Mengapa Harus Ada Batas (Bagian 18)
Perbatasan bukan hanya tentang sekat yang memisahkan, tapi juga tentang kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas."
Selama saya berada di Daru, Mekha berpesan agar jangan berbicara bahasa Indonesia di tempat umum. Juga tidak mengumbar identitas keindonesiaan saya. Dia menganjurkan saya menyebut diri sebagai orang Cina atau Filipina.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 15: Lulusan Indonesia di PNG
- Bagian 16: Pulau Ikan Kakap
- Bagian 17: Wantok
Daru pernah menjadi tempat tinggal ribuan pengungsi “West Papua” dari sisi Indonesia, dan banyak dari para pengungsi itu adalah pendukung gerakan Papua merdeka. Beberapa tahun lalu, pemerintah PNG bekerja sama dengan Indonesia memulangkan hampir semua pengungsi itu dari Daru ke Indonesia. Konon terjadi tangisan massal ketika penduduk Daru melepas kepergian para saudara Melanesia mereka.
“Orang di sini merasa punya koneksi Melanesia dengan orang-orang Papua di seberang perbatasan sana, karena kami adalah wantok,” jelas Mekha.
Itu berhubungan dengan buruknya impresi tentang Indonesia di negara ini. Banyak orang PNG mengira Indonesia adalah negara komunis, penuh kekerasan militer. Banyak pula yang takut karena perbedaan agama. Pendek kata, Indonesia identik dengan ancaman.
Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya kepada saya, untuk memastikan rumor yang dia dengar, bahwa “orang putih” Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan. Tahun lalu, dia bilang, di Daru beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke PNG untuk membunuhi warga setempat, untuk diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana.
Saya syok. “Dan Anda percaya?”
“Semua orang heboh. Kami sampai tak berani keluar rumah, takut dibunuh orang Indonesia,” katanya. “Bahkan orangtua di sini sampai menakuti anak yang bandel agar tak keluar malam dengan mengatakan, ‘Awas, nanti ada Indonesia!’”
Berbagai cerita buruk tentang Indonesia yang beredar di Daru membuat saya sedikit bimbang untuk memenuhi undangan Mekha dan guru lainnya untuk berbicara di depan para siswa kelas XI di sekolah mereka. Topik yang diminta pun cukup sensitif: perbatasan.
Siang hari itu, di ruangan aula besar yang dipenuhi sekitar 200 siswa, saya berdiri sendirian di hadapan mereka sebagai seorang Indonesia. Pertama-tama saya menggambar peta Pulau Papua di papan tulis, lengkap dengan garis batas lurus di tengah yang membelahnya menjadi dua negeri. Saya juga menggambar pulau-pulau Indonesia lainnya.
“Siapa yang tahu gunanya garis batas?” saya bertanya.
Senyap.
Para guru sibuk memotivasi para siswa untuk bicara. “Jangan sia-siakan kesempatan ini,” mereka bilang. “Ini ada orang dari seberang batas sana bicara tentang perbatasan.”
Seorang siswa lelaki mengacungkan tangan, dan berkata, “Kami tidak mau perbatasan. Kami mau perbatasan dihapus.”
“Kenapa?” tanya saya.
“Karena garis batas membuat kita tidak bisa saling mengenal.”
Siswa itu berasal dari Distrik Morehead, di ujung barat Western Province yang berbatasan langsung dengan Merauke. Dia juga pernah ke Merauke untuk belanja. Ternyata cukup banyak siswa di sekolah ini yang berasal dari daerah perbatasan, sehingga tidak terlalu asing dengan Merauke, bahkan mereka bisa sedikit bahasa Indonesia.
Saat ini, perbatasan RI-PNG yang sepanjang 770 kilometer itu hanya dibuka di utara pulau, yaitu di Wutung dekat Jayapura. Di bagian selatan pulau, tak ada perbatasan internasional yang dibuka, kecuali bagi penduduk desa sekitar perbatasan.
Tapi ada pula sejumlah siswa yang tidak setuju perbatasan dibuka. Mereka khawatir perdagangan ilegal, narkotika, kriminal, dan pembunuhan.
“Perbatasan,” kata saya, “membutuhkan keuntungan bagi kedua pihak, juga kerugian yang minimal.”
Mr. Jamie Namorong, seorang guru, menangkis, “Masalah terbesar kami hanyalah akses. Dari sini ke Port Moresby sangat jauh, tapi ke Indonesia sangat dekat. Kami mau ada pelabuhan, supaya Indonesia bisa beli tapioka dan ikan dari kami. Kami juga bisa jual nanas, ketela, kakap, daging rusa. Saya tahu di Merauke permintaannya besar sekali, dan barang dari kami bisa bantu turunkan harga di sana.”
Kelas yang semula sunyi kini menjadi meriah. Para siswa tak henti-hentinya mengacungkan tangan.
“Kami mau bisnis di Jakarta dan Jayapura.”
“Sekolah…”
“Rumah sakit…”
“Pasar…”
Diskusi yang meriah, dan memberi banyak perspektif baru. Perbatasan ini ternyata bukan hanya tentang sekat yang memisahkan, yang membuat orang-orang hidup dalam ketidaktahuan dan kecurigaan. Perbatasan ini juga tentang kepentingan ekonomi, keamanan, politik, dan geopolitik.
Keluar dari ruang aula ini, kepala saya terasa berat. Sedikit terhuyung-huyung, saya berjalan menuju kantin sekolah, mencari minuman.
Begitu girang saya menemukan di ruangan sempit itu berjejer sederet susu kotak bermerek Indomilk dengan ukuran kecil. “Indomilk? Indomilk Indonesia?” saya antusias bertanya kepada penjaga kantin.
Pemuda itu menggeleng lemah. “Sorry. Tidak ada Indomilk Indonesia. Kami hanya ada Indomilk cokelat.”
Baca juga: Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.