Menghabiskan Waktu ala PNG (Bagian 7)
Bermalam di perkampungan Koki di bibir pantai Port Moresby, saya mendengar tiga suara tembakan. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Bermalam di perkampungan Koki di bibir pantai Port Moresby, saya mendengar tiga suara tembakan. Saya membayangkan perkelahian antargeng mafia.
“Apa itu?” saya gemetaran bertanya pada Helen, tuan rumah saya.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
“Itu petugas NCDC,” kata Helen. NCDC atau National Capital District Comission adalah pemerintah daerah di ibukota Port Moresby. “Mereka sedang mengusir para pedagang pinang di pasar ujung kampung.”
Pinang, dalam bahasa setempat disebut buai, hampir selalu ada di mulut orang PNG. Mereka terus mengunyah pinang sepanjang hari sampai gigi mereka merah semua. Masalah utama dari kebiasaan ini adalah kebersihan. Kulit pinang berserakan di mana-mana karena orang membuangnya di sebarang tempat. Orang juga sering meludahkan kunyahan pinang sembarangan, menyisakan bercak merah di tembok dan jalanan, yang sulit dibersihkan.
Tidak tahan lagi, pemerintah ibukota melarang total penjualan pinang. Sore hari, para petugas NCDC datang untuk membubarkan paksa kerumunan di pasar buai, dengan menyemprotkan gas air mata dan meletupkan tembakan. Orang-orang akan lari tunggang langgang, dan kericuhan pun merebak. Para pedagang pinang yang tertangkap akan dipenjara, baru dibebaskan setelah membayar denda.
Setelah suara tembakan mereda, Jo, menantu Helen yang berambut gimbal seperti Bob Marley, mengajak saya merasakan gaya hidup khas PNG: loafing around. Bermalasan menghabiskan waktu tanpa tujuan di jalanan.
Kami kembali turun ke jalan besar beraspal. Di bawah redup sinar lampu jalan, puluhan bocah bermain sambil berteriak-teriak. Mereka langsung mengerumuni saya sambil memekik, “Boss! Boss! Photo me!” atau “China! China!” Jo menghalau mereka dengan membentak galak.
Bagi orang dewasa, kegiatan utama saat loafing around adalah mengunyah pinang. Jo membeli sebutir pinang seharga 1 kina (Rp 5.000). Untuk saya, dia membelikan irisan kecil pinang yang sudah dikupas, seharga 20 toea.
Saya menggigit satu potongan kecil, merasakan pahit yang bikin meringis. Saya juga menerima sebatang tanaman daka (moster) yang hijau dan keras, mencocolkannya ke serbuk kapur, menggigitnya, dan mengunyah bersama pinang yang masih di mulut.
Di PNG, saya baru menyadari makna ungkapan Melayu, “sekapur sirih”,
Di Nusantara juga ada tradisi mengunyah sirih, pinang, bersama serbuk kapur seperti ini. Di PNG inilah saya baru menyadari makna ungkapan Melayu, “sekapur sirih”, karena mengunyah sirih atau pinang ternyata selalu ditemani dengan kapur, dan paket lengkap sirih-kapur itu dulunya merupakan perangkat wajib untuk menyambut tamu dalam budaya Sumatera.
Di masa kecil saya dulu di Jawa, simbok tukang pijat yang sering datang ke rumah kami selalu mengulum segumpal sirih, yang bentuknya menyerupai bola kecil dari benang-benang merah, dan seperti tidak pernah lepas dari mulutnya. Ibu saya melarang saya mencicipnya. Di zaman sekarang, saya sudah tak ingat kapan terakhir kali melihat orang Indonesia di sekitar saya menyirih.
Sedangkan di PNG, tradisi ini masih teramat kuat. Hampir semua orang—tua, muda, sampai anak-anak—mengunyah pinang sepanjang hari. Tapi saya belum menemukan di mana nikmatnya. Tenggorokan saya terasa terbakar, air mata menetes deras. Kepala pening, saya terhuyung-huyung. Saya sudah mabuk pinang hanya dalam satu gigitan.
Jo buru-buru memberi saya minum air. “Jangan telan cairan pinang! Ludahkan keluar!”
Para pemuda yang mengerumuni kami terbahak-bahak melihat reaksi saya. Justru rasa mabuk dan melayang-layang itulah yang mereka nikmati dari mengunyah pinang. Pinang memang memiliki efek stimulan, dan itu bisa menjadi adiksi yang sulit dihentikan.
Seorang pemuda bergigi merah gara-gara pinang, menumpahkan kekesalannya kepada pemerintah Port Moresby yang melarang penjualan pinang. Dia menyebut pinang sebagai identitas, budaya kebanggaan PNG, dan itu tak boleh dilarang.
“Apalagi mengunyah pinang selalu ditemani kapur. Kapur itu kalsium, bagus untuk gigi. Mengunyah pinang sama dengan menyikat gigi,” katanya.
Jumat malam adalah waktu puncak untuk aktivitas ceria loafing around bagi warga lokal.
Itu karena para pekerja di PNG mendapatkan upah mereka setiap dua mingguan, yang umumnya dibayarkan pada Jumat sore. Banyak orang langsung membelanjakan uang itu untuk membeli bir. Hasilnya, jalanan dipenuhi orang mabuk yang beringas. Malam ini, kami bersama ratusan orang lainnya berkerumun menonton dua lelaki mabuk yang sedang bertarung hebat di tengah jalan.
Sebagai orang asing, saya bisa berleha-leha di jalanan perkampungan Koki yang tersohor sebagai salah satu daerah rawan kejahatan di Port Moresby, sungguh kesempatan langka. Itu semata-mata karena saya punya pengawal hebat. Jo adalah warga lokal yang bertubuh gempal bak pegulat.
Tapi tak semua orang PNG bisa kita jadikan pengawal. Ketika berkunjung ke suatu perkampungan, kita harus ditemani orang yang berasal dari perkampungan itu. Setiap perkampungan di Port Moresby rupanya dihuni orang sekaum yang berasal dari satu daerah. Sesama orang PNG tapi beda daerah asal bisa diserang ketika berkunjung ke kampung yang bukan dihuni orang sekaumnya.
Ibukota ini bagaikan taburan suku-suku yang masih berperang satu sama lain.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.