John Wakum menyatakan, sangat tergugah oleh sebuah puisi yang ditulis penulis Vanuatu: “Benderamu menghalangi matahariku.”
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
John Wakum
Sudah hampir 30 tahun John Wakum tinggal di Papua Niugini. Dia aktivis Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
Lelaki 67 tahun ini kurus kering. Jenggot putih tebal menyelimuti janggutnya. Syal melingkar di lehernya. Dia terus terbatuk, mengaku sudah dua hari tidak bisa turun dari ranjang, dan baru hari ini dia bisa keluar menikmati matahari. Kami duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu.
John berasal dari Biak, pernah menuntut ilmu tata negara di Universitas Cenderawasih, Jayapura. Dia juga pernah menjadi kepala bagian sebuah badan pembangunan, sehingga sering bekerja ke daerah terpencil di pedalaman Papua. John bahkan pernah mengikuti latihan militer Indonesia, dan sempat dipersiapkan berangkat ke Timur Tengah sebagai bagian dari pasukan perdamaian Garuda V.
John mengisahkan perjalanan hidupnya ini kepada saya menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih.
“Apabila yang Anda lawan adalah Indonesia, mengapa Anda masih menggunakan bahasa mereka?” saya bertanya.
“Dengan bahasa Melayu, saya bisa bicara pada Anda tentang perjuangan kami, supaya Anda dan orang-orang Anda dengar dan paham.”
Selama berbincang dengan saya, dia hampir tidak pernah lepas dari kata ‘merdeka’.
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan di kantor pusat PBB di New York atas nasib Papua Barat.
Alasan utama Papua harus merdeka dari Indonesia, menurut John, adalah karena sejarah politik. Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan di kantor pusat PBB di New York atas nasib Papua Barat, yang menetapkan bahwa pada 1969 akan diadakan referendum untuk menentukan nasib Papua. Tapi itu bukan sistem satu orang satu suara, karena Indonesia melaksanakannya dengan sistem musyawarah mufakat, yaitu memilih 1.025 orang Papua untuk mewakili 800 ribu rakyat Papua saat itu. Hasilnya, semua orang terpilih itu menyatakan setuju Papua bergabung dengan Indonesia.
Sepanjang sejarahnya, Papua sebenarnya tidak pernah menjadi sebuah negara merdeka. Sebelum menjadi bagian Indonesia, Papua ada di bawah kekuasaan Belanda. Selama masa kolonial Belanda, nyaris tidak ada pembangunan di Papua. Baru di tahun-tahun terakhir, Belanda mulai mempersiapkan kemerdekaan negara Papua, yang pada saat itu masih disebut Nederlands-Nieuw-Guinea atau “Niugini Belanda”.
“Ini seperti Jepang yang juga membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,” kata John mengomentari babak sejarah ini.
Pada tahun 1961, Belanda memang telah memberi harapan besar bagi orang Papua tentang kemerdekaan. Belanda membentuk Dewan Papua, juga mengirim elite pemuda Papua untuk belajar ke Belanda.
Belanda juga telah membuat mata uang NNG Gulden, menciptakan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papoea, dan mengesahkan bendera nasional, bendera bintang kejora. Itulah bendera resmi Niugini Belanda yang berkibar hanya selama setahun, sebelum Papua berada di bawah kontrol PBB pada tahun 1962. Bendera itu kini menjadi lambang gerakan OPM.
Di masa Orde Baru, represi terhadap orang Papua sangat menjadi-jadi. Nama Papua juga menjadi terlarang.
John menyebut puncak gerakan mereka adalah di tahun 1984. Saat itu, aktivis gerakan kemerdekaan mengibarkan bendera bintang kejora di Jayapura, dan ada pengejaran dari tentara. Setelah itu, terjadi gelombang pengungsian orang Papua dari sisi Indonesia ke PNG. Lebih dari 10.000 orang mengungsi, dan John salah satunya.
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana Kiunga, Papua Niugini. Di daerah ini banyak tinggal pengungsi dari Papua Indonesia
Di tahun 2014, tiga puluh tahun sudah para pengungsi Papua tinggal di PNG. Sebagian besar mereka masih tinggal di kamp-kamp perbatasan yang mengenaskan. Tanpa status dan tanpa layanan apa-apa.
Para pengungsi Papua yang setuju direlokasi ke kamp penampungan PBB di East Arwin akan mendapat status resmi sebagai pengungsi. Mereka berhak mendapat dokumen perjalanan dan mengajukan permohonan kewarganegaraan PNG. Tapi ada syarat yang diajukan pemerintah PNG yang wajib mereka penuhi: mereka harus meninggalkan aktivitas OPM. John sudah mengambil keputusan sulit itu, beberapa bulan lalu dia mengajukan permohonan kewarganegaraan PNG, dan kini masih menanti hasilnya.
“Di mana rumah Anda yang sebenarnya?” saya bertanya pada John Wakum.
“Kami adalah manusia dalam perlawanan. Rumah kami bisa di pinggir jalan, di bawah pohon, di pinggir sungai, di tengah hutan, di mana pun.”
John menyatakan, sangat tergugah oleh sebuah puisi yang ditulis penulis Vanuatu: “Benderamu menghalangi matahariku.”
Penulis itu menulis tentang Kaledonia Baru, kepulauan jajahan Prancis yang terletak di sebelah timur Vanuatu. Bendera Prancis yang masih berkibar di tempat itu membuat penulis itu merasa senasib sepenanggungan, terkungkung dan marah.
Benderamu menghalangi matahariku. John mengucap kalimat ini penuh perasaan dan mata yang berkilat.