Desa Dome, Papua Niugini, dihuni oleh warga PNG dan pengungsi dari Papua Indonesia. Meski sama-sama berbahasa Yomgom dan berasal dari suku yang sama, kedua kelompok ini nyaris tidak saling bertegur sapa.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana Desa Dome-1 yang dihuni warga PNG. Desa ini lebih maju dibandingkan dengan Dome-2 yang dihuni pengungsi Papua Indonesia.
Sekilas, Dome tidak tampak berbeda dari kebanyakan desa di Western Province, Papua Niugini: tertinggal dan nyaris tanpa jejak pembangunan. Namun, di desa ini para pengungsi dari Papua Indonesia hidup berdampingan dengan penduduk lokal PNG.
Dome yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan mobil dari Kiunga, lalu menyeberangi sungai, terbelah dua. Desa asal yang dihuni warga PNG, dijuluki Dome-1, terletak di tepi sungai. Sementara permukiman pengungsi dari Papua Indonesia dijuluki Dome-2, terletak di belakang dan jauh dari sungai.
Penduduk setempat dan pengungsi dari Papua Indonesia sama-sama berbahasa Yomgom, berasal dari suku yang sama, dan telah hidup berdampingan puluhan tahun. Namun, kedua kelompok ini nyaris tidak saling bertegur sapa, dan aroma perselisihan tercium begitu hebat.
Mengenai para pengungsi itu, Dennis, sekretaris desa Dome-1, berkata tegas, ”Mereka harus pulang! Ke negara mereka sendiri. Gara-gara mereka, kami tidak bisa menggunakan tanah kami.”
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana Desa Dome-2 yang dihuni para pengungsi Papua Indonesia.
Saya ingin berbicara dengan para pengungsi itu. Saya hanya mempunyai satu nama yang direkomendasikan Gereja Katolik, yaitu Rafael.
Dennis mengantar saya mencari Rafael. Dome ternyata cukup luas, butuh waktu 20 menit dari tepi sungai untuk mencapai pasar yang menjadi batas desa. Dari sini, terlihatlah kontras di antara kedua Dome. Dome-2 yang dihuni para pengungsi jauh lebih primitif. Semua rumah terbuat dari material hutan, bahkan seng pun mereka tidak punya. Satu-satunya barang modern adalah dua tangki penampung air hujan sebagai sumber air minum.
Rafael adalah seorang lelaki tua bertubuh gempal. Dia menatap saya tajam.
Saya memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Rafael tidak menanggapi. Giliran Dennis memperkenalkan saya dalam bahasa Yomgom. Mereka bicara cukup lama, dan Rafael hanya mengangguk-angguk.
Rafael termenung, sambil terus mengamati saya, akhirnya ia berkata dalam bahasa Indonesia, ”Baiklah, besok pagi jam 11, kau datang lagi ke sini.”
AGUSTINUS WIBOWO
Sebagian pengungsi Papua Indonesia yang hadir dalam pertemuan di rumah Rafael.
Keesokannya, saya datang kembali ke rumah Rafael ditemani Jenny Wuring, ipar perempuan Dennis.
Rafael tidak di tempat. Namun, di ruang utama rumah panggung dari bilah kayu sudah duduk tujuh atau delapan lelaki mengelilingi saya, dengan tatapan yang sangat mengintimidasi. ”Kami dalam kewaspadaan. Indonesia sering mengirim mata-mata untuk datang menyamar ke sini,” kata seorang dari mereka.
”Tapi, gerak-gerik kamu tidak seperti mata-mata,” sambung yang lain.
”Berapa lama kalian mengungsi di sini?” saya bertanya.
”Pertama-tama, kami bukan pengungsi. Kami adalah warga Dome-2,” kata Titus Koponang, lelaki yang duduk di samping saya. Dia mengaku sebagai kepala kampung Dome-2.
Di samping Titus ada Benny Rukamko. Mengaku sebagai petani, dia panjang lebar menjelaskan bagaimana ihwal mereka bisa berada di Dome-2.
Mereka semua berasal dari Kecamatan Waropko, Kabupaten Boven Digoel, Papua Indonesia. Pada tahun 1984, aparat masuk ke dua desa di daerah mereka sehingga masyarakat langsung melarikan diri menyeberang perbatasan ke PNG.
”Kenapa lari?” tanya saya.
”Pada tahun 1984 itu, pemimpin kami ada yang mengatakan, jika kami terus berada di Indonesia, kami akan sulit untuk berjuang. Itulah sebabnya kami datang ke sini,” imbuh Benny. ”Kami tetap memelihara kerja sama dengan mereka yang masih di dalam Papua, juga dengan para pejuang kemerdekaan Papua yang tinggal di Amerika, Eropa, Australia, Vanuatu, dan lain-lain.”
”Bukankah ini hidup yang sulit? Sekarang sumber makanan pun menjadi sumber konflik dengan warga asli Dome,” saya berkomentar.
”Entah makan atau tidak, kami tak pusing. Kami dan orang Dome-1 punya satu moyang. Ketika kami datang ke sini, mereka pun sukarela memberi tempat bagi kami.”
”Kami selalu jadi tuan rumah di sini. Kami bisa tetap tinggal dan bekerja di sini untuk mencapai tujuan, dan mereka memahami kami,” sambung Titus
AGUSTINUS WIBOWO
Selebaran tentang OPM yang disimpan pengungsi Papua Indonesia di Desa Dome-2.
Para lelaki ini hanya mau bicara politik. Ketika saya mengalihkan pembicaraan tentang kehidupan sehari-hari, mereka selalu mengembalikan lagi pada topik politik. ”Politik adalah makanan kami,” kata salah satu dari mereka.
Saya curiga, mereka enggan bicara tentang masalah kehidupan di Dome karena ada Jenny yang menemani saya. Jenny, warga Dome-1, itu memang selalu tersenyum manis kepada mereka, dalam hatinya sangat membenci mereka.
Kami berbincang sampai lebih dari 2 jam. Kami berpamitan. Titus memeluk erat Jenny. Sambil tertawa, ia berkata, ”Dia adalah saudara iparku yang baik.” Jenny pun ikut tertawa, menegaskan jika mereka semua wantok—”one talk”—saudara satu bahasa.
Tapi, begitu meninggalkan rumah Rafael, saya melihat senyum di wajah Jenny seketika berubah menjadi cemberut.
”Saya sangat tidak senang!” serunya. ”Mereka bohong. Mereka tidak pernah memberi tahu kami soal rencana untuk tinggal di sini sampai Papua merdeka. Ini bukan tanah mereka, sejak kapan mereka jadi tuan rumah di sini? Mereka harus pulang!”