Saatnya Ekplorasi Tempat Wisata Lokal
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama setahun lebih di Indonesia tidak membuat para pecinta perjalanan jadi mati gaya.
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama setahun lebih di Indonesia tidak membuat para pecinta perjalanan jadi mati gaya. Mereka justru memanfaatkan kesempatan untuk ekplorasi lokasi-lokasi wisata di daerah tempat tinggalnya. Meski tidak perlu lagi pergi jauh, hati senang, pikiran tenang, tempat wisata lokal pun jadi berkembang.
Pada Jumat dan Sabtu, 14 – 15 Mei 2021, Beatrix Marendeng (36), mengajak putranya Hans (12) untuk berkemah di tempat kumpul keluarga atau yang biasa disebut Tongkonan Minanga, Sulawesi Selatan. Tempat kumpul keluarga ini dikelilingi alam terbuka yang menyegarkan, seperti hutan dan sawah. Letaknya hanya 9 kilometer dari tempat tinggalnya di Makale.
Kegiatan berkemah diikuti Hans bersama sembilan teman sebaya yang memang sudah sering kumpul untuk les Bahasa Inggris. Di Tongkonan Minanga, anak-anak mengikuti berbagai permainan yang dibuat dalam bahasa Inggris untuk melatih kemampuan berbicara mereka. Selain itu, anak-anak juga diajak tracking ke sawah, main bola, dan membakar sate.
Kegiatan ini selain menghibur dan mendidik anak-anak, juga membuat mereka mengenal daerahnya. “Anak saya senang sekali. Selama dua malam tidak bisa tidur karena ia sangat bersemangat pertama kali camping dengan teman-teman,” ujar Beatrix.
Agar kegiatan berkemah lebih aman, Beatrix menyediakan beberapa spot cuci tangan dan sebisa mungkin anak-anak diminta menjaga jarak saat berinteraksi. Tenda yang muat untuk delapan anak hanya diisi 3-4 orang. Mereka yang mengikuti kemping juga berasal dari ‘social bubble’ atau kelompok tertutup yang bisa berinteraksi terbatas untuk mencegah penyebaran Covid-19.
“Beberapa bulan terakhir, anak-anak ini sudah sering bertemu untuk les Bahasa Inggris. Selama 3-4 bulan terakhir tidak ditemukan kasus positif di antara anak-anak atau di keluarga anak-anak ini, sehingga kami berani membuat acara kemah sambil belajar Bahasa Inggris,” ujar Beatrix.
Sebelum pandemi, ibu dua anak ini menganggap bahwa traveling berarti pergi ke luar kota atau bahkan luar pulau. Setidaknya setahun sekali, ia mengajak anak-anaknya ke Komodo, Bali, dan Lombok. Beatrix dan keluarga justru jarang mengunjungi tempat-tempat wisata di daerahnya. Padahal, ia tinggal di Tana Toraja yang terkenal dengan keindahan panorama dan kearifan budaya lokal.
Kini, mengunjungi tempat wisata di sekitar menjadi pilihan paling realistis. Pilihan ini diambil untuk menjaga kesehatan mental, mencegah kebosanan pada anak-anak, dan mengurangi ketergantungan anak-anak pada gawai, sambil tetap menjaga kesehatan.
Biasanya, Beatrix memilih tempat wisata yang bisa ditempuh hanya dengan 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Ia juga memilih tempat wisata di alam terbuka dan jauh dari kerumunan sebagai “short escape”. Beberapa pekan lalu, misalnya, Beatrix mengajak putrinya Hilde (17) berkunjung ke Swaya, atau tempat penguburan raja-raja, dan kuburan Gua Alam di Tampang Allo. Meski ini bukan kunjungan pertama mereka di tempat wisata daerah, pengalaman yang didapatkan terasa jauh berbeda.
“Dua tahun lalu aku pernah ke Tampang Allo. Dulu, mau foto aja susah banget karena rebutan space dengan pengunjung lain. Minggu lalu aku ke sana kuburannya sepi jadi terasa tambah seram. Jadi, pandemi ini memang memberikan pengalaman berbeda saat berkunjung ke tempat wisata lokal,” katanya.
Kegiatan lain yang sering dilakukan adalah berkumpul dengan keluarga dekat, seperti dengan sepupu-sepupu untuk membakar ikan atau memasak makanan tradisional. “Lokasi wisata yang sebelumnya kelihatan biasa saja, kini jadi sangat berharga. Aku jadi kembali ke daerah, menikmati tempat wisata lokal, bahkan hanya menikmati cuaca menjadi sesuatu yang wah,” ujar perempuan yang bekerja di RSUD Lakipadada ini.
Penyebaran virus juga menganggu dinamika perjalanan Olivia Dianina Purba (32), penulis dan travel blogger. Pada Desember 2019, Olivia memulai perjalanan keliling dunia. Ia mengawali perjalanan dari Indonesia Singapura, kemudian keliling negara-negara di Eropa. Olivia sudah singgah di beberapa negara seperti Yunani, Irlandia, dan Spanyol. Saat sampai di Argentina pada Maret 2020, negara ini mengkonfirmasi kasus Covid-19 perdana mereka.
Pemerintah Argentina kemudian mengeluarkan kebijakan kuncitara. Semua penerbangan dibatalkan untuk menghindari penyebaran virus. Selama lima bulan Olivia terjebak di Argentina. Padahal, semula ia hanya berencana singgah selama dua pekan. Penulis buku Traveling Aja Dulu! terpaksa membatalkan semua rencana penerbangan ke negara-negara lain.
Olivia bahkan sempat kesulitan untuk bertemu dengan pasangannya yang tinggal di Belanda. Setelah ada desakan dari masyarakat melalui kampanye media sosial, Love Is Not Tourism, Olivia bisa kembali bertemu pasangannya. Ia sempat mengunjungi sang kekasih di Belanda selama sebulan. Pada September 2020, perempuan yang sudah singgah di 50 negara ini kemudian kembali ke Indonesia untuk bekerja.
Sejak akhir tahun lalu, Olivia menetap di Bali. Ia sudah tidak bisa lagi bebas melalang buana karena banyak negara membatasi dan kerap membatalkan penerbangan. Biaya perjalanan ke luar negeri juga jadi membengkak karena harus mengeluarkan ekstra untuk mengikuti test antigen dan menjalani karantina mandiri selama dua pekan di negara tujuan.
Meski sekarang harus tinggal di satu kota, bukan berarti Olivia tidak ke mana-mana. Ia masih melakukan perjalanan antar daerah, seperti ke Bandung, Jawa Barat; Medan, Sumatra Utara, dan DKI Jakarta. Di Bali, ia juga menggunakan kesempatan untuk ekplorasi tempat-tempat wisata lokal, atau mengunjungi restaurant dan kafe yang belum pernah dicoba sebelumnya.
“Aku belajar mengambil hikmah dari suatu kejadian. Mungkin sekarang aku harus fokus dengan pekerjaan karena tidak bisa traveling. Aku juga jadi menemukan hobi baru, seperti masak dan bikin vlog,” ujar perempuan yang kerja di perusahaan start-up bidang lingkungan.
Larangan berpergian ke luar negeri juga dimanfaatkan travel blogger Farchan Noor Rachman (34) bersama istri Putri Ayyini (32) untuk menjelajahi daerah tempat tinggalnya. Untuk mengusir kebosanan, pasangan ini sering memanfaatkan waktu dengan bersepeda atau berjalan kaki di Jakarta dan sekitarnya.
Beberapa pekan lalu, misalnya, Farchan dan istri pergi ke daerah Mekarsari untuk jalan sehat. “Aku mencari tempat yang tidak banyak orang. Kalaupun pergi ke mal, biasanya hanya untuk belanja bulanan atau menonton film. Itu juga dipilih waktu yang tidak ramai,” katanya.
Sebelum pandemi, Farchan memang sudah sering naik sepeda. Biasanya ia naik sepeda dari rumah di daerah Serpong, Tangerang Selatan, ke Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat. Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan KRL ke kantor di Jalan Jendral Sudirman. Kini, Farchan gowes dari rumah ke kantor untuk mengindari perjalanan dengan angkutan massal.
Saat akhir pekan, Farchan juga mengisi waktu dengan gowes bersama istri. Pria yang bekerja sebagai aparatur sipil negara ini sangat senang ketika bisa menemukan jalur sepeda yang jarang dilewati orang kebanyakan. “Kalaupun melewati jalur umum yang ramai, biasanya kami memilih tempat istirahat yang sepi dan jauh dari kerumunan,” jelasnya.
Kegiatan bersepeda biasanya dimulai pukul 05.30. Setelah bersepeda selama 1,5 jam, ia biasa beristirahat sambil mencari sarapan, sebelum kembali ke rumah. Untuk mengisi waktu, Farchan memang memilih kegiatan yang minim kontak dengan orang lain. Ketika ingin berlibur ke tempat yang agak jauh, ia juga memilih lokasi-lokasi yang bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor. Ini menjadi kebiasaan baru mengingat sebelum pandemi Farchan bisa pergi ke 4-5 negara berbeda dalam setahun.
Baca juga : London yang Terus Bergerak
Menurut Farchan, pandemi mengajarkan para pelaku wisata daerah untuk secara kreatif mempromosikan daerahnya kepada turis lokal. Pelaku wisata di Lombok, misalnya, sudah tidak lagi mengandalkan kunjungan turis mancanegara. Mereka justru sebisa mungkin menarik kunjungan dari turis dalam negeri. Pandemi ini juga mengajarkan para pelancong untuk kreatif dalam mengisi waktu luang dan menentukan tempat wisata.
“Kalau dulu wisata inginnya pergi yang jauh-jauh, sekarang sudah tidak perlu lagi karena paling penting adalah bisa keluar rumah aman, pulangnya juga aman. Sekarang, wisata itu sudah tidak muluk-muluk lagi. Aktivitas yang kita lakukan sekarang, dari sepedaan sampai jalan kaki, lebih mengajak kita merefleksikan kehidupan sehari-hari,” jelasnya.