Mengunjungi Papua Niugini di abad ke-21 sebagai orang asing adalah sebuah petualangan. Ikuti perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Oleh
AGUSTINUS WIBOWO
·4 menit baca
Sejarah Port Moresby, Papua Niugini, diawali dari kampung nelayan.
Ketika orang Eropa singgah pertama kali akhir abad ke-19, di daerah ini terdapat sejumlah desa yang dibangun dengan rumah panggung di atas air laut. Desa-desa itu secara kolektif disebut Hanuabada, berarti “kampung besar”. Penghuni utamanya adalah suku Motu.
Saat ini hanya ada dua kampung di atas laut yang tersisa di Port Moresby, yaitu Hanuabada dan Koki. Sama seperti di Koki yang sudah saya kunjungi sebelumnya, jalanan utama di Hanuabada yang menghubungkan rumah-rumah panggung adalah jembatan dari bilah-bilah kayu.
Keamanan Hanuabada jauh lebih baik daripada Koki, sehingga kampung ini lebih mudah diakses turis asing. Tapi risiko tetap ada, sehingga pengunjung sebaiknya selalu ditemani warga setempat.
Tuan rumah saya adalah Pastor Paul Liwun, yang berasal dari Flores, Indonesia. Dia sudah belasan tahun tinggal di PNG, dan “baru” empat tahun di Hanuabada. Walaupun fasih berbahasa Tok Pisin dan penampilannya sangat mirip orang lokal, Paul mengaku sudah mengalami penodongan dan perampokan yang tak terhitung banyaknya sejak tinggal di negara ini.
Mengunjungi PNG di abad ke-21 sebagai orang asing adalah sebuah petualangan. Tapi tentunya jauh lebih dahsyat petualangan para penjelajah Eropa, yang datang ketika suku-suku pribumi Papua sama sekali belum pernah berkontak dengan dunia luar.
Penjelajah Eropa yang disebut “penemu” Port Moresby adalah Kapten John Moresby. Dia mendarat tahun 1873, di daerah pelabuhan yang tidak jauh dari Hanuabada. Saat itu, kedatangan Moresby tak diiringi konflik berarti dengan suku Motu, penghuni daerah ini, yang terkenal lembut dan damai. Setelah menginjakkan kakinya, Moresby mengklaim seluruh daerah ini sebagai milik Inggris, dan menamai daerah sekitar pelabuhan itu dengan nama ayahnya, Laksamana Sir Fairfax Moresby.
Dari situlah asal nama Port Moresby.
Tahun 1905, Port Moresby menjadi ibukota Teritori Papua di bawah Australia. Sejak itu, Port Moresby terus berkembang, terutama di daerah pelabuhan. Listrik pertama kali merambah pada 1925, dan Hanuabada termasuk salah satu daerah pertama di negeri ini yang mendapat aliran listrik.
Orang Hanuabada sering membanggakan arti penting kampung mereka bagi kemajuan PNG. Dalam buku Upstream Through Endless Sand and Blessing, penulis Lahui Ako yang putra daerah Hanuabada menyebut, “Di Hanuabada-lah London Missionary Society (LMS) membangun basis yang membuka jalan bagi agama Kristen dan modernisasi di daerah ini.”
Satu hal yang cukup mengejutkan saya, banyak penduduk Hanuabada secara fisik lebih mirip orang Jawa. Jika orang Melanesia Papua umumnya berambut keriting dan berkulit hitam, orang Motu warna kulitnya lebih terang, mengarah ke sawo matang, dan ada pula yang berambut lurus.
Dari sisi genetik, orang Motu yang menghuni pesisir tenggara PNG lebih cenderung Polinesia. Orang Polinesia adalah bangsa pelaut yang ribuan tahun lalu merambah sampai ke pulau-pulau terpencil Samudra Pasifik, hingga Selandia Baru, Tahiti, dan Hawaii. Orang Polinesia masih berkerabat dekat dengan orang Austronesia yang menghuni Indonesia. Bahasa Motu berbeda dengan kebanyakan bahasa di Papua, termasuk rumpun bahasa Austronesia yang sama dengan bahasa Indonesia.
Sebagai bangsa pelaut, orang Motu sejak dahulu sudah menjadi pedagang bahari. Setiap tahun mereka melakukan ekspedisi perdagangan hiri. Mereka berlayar ke daerah pesisir Teluk Papua, menggunakan perahu layar tradisional lakatoi.
Dengan layar yang bentuknya menyerupai cakar binatang, lakatoi berbulan-bulan mengarungi lautan lepas nan ganas. Dalam satu ekspedisi, 20 lakatoi diawaki 600 pelaut Motu membawa sekitar 20 ribu pot tanah liat, untuk ditukar dengan sagu dari Teluk Papua.
Kini, perdagangan tradisional Motu itu dirayakan setiap tahun dalam festival akbar Hiri Moale. Saat itu, pantai Port Moresby dipenuhi lakatoi, diiringi tarian dan tabuhan musik yang menggugah kebanggaan mereka sebagai bangsa bahari.
Sebagai bangsa bahari, orang Motu juga berbangga karena bahasa mereka menjadi bahasa perdagangan yang dipakai secara luas di daerah pesisir yang mereka kunjungi. Ini mirip posisi bahasa Melayu yang pemakaiannya meluas di pulau-pulau Nusantara. Karena itulah, pemerintah kolonial Inggris pada awal abad ke-20 berusaha menjadikan “Hiri Motu”—versi sederhana dari bahasa Motu—sebagai bahasa pemersatu negara ini.
Setelah PNG merdeka pada tahun 1975, Hiri Motu diakui sebagai salah satu bahasa nasional PNG, bersama Tok Pisin dan bahasa Inggris. Sayang, saat ini penggunaannya sudah sangat redup, dan mayoritas penuturnya sudah berusia lanjut.
Yang menggusur posisi Hiri Motu itu adalah Tok Pisin, suatu versi bahasa Inggris “rusak” dengan citarasa lokal.