Hingga tahun 1960-an, warga Tais, Papua Niugini masih memiliki ketakutan yang kuat terhadap orang putih. Kini, hal itu masih dirasakan Agustinus Wibowo saat menyusuri daerah itu dalam "Indonesia dari Seberang Batas."
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Di desa pedalaman PNG, saya baru menyadari warna kulit saya ternyata bisa membuat orang takut. Ketika saya berjalan berkeliling desa Tais di pesisir selatan Western Province, banyak anak kecil lari terbirit-birit menghindari saya, atau bersembunyi di balik punggung ibunya. Bayi-bayi yang lebih kecil bahkan bisa menangis meraung-raung kalau saya mendekatinya, seolah mereka melihat hantu.
Kulit putih, menurut kepercayaan setempat, memang identik dengan hantu dan kematian. Dikisahkan dalam cerita rakyat di daerah ini, roh orang yang sudah mati akan terbang ke barat, dan di sana warna kulit mereka jadi putih.
Dalam buku The Folk Tales of Kiwai Papuans terdapat catatan perjalanan penjelajah Eropa yang merambah daerah Kepulauan Kiwai di dekat Daru pada akhir abad ke-18. Para penduduk lokal saat itu langsung berlutut dan menyembah-nyembah di hadapan orang Eropa, karena mengira orang putih sebagai titisan leluhur mereka dari dunia lain.
Pendeta Keiko Menggo yang bertugas di Tais mengatakan pada saya, ketakutan terhadap orang putih itu masih cukup kuat di tahun 1960-an. Saat itu, orang kulit putih pertama kali datang ke desanya, dan semua penduduk berlarian ke hutan untuk bersembunyi. Mereka pada waktu itu masih mengira bahwa orang putih adalah roh halus.
Orang putih pertama yang datang ke Tais adalah misionaris, yang membuat seluruh penduduk desa itu berpindah agama. “Memang sudah diatur oleh Tuhan bahwa kami orang hitam akan percaya kepada Tuhan melalui orang putih," kata Pendeta Keiko.
Orang Eropa datang ke PNG membawa pengetahuan dan teknologi modern, serta agama yang kini mereka anut. Itulah sebabnya, mereka sangat menghormati dan mengagumi orang kulit putih, yang mereka anggap lebih superior.
Saya bukan orang Eropa, tapi bagi mereka, saya sudah dianggap sebagai “orang putih”. Mereka di desa ini menyebut saya sebagai markai, “orang putih”, semacam sebutan “bule” kalau di Indonesia. Sebagai markai, saya menerima perlakuan yang teramat istimewa, seolah tamu agung yang harus dilayani setiap saat.
Saya mendapat tempat terbaik di bangunan rumah terbaru di seluruh Tais, lengkap dengan matras tebal yang dibungkus seprei. Sementara mereka semua tidur di lantai atau tikar di atas balai-balai kayu yang keras. Mereka juga melengkapi matras saya dengan bantal dan guling (yang mereka beli dari Merauke). Sisi, tuan rumah saya, bersikukuh bahwa semua perlengkapan tidur ini saya perlukan, karena “saya orang putih dari Indonesia”.
Soal makanan, Sisi juga setiap hari membuat masakan spesial untuk saya. Penduduk setempat setiap hari hanya makan ketela dan ubi jalar yang direbus dengan air santan. Tapi Sisi akan membuatkan masakan dengan ikan kakap hasil tangkapan tetangga, atau daging rusa hasil buruan para lelaki, yang direbus dengan ditaburi garam, yang merupakan barang mewah di Tais. Setiap dua hari sekali, Sisi juga mencuci pakaian saya.
Terlepas dari itu semua pelayanan luar biasa itu, ayah Sisi justru berterima kasih kepada saya karena “sudi” tinggal di desanya.
“Saya senang kamu orang putih yang berbeda dengan orang putih lainnya. Kamu mau bicara dan bercanda dengan kami, makan makanan kami, tidur satu ruangan bersama kami yang kulit hitam. Saya sungguh terharu.” tuturnya.
Saya merasa kekaguman mereka terhadap orang putih ini berlebihan, menjurus pada mentalitas inferior yang khas bangsa terjajah. Saya seperti menemukan refleksi perilaku mereka itu pada sebagian orang Indonesia. Apakah ini memang produk dari kolonialisme berabad-abad? Ataukah karena cakrawala pengetahuan dan pemikiran yang terlalu sempit?
Dalam penelitiannya di PNG, Jared Diamond pernah ditanyai seorang warga Melanesia setempat: mengapa kalian orang putih bisa memiliki berbagai macam barang yang hebat, sedangkan kami orang hitam tidak punya barang apa-apa?
Pertanyaan itu pada hakikatnya adalah tentang mengapa orang putih lebih superior daripada orang hitam. Pertanyaan itu sangat mengusik Diamond, sehingga selama berpuluh tahun dia terus melakukan riset untuk menjawabnya. Hasilnya dia tuangkan dalam buku terkenal Guns, Germs, and Steel (diterbitkan di Indonesia sebagai Bedil, Kuman, dan Baja).
Dalam buku setebal hampir 500 halaman itu, Diamond menguraikan perjalanan panjang peradaban umat manusia. Orang Eropa sebenarnya sama seperti orang Papua maupun semua bangsa lain di seluruh dunia, memulai perjalanan panjang peradabannya sebagai kawanan pemburu-pengumpul yang hidup berpindah-pindah. Namun, proses sejarah yang dialami orang Eropa menyebabkan mereka menjalani kehidupan yang berbeda dari orang Papua.