Menyusuri Sungai Liar (Bagian 38)
Setelah tak berhasil mencapai garis perbatasan RI-Papua Niugini dari pesisir selatan Pulau Papua, Agustinus Wibowo mencoba benar-benar mencapai garis batas itu dengan menyusuri Sungai Fly.

Mama Ruth (paling kiri) bersama Agustinus Wibowo (tengah) dalam perjalanan dari Daru menuju Desa Doumori, Papua Niugini.
Garis batas antara Indonesia dan Papua Niugini sekilas berwujud garis lurus dari utara ke selatan pada 141° Bujur Timur. Di sekitar bagian tengahnya ada lekukan yang menonjol ke arah Indonesia. Itulah liuk-liuk Sungai Fly.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 35: Kasuari dalam Kurungan Bagian 36: Pedagang Gelap Indonesia Bagian 37: Globalisasi di Garis Batas
- Bagian 35: Kasuari dalam Kurungan
- Bagian 36: Pedagang Gelap Indonesia
- Bagian 37: Globalisasi di Garis Batas
Sebelumnya, saya berusaha mencapai garis perbatasan RI-PNG dari pesisir selatan Pulau Papua. Namun, titik terjauh yang berhasil saya capai adalah Desa Tais, masih sekitar 100 kilometer jauhnya dari garis batas. Setelah kembali ke Daru, saya ingin memulai perjalanan lain untuk benar-benar mencapai garis batas, yaitu dengan menyusuri Sungai Fly.
Sekitar 1.000 kilometer panjangnya, Sungai Fly adalah sungai terpanjang kedua di PNG setelah Sungai Sepik. Sungai ini pertama kali dirambah Francis Blackwood tahun 1842 dengan kapal korvet HMS Fly. Nama kapal itu lalu dijadikan nama sungai ini.
Dari Daru menuju kota Kiunga di hulu Sungai Fly, sekitar 700 kilometer jauhnya, ada kapal penumpang, dioperasikan perusahaan pertambangan Ok Tedi. Hanya sekali sebulan, tidak ada jadwal pasti, dan harga tiketnya sekitar Rp 2 juta.
Itu bukan perjalanan menarik bagi saya. Kapal itu berlayar nonstop sepanjang aliran sungai sehingga saya hanya akan melihat kehidupan di tepian sungai dari geladak kapal.
Saya ingin menumpang perahu nelayan. Dari Daru, saya akan mencari perahu nelayan yang menuju desa terdekat di muara Sungai Fly, lalu menumpang perahu nelayan menuju desa berikutnya. Demikian seterusnya, dari perahu ke perahu, dari desa ke desa, hingga mencapai Kiunga.
Semua warga mengatakan, rencana saya ini gila.

Perjalanan menuju Desa Doumori, Papua Niugini.
Saya hampir tak punya informasi apa-apa untuk perjalanan ini. Western Province termasuk daerah paling terpencil di PNG sehingga tak banyak tulisan atau buku tentangnya. Setidaknya, saya punya selembar peta Sungai Fly yang agak mendetail, yang saya foto dari dinding sebuah kantor LSM.
Saya juga mendapat saran berharga agar jangan sekali-sekali menjulurkan tangan keluar dari perahu karena sungai ini penuh buaya. Beberapa kawan mengingatkan saya untuk sangat berhati-hati sebagai orang Indonesia karena di sepanjang sungai ini terdapat banyak kamp pengungsi ”West Papua”.
Namun, saya percaya ini adalah perjalanan yang wajib saya jalani demi melihat Indonesia dari seberang batas.
Saya mendatangi dermaga di Daru untuk mencari tumpangan. Daerah pelabuhan ini dipenuhi orang dari beberapa daerah sekitar yang berjualan hasil bumi, mulai dari ikan, udang, sampai sagu dan tas anyaman. Para pedagang ini mengelompok berdasar kampung asal dan bahasa mereka. Saya menemukan, orang-orang penutur bahasa Kiwai yang berasal dari daerah muara Sungai Fly semua mengumpul di pantai Daru yang penuh sampah, di belakang supermarket New Century.
Orang PNG, terutama yang berasal dari kampung atau desa kecil, terkenal ramah. Dua hari kemudian, saya sudah berada di atas perahu besar milik keluarga Mama Ruth yang berasal dari Desa Doumori, di bibir Sungai Fly. Saya hanya perlu membayar sejumlah liter bensin demi meringankan biaya bahan bakar. Mereka datang ke Daru untuk berjualan sagu dan ikan, lalu berbelanja di Daru sebelum pulang.
Total kami dua belas orang di atas perahu. Setengah penumpang adalah anak-anak dan bayi. Ini perahu tradisional yang tinggi dan gagah. Di atas perahu terdapat papan kayu selebar 2 meter dan memanjang sekitar 8 meter, yang merupakan tempat bagi para penumpang. Papan kayu ini terletak 2 meter di atas permukaan laut sehingga kami tidak perlu khawatir basah kuyup oleh cipratan ombak. Selain itu, di sisi kanan perahu juga terdapat bilah-bilah penyeimbang yang lebarnya mencapai 5 meter, membuat jalannya perahu sangat stabil.
Laut pun teramat bersahabat. Berkat adanya muara Sungai Fly yang begitu besar, gelombang laut di sebelah timur Daru tidak seganas sebelah baratnya. Apalagi setelah melewati Pulau Parama dan berbelok ke utara, laut menjadi setenang sungai, tanpa gelombang sama sekali.

Merebus air dan memasak sagu di atas perahu
Doumori berjarak hanya 130 kilometer dari Daru, tetapi perjalanan kami memakan waktu sampai 12 jam. Ketika tiba waktunya makan, para perempuan bergiliran merebus air dan memasak sagu di atas perahu. Perahu ini sudah seperti rumah yang mengapung di lautan.
Senja merekah saat kami melintasi Pulau Parama. ”Tidakkah sebaiknya kita berhenti untuk bermalam?” tanya saya kepada Mama Ruth.
”Tidak bisa,” kata perempuan 30 tahunan yang bergigi putih karena tidak pernah mengunyah pinang itu. ”Kalau kita berhenti, kita tidak akan pernah sampai. Sekarang ada pasang, kita bisa langsung meluncur sampai Doumori.”
Perjalanan di gelap malam selalu mencekam bagi saya, apalagi ada kemungkinan perahu menabrak karang. Saya hanya bisa memercayakan nasib kepada mereka karena bagaimanapun, penduduk setempat paling tahu apa yang terbaik.
Dalam gulita malam, semua penumpang senyap. Kami berbaring berimpitan dan berangkulan, saling menghangatkan badan kami yang terus menggigil. Hanya dua lelaki muda yang tak tidur karena harus mengoperasikan mesin dan mengendalikan arah perahu.
”Sekarang kita menyeberangi Sungai Fly,” bisik Mama Ruth, yang tidur berpelukan dengan saya. Doumori terletak di tepian utara Sungai Fly.
”Berarti sebentar lagi kita sampai?” tanya saya.
”Belum. Menyeberangi sungai perlu dua jam,” katanya. ”Sungai Fly terlalu besar.”

Desa Doumori dari Sungai Fly
Saya masih tertidur lelap ketika perahu telah berhenti total. Tangan Mama Ruth mengguncang-guncang tubuh saya. Saya mengucek mata. Yang saya lihat hanyalah giginya yang putih bersih di tengah kegelapan.
”Welcome to paradise!” katanya sambil tersenyum melihat kampungnya yang terendam air pasang.
Baca juga : Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.