oleh para pengungsi.
Para pengungsi tidak membalas tindakan penduduk asli. ”Mereka adalah tuan tanah, kami hanya pendatang,” kata seorang pengungsi kepada saya.
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana pasar yang digelar di tanah lapang antara Dome-1 dan Dome-2.
Setiap Sabtu, digelar pasar di tanah lapang yang menjadi batas antara Dome-1 dan Dome-2. Para pedagang juga seperti dipisahkan garis batas. Di satu sisi lapangan adalah para pengungsi, dan di satu sisi lapangan yang lain adalah warga asli. Dua kelompok ini saling berjauhan dan nyaris tanpa interaksi.
Para pengungsi lebih banyak menjual hasil ladang, sedangkan para warga asli lebih banyak menjual produk pabrik yang mereka beli dari kota.
Ketika matahari meninggi dan orang sudah semakin ramai, seorang perempuan penduduk asli berteriak di tengah lapangan, sambil menuding para pengungsi.
Ibu perempuan itu ternyata baru meninggal minggu lalu, dan di hari pemakaman mereka terganggu oleh suara musik dari desa pengungsi. Perempuan itu berseru, ”Tidak boleh lagi ada musik disko di kamp pengungsi! Kalian itu pendatang, selalu bikin ribut. Pulang sana ke negara asal kalian!”
Seorang perempuan pengungsi menukas, ”Itu para pemuda dari Dome-1 yang datang ke Dome-2 dan memaksa kami memutar musik.”
Perempuan warga asli itu semakin marah. ”Cuma ada satu Dome! Kalian orang asing tidak berhak sembarangan memberi nama!”
Demikianlah selama setengah jam, warga asli berteriak-teriak berseru menghujat kelakuan para pengungsi. Sedangkan para pengungsi lebih banyak diam.
AGUSTINUS WIBOWO
Pengungsi Papua Indonesia di Dome-2 makan bersama di rumah salah satu warga.
Orang-orang PNG di Dome memanggil para pengungsi dengan istilah bahasa Melayu, sobat. Tapi, itu sepertinya tak ada lagi makna persahabatan. Kebetulan hari ini ada upacara pemakaman seorang warga pengungsi, tapi tak satu pun warga asli yang peduli.
Ditemani Jenny Wuring, saya pergi ke Dome-2, yang dihuni pengungsi. Kami menuju rumah Titus.
Titus bekerja sebagai pedagang warung. Saat kami datang, dia kebetulan tak di rumah. Jenny, yang mulutnya kering setelah mengunyah banyak pinang, ingin membeli permen. Jenny berteriak, ”Permen!” sambil melempar uang koin 20 toea ke tanah, seperti melempar jagung untuk makanan ayam.
Seperti ayam pula, seorang keponakan Titus langsung berlari memunguti uang koin itu, tanpa berkata apa-apa, lalu kembali masuk ke warung dan dengan hormat membawakan permen untuk Jenny.
Titus akhirnya tiba dari ladang. Kami berjalan bersama menuju lokasi pemakaman. Tapi, ternyata jenazah sudah dimakamkan di depan rumah dan para lelaki sedang membuat tudung dari daun pisang bagi makam itu.
Saya merasakan ketakutan yang teramat kuat di kalangan para pengungsi. Begitu saya mengeluarkan kamera, semua lelaki dan perempuan langsung memalingkan muka.
Orang-orang berbisik pada Titus. Dia lalu menggiring saya dan Jenny keluar kampung. Tampaknya kehadiran kami sangat tidak diharapkan.
Setelah kami menjauh, Titus menjelaskan pada saya, ini adalah tiga hari setelah kematian, dan keluarga akan menaruh bunga di atas makam. Dalam kepercayaan mereka, pada hari ini arwah almarhum masih di sekeliling rumah. Jika ada orang yang bukan anggota keluarga berada di situ menyaksikan ritual, maka akan menghalangi perjalanan sang arwah.
Kompas
Para perempuan pengungsi Papua Indonesia di Dome-2, Papua Niugini, memasak bersama.
Setengah jam kemudian, Titus membawa saya dan Jenny kembali ke rumah duka. Orang-orang sudah ramai berkumpul di dalam gubuk itu. Mereka terus menyuguhi saya kopi dan makanan. Titus memperkenalkan saya sebagai orang China, bukan orang Indonesia.
Para perempuan memasak di dapur, dengan bak-bak besar berisi nasi putih, daun singkong, ayam rica, dan mi rebus. Orang PNG umumnya hanya merebus dan memanggang makanan mereka, tapi para pengungsi memasak dengan teknik yang jauh lebih kompleks, sebagaimana cara memasak orang Asia. Mereka juga pencinta cabai sebagaimana orang bagian barat Indonesia.
Para pengungsi juga punya semangat juang tinggi. Petak tanah mereka sempit, tapi mereka rajin menanaminya dengan sayur dan bahan makanan. Mereka bahkan menanam buah-buahan Asia, seperti rambutan dan durian.
Saya mengakui, mereka adalah manusia tangguh yang pantang menyerah.