Masalah utama Port Moresby adalah maraknya pelaku kriminal, yang dalam bahasa setempat disebut ”raskol”. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Kesan pertama saya tentang negara ini sebenarnya sangat bersahabat. Di jalanan Port Moresby, warga lokal berjalan sangat perlahan, seolah mereka menggenggam semua waktu di dunia. Beberapa berkerumun, girang bermain dengan sejenis binatang eksotik penuh bulu yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Tetapi, kalau diamati lebih teliti, semua bangunan besar bertembok tebal, seperti benteng, dijaga petugas keamanan yang membawa senapan laras panjang dan anjing besar. Rumah-rumah besar juga dikelilingi tembok tinggi yang dipasangi gulungan kawat berduri atau pecahan beling. Mobil-mobil bertuliskan ”SECURITY GUARD” berlalu lalang memadati jalanan.
Ada aroma bahaya yang samar-samar menyelimuti kota ini.
”Keamanan adalah bisnis utama di negeri ini,” kata Kelwyn Browne, kawan Australia yang menjemput saya di bandara.
Keamanan Port Moresby memang tersohor buruknya. Kel mengatakan, semua orang asing pasti punya cerita tentang kekerasan, atau setidaknya punya kenalan yang mengalami langsung.
Alih-alih mengandalkan polisi, semua sektor bisnis sampai kantor kedutaan sangat bergantung pada perusahaan keamanan swasta. Bahkan, penjagaan keamanan Bandara Port Moresby dipegang oleh G4S, perusahaan swasta yang berpusat di Inggris.
Sektor keamanan bisa dikatakan penyedia lapangan kerja terbesar bagi warga kota. Seorang petugas keamanan digaji 200 kina (sekitar Rp 1 juta) per dua minggu, tetapi pengguna jasa harus membayar sampai puluhan ribu kina kepada perusahaan keamanan.
Biaya keamanan yang tinggi membuat semua di kota ini serba mahal. Penginapan termurah di Port Moresby juga dikelilingi tembok laksana benteng dan dikawal petugas bersenjata. Harganya mencapai Rp 1 juta semalam, untuk kamar sempit sekelas losmen. Negara ini bukan destinasi bagi pengunjung berkantong cekak.
Sebagai konsultan bagi kementerian PNG, Kel mendapat fasilitas tinggal di hotel bintang empat. Tetapi, jangan bayangkan kemewahan. Kamar sempit, dengan dinding yang begitu tipis sampai percakapan di kamar sebelah bisa terdengar jelas. Tak ada layanan sarapan, dan kolam renang hotel hanya sedikit lebih besar daripada kolam keluarga, tarif menginapnya 750 kina (Rp 3,75 juta) semalam. Australia pun kalah mahal.
”Jangan main-main dengan keamanan di sini,” kata seorang diplomat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) tegas memperingatkan saya. Dia tidak merekomendasikan saya berjalan kaki sendirian, naik kendaraan umum, atau bahkan naik taksi.
Risiko keamanan membuat para diplomat Indonesia tinggal berdekatan dalam satu kompleks.
Semua staf Indonesia di KBRI selalu bermobil ke mana-mana. Lewat pukul enam sore, mobil-mobil mereka berjalan beriringan membentuk konvoi saat pulang kantor. Begitu pun, tetap ada risiko mobil dilempari batu atau dirampok di tengah jalan.
Risiko keamanan membuat para diplomat Indonesia tinggal berdekatan dalam satu kompleks. Mengkhawatirkan keselamatan saya, duta besar RI saat itu, Andreas Sitepu, mengatur agar saya menginap di rumah diplomat yang bersebelahan dengan wisma Duta Besar.
Beberapa tahun ini Port Moresby selalu masuk jajaran kota paling tidak layak huni di dunia menurut versi The Economist. Tahun 2003, Port Moresby bahkan menduduki peringkat ke-1 dari 130 kota yang disurvei. Dalam daftar ini juga ada Lagos (Nigeria) dengan kekacauan konfliknya, Bogota (Kolombia) dengan mafia narkotikanya, dan Karachi (Pakistan) dengan kriminalitas dan terorismenya.
Masalah utama Port Moresby adalah maraknya pelaku kriminal, yang dalam bahasa setempat disebut raskol. Kata ini berasal dari bahasa Inggris, rascal (“anak nakal”). Tetapi, para raskol itu jauh lebih mengerikan daripada sekadar nakal.
Aksi geng kriminal di kota ini termasuk perampokan hingga perkosaan. Raskol juga tidak segan membunuh. Menurut survei Home Office Inggris tahun 2004, tingkat pembunuhan di Port Moresby tiga kali lebih tinggi dari Moskwa, 23 kali dari London.
Atase Pendidikan KBRI di Port Moresby pada saat itu, Didik Wisnu, pernah mengalami sendiri aksi raskol. Pada sore yang naas itu, dia baru pulang dari kantor, memarkir mobil di garasi rumahnya. Begitu dia turun dari mobil, seorang lelaki sudah menodongkan pistol ke arah kepalanya. Seorang lelaki lain di sampingnya juga menodongkan pistol. Satu lagi lelaki tak bersenjata menggerayangi tubuhnya dan merampas semua yang ada dalam sakunya.
Wisnu hanya bisa diam menyaksikan para perampok membawa lari mobilnya begitu saja di depan matanya. Dalam keadaan begini, nyawa jauh lebih berharga.