Ritual Agama Tua (Bagian 30)
Dengan keragaman budayanya yang luar biasa, Papua senantiasa menjadi surga bagi para antropolog. Hal ini juga dirasakan Agustinus Wibowo saat menyusuri Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Penduduk Tais punya cerita yang menjelaskan asal mula terciptanya manusia. Ini semula cerita yang sangat sakral, cerita rahasia yang hanya boleh dituturkan dalam ritual upacara istimewa.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 27: Rumah di Sini dan di Sana Bagian 28: Aku Juga Mau ke Merauke Bagian 29: Cerita Sakral
- Bagian 27: Rumah di Sini dan di Sana
- Bagian 28: Aku Juga Mau ke Merauke
- Bagian 29: Cerita Sakral
Singai Suku, kepala desa di Tais, menceritakan pengalamannya mengikuti ritual itu ketika dia berusia 15 tahun yang siap menjalani inisiasi. Inisiasi itu untuk menandakan bahwa seorang anak lelaki sudah cukup dewasa dan cukup tangguh sebagai anggota sah suku itu.
”Semua anak lelaki muda dibawa para tetua desa ke tengah hutan pada siang hari. Kami harus menjalani sejumlah ujian. Memanah, meniup seruling bambu, dan melontarkan senjata dari bilah-bilah bambu. Hanya yang lulus semua ujian yang boleh mengikuti upacara,” papar Singai.
Di tengah malam, para lelaki anggota suku membuat api. Para tetua desa duduk mengelilingi api. Shaman (dukun) memimpin upacara, menabuh gendang, menari dan melantunkan mantra, menghadirkan nuansa magis. Mereka membakar bulu seekor walabi (sejenis kanguru kecil), lalu bergantian menciumi aromanya.
Setelah itu, para tetua desa membisikkan cerita sakral itu ke para pemuda yang diinisiasi. Ritual berlangsung seminggu penuh. Cerita tersebut diulang dan terus diulang sehingga para pemuda bisa menghafal setiap kata dan detail dari cerita itu.
Sepanjang ritual berlangsung, kaum perempuan tetap tinggal di desa, menantikan kepulangan para lelaki dari hutan. Mereka mengecat wajah dengan arang, mewarnai sekujur tubuh, dan mengenakan rumbai-rumbai dedaunan pada pinggang. Ketika para lelaki datang, para perempuan menari-nari menyambut.
Kaum perempuan bersama para tetua desa kemudian memukuli punggung para pemuda yang sudah diinisiasi dengan batang kayu. Para perempuan meneriakkan banyak petuah, seperti ”Kau tak boleh bersanggama sebelum kami merencanakan pernikahanmu!” Para pemuda hanya boleh menatap ke depan, tak boleh menoleh ke belakang. Kalau melanggar, mereka dibunuh.
Setelah itu mereka menari-nari dan makan besar hingga berhari-hari.
Dengan keragaman budayanya yang luar biasa, Papua senantiasa menjadi surga bagi para antropolog untuk mempelajari akar budaya manusia.
Jared Diamond pernah melakukan riset di pedalaman Papua, baik di sisi PNG maupun Indonesia. Dalam buku The World Until Yesterday, dia memaparkan berbagai sistem sosial masyarakat modern bisa ditemukan akarnya di kehidupan masyarakat tradisional. Itu termasuk garis batas negara, sistem hukum, sistem ekonomi, bahasa, sampai agama. Oleh karena itu, sangat penting kita mempelajari kehidupan masyarakat tradisional demi memahami kompleksitas kehidupan di zaman modern ini.
Mengenai agama, Diamond percaya semua masyarakat pada mulanya punya ”agama”. Fungsi agama yang pertama-tama bagi masyarakat tradisional adalah untuk memberikan penjelasan atas berbagai misteri fenomena alam di sekeliling mereka. Pada zaman pra-sains, semua pertanyaan itu dijelaskan dengan cerita. Dari situ lahir berbagai cerita sakral, mitos-mitos penciptaan, juga kepercayaan terhadap roh leluhur, dewa-dewa, dan segala makhluk supernatural lainnya.
Fungsi agama berikutnya dalam masyarakat tradisional, menurut Diamond, adalah untuk meredakan kegelisahan manusia terhadap berbagai masalah atau bahaya yang ada di luar kendalinya. Itulah sebabnya manusia melakukan berbagai ritual, demi ”menyenangkan” berbagai kekuatan yang mereka percaya punya kuasa mengatur alam. Ritual-ritual itu membuat mereka mendapatkan ketenangan dan sejumput kepastian dalam menghadapi hidup.
Ini sejalan dengan penelitian antropolog terkemuka Bronisław Malinowski dari Polandia pada tahun 1910-an di Kepulauan Trobiands di Niugini. Dia mengamati bahwa penduduk desa selalu menggelar ritual sihir sebelum berangkat menangkap ikan di laut lepas yang penuh bahaya. Tapi mereka tidak pernah menggelar ritual ketika hendak menangkap ikan di laguna, yang airnya tenang dan tanpa bahaya apa-apa.
Ritual erat berhubungan dengan cerita sakral. Ritual inisiasi di Desa Tais adalah proses pewarisan cerita sakral. Dengan ritual tersebut, para lelaki anggota suku akan senantiasa mengingat cerita sedetail-detailnya dan mengimaninya sebagai kebenaran mutlak.
Di sini saya menemukan bahwa cerita sakral, ritual, dan agama juga berfungsi sebagai penanda identitas. Ritual lalu menjelma menjadi tradisi, yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam ritual di Tais itu, juga bisa menemukan hal-hal yang kini disebut sebagai ”budaya”, seperti alunan mantra, lagu, tari-tarian, dan pakaian adat.
Dalam masyarakat tradisional, budaya dan agama memang begitu menyatu. Memisahkan mana yang murni adat dan mana yang murni agama mereka, sesungguhnya sama sulitnya dengan membelah rambut.
Tapi kini, cerita sakral itu tak lagi sakral, dan ritual-ritual itu pun mati.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.