Sungai Pembatas Negeri (Bagian 54)
Garis batas internasional itu terasa absurd. Kenyataannya, di sisi kiri ataupun kanan sungai adalah hutan liar yang sama, dengan pepohonan tinggi menggapai angkasa yang sama. Itulah yang dirasakan Agustinus Wibowo.

Letak pasar internasional Indonesia-Papua Niugini, serta Kuem dan Kiunga, Papua Niugini
Dari Kuem menuju kota Kiunga, saya akhirnya akan melintasi daerah paling aneh dari perbatasan Indonesia dan PNG: ”benjolan” Sungai Fly.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 51: Menuju Rawa Berbahaya
- Bagian 52: Pedagang yang Dibenci
- Bagian 53: Pasar Internasional
Saya menumpang perahu milik Raven, lelaki paruh baya dari Kuem yang hendak berjualan ikan mujair ke Kiunga. Kami berangkat pukul dua dini hari.
Jantung saya berdebar kencang ketika matahari mulai bersinar, dan perahu memasuki Sungai Fly yang menjadi pemisah dua negeri. Di sebelah kiri sungai adalah Indonesia, dan PNG di sebelah kanan.
Namun, garis batas internasional itu terasa absurd. Kenyataannya, di sisi kiri ataupun kanan sungai adalah hutan liar yang sama, dengan pepohonan tinggi menggapai angkasa yang sama. Tak ada tanda apa-apa sebagai penanda batas negeri.

Perjalanan dari Kuem menuju Kiunga
Potongan sungai yang cantik ini justru sebenarnya berbahaya dikunjungi, terutama bagi orang Indonesia. Saya bergidik ketika Raven menunjuk sisi kanan sungai, sambil berkata, ”Kamp OPM!”
Di daerah perbatasan Sungai Fly memang tersebar sejumlah ”kamp OPM”. Yang saya lihat dari kamp itu hanya dua atau tiga rumah gubuk berpanggung dari kayu, dengan atap daun.
Di ”kamp OPM” kedua, Raven menghentikan perahunya. Ini adalah Dawa, alias Yot, kamp pengungsi Papua Indonesia yang terbesar di sepanjang Sungai Fly. Yang mengejutkan, Dawa di sisi kiri sungai. Artinya, ”kamp OPM” ini sesungguhnya berada di wilayah Indonesia.
Perahu kami merapat, dan terlihat Dawa sebagai desa kecil dengan rumah-rumah gubuk berpanggung yang sama.
”Kawan,” kata Raven memanggil dalam bahasa Indonesia. ”Cepat berangkat sudah!”
Dari kamp itu berlari gesit seorang perempuan dengan keranjang noken bertumpu di kepala. Ia lalu duduk di atas jeriken minyak di perahu kami, turut menumpang ke Kiunga.
Ini pertama kali saya berhadapan dengan seorang ”pengungsi OPM”. Tapi, sungguhkah dia, seorang perempuan yang begitu kecil dan ceria ini, bagian dari kekuatan yang hendak melawan kekuasaan Jakarta?
Keranjang noken yang dibawanya berisi buah pinang yang hijau segar. Dia hendak menjualnya ke pasar di Kiunga, seharga 80 toea hingga 1 kina per buah. Dari panci logam dia keluarkan makan siang untuk dirinya: nasi putih, mi instan goreng, dan ikan goreng. Caranya makan itu sangat Indonesia.
Perempuan bernama Dome itu mengatakan, di belakang Dawa sudah ada jalan menuju Indonesia. Mereka juga sering ke Indonesia untuk belanja. Orang Jawa bahkan sudah sampai di hutan di belakang Dawa untuk mengambil kayu.

Dome (kiri)_ makan siang dalam perjalanan menuju Kiunga.
Matahari semakin terik. Tiba-tiba perahu kami berhenti di tengah sungai. Raven berkali-kali men-starter mesin, tapi mesin tak mau bergerak juga.
Kabar buruk: Kami kehabisan bensin. Kabar buruk lain: kami hanya punya satu dayung. Kami pun terapung di tengah sungai. Kiunga masih 40 kilometer lagi.
Raven cuma bisa mendayung perahu dengan satu dayung. Tentu saja perahu nyaris tak bergerak, apalagi kami melawan arus sungai. Dua jam seperti ini, kami tak kuat lagi.
Dari arah berlawanan datang satu perahu panjang dengan dua lelaki. Raven berteriak dalam bahasa Melayu, ”Kawan! Kawan!” Bahasa Melayu tampaknya sudah menjadi bahasa utama karena keberadaan para ”pengungsi OPM” dari Papua Indonesia. Para lelaki itu setuju memberi satu liter bensin, ditukar dengan sagu dan beberapa pinang dari Dome, plus sejumlah uang dari Raven.
Akhirnya kami sampai di desa terdekat. Desa ini bernama Niukamban, alias Katawin. Juga adalah ”kamp OPM”. Raven turun, hendak membeli minyak dari warga desa. Dia berpesan agar saya berhati-hati, jangan sampai ada yang tahu saya orang Indonesia.
Demikianlah, kepada semua penduduk desa yang saya temui, saya mengaku sebagai orang China, dan hanya berbahasa Inggris. Raven masuk ke rumah pemimpin desa, minta bantuan untuk mencarikan minyak.
Saya menunggu di luar rumah itu, mengamati desa. Desa ini tampak sangat miskin. Hampir semua orang bertelanjang kaki dan mayoritas anak-anak tidak berpakaian. Pakaian yang dikenakan orang dewasa pun sudah robek-robek. Kebanyakan baju mereka bergambar logo partai-partai politik Indonesia.
Seorang pemuda bernama Johny mengaku berumur 15 tahun, tetapi kerut-kerut di wajahnya seperti sudah 40 tahun saja. Dia berbicara bahasa Indonesia dengan saya karena cuma ini bahasa yang dia bisa. Johny mengaku sering menyeberang ke desa Tunas di sisi Indonesia. ”Keluarga ada di tanah sebelah, tapi saya tinggal di sini, karena di sini sudah tumpah darah,” katanya.
Dia juga punya KTP Indonesia, yang membuat dia mudah keluar-masuk Indonesia.

Kiunga, Papua Niugini saat senja dilihat dari Sungai Fly
Kami baru tiba di Kiunga ketika matahari senja sudah kemerahan membilas kota. Kiunga bak metropolitan di tengah hutan. Dari kejauhan sudah terlihat pelabuhan modern, kapal-kapal besar, menara-menara besi, gedung-gedung tinggi dari logam. Setelah berminggu-minggu di pedalaman terpencil, saya merasakan betapa indahnya modernitas.
Raven mengantar saya ke gereja Protestan, tempat saya menginap malam ini di Kiunga. ”Besok kamu siap-siap. Saya akan bawa kamu ketemu pemimpin OPM,” pesannya.
Baca juga : Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.