Sekadar Kebetulan di Bhutan
Ketika terjadi kebetulan-kebetulan dalam sebuah perjalanan, mungkin saja itu bukan kebetulan. Izinkan saja semua kemungkinan terjadi. Sebab, hal-hal yang tak mungkin di dunia saat ini menjadi mungkin di Bhutan.
Ketika terjadi kebetulan-kebetulan dalam sebuah perjalanan, mungkin saja itu bukan kebetulan. Izinkan saja semua kemungkinan terjadi. Sebab, hal-hal yang tak mungkin di dunia saat ini menjadi mungkin di Bhutan. Termasuk poliandri. Eh, gimana?
Setiap penggemar jalan-jalan pasti punya destinasi impian. Begitu pula saya, yang menyimpan Bhutan sejak belasan tahun lalu dalam bucket list. Lonely Planet pun memilih Bhutan sebagai urutan pertama dalam 10 destinasi terbaik di dunia yang layak dikunjungi tahun 2020 ini. Ketika tugas melancong ke negeri kerajaan Himalaya itu menghampiri pertengahan 2019 lalu, ”sihir kebetulan” tersebut seperti sedang mulai bekerja.
”Dari Indonesia, ya?” sapa seorang perempuan berpotongan rambut pixie di kabin pesawat Druk Air, penerbangan Singapura-Bhutan.
Wah, rupanya saya bukan orang Indonesia sendirian dalam penerbangan ke Bhutan ini. Ternyata, Susan—perempuan berambut pixie tadi—berpelesir bersama sembilan temannya dari Indonesia. Kami pun berkenalan dan bercengkerama. Susan bercerita, ia sudah empat kali mengunjungi Bhutan sejak 2015.
”Ketagihan, ha-ha-ha.... Sejak pengalaman yang pertama, saya jadi bolak-balik Bhutan bawa teman-teman Indonesia. Nanti ngerasain sendiri deh kenapa jadi ketagihan. Ketika kamu bermimpi ke Bhutan dan itu terwujud, artinya you’re blessed,” kata Susan Pandapotan, nama lengkapnya.
Berbeda dengan Susan dan rombongan, saya bersama Druk Asia, agen perjalanan spesialis Bhutan yang mengundang empat wartawan dari Asia Tenggara (termasuk Kompas dari Indonesia) ke Bhutan. Penerbangan selama sekitar empat jam dari Singapura pun tak terasa karena diisi obrolan seru bersama Susan dan teman-temannya. Kami lalu berpisah di Bandara Paro. ”Siapa tahu nanti kita ketemu entah di mana selama kita di sini,” seloroh Susan.
Dari kota Paro, kami bermobil menuju Thimphu, ibu kota Bhutan. Dari balik jendela mobil yang dibasahi rintik gerimis, wajah kota Thimphu terlihat syahdu. Meskipun sederhana sebagai ibu kota negara, bangunan-bangunan cukup modern dengan ornamen khas arsitektur Bhutan membuat Thimphu terasa berwibawa. Jalanan aspal yang lebar mulus terbentang mengikuti kontur dataran di lembah yang permai.
Ugyen Tshewang, pemandu dari Druk Asia, bercerita, di Thimphu tak ada traffic light. Konon, Thimphu adalah satu dari dua ibu kota di dunia yang tak punya traffic light. Satunya lagi adalah Ngerulmud, ibu kota Republik Palau. ”Dulu sempat dibuat traffic light, tapi dianggap tak terlalu diperlukan, jadi dicabut deh,” kata Ugyen.
Malam itu kami tiba di resor Six Senses yang berada di ketinggian bukit, sekitar 2.500 meter di atas permukaan laut. Dalam keremangan saja terlihat resor ini begitu menawan dengan dominasi kayu yang dibiarkan berwana coklat muda natural. Kerlap-kerlip kota Thimphu terlihat cantik di kejauhan. Malam itu, kami dijamu dengan berbagai masakan lezat dari dapur Six Senses, termasuk sebagian masakan khas Bhutan, seperti momo (seperti dimsum) dan ema datse, semacam sambal dengan keju leleh yang dimakan sebagai lauk.
Astrologi kuno
Pagi harinya, benar saja, pemandangan magis terhampar megah dari balkon kamar di Six Senses. Lembah Thimphu dan pegunungan di sekitarnya masih berselimutkan halimun lembut. Perlahan, patung Buddha di sebuah bukit di kejauhan sana terlihat anggun menyapa. Hari ini, tujuan pertama kami akan ke sana, Buddha Dordenma, patung perunggu Buddha setinggi 51,5 meter di Kuenselphodrang National Park.
”Hai...,” suara sapaan itu terdengar dari sisi kiri patung Buddha nan megah.
Wah, rupanya Susan dan rombongan. Mereka baru sampai ketika rombongan saya hendak meninggalkan lokasi Buddha Dordenma. Kami pun tertawa berderai-derai. Dengan bergegas kami menyempatkan diri berfoto-foto sebagai kenang-kenangan.
”Eh, siapa tahu nanti masih akan ketemu lagi lho,” ujar Susan tersenyum lebar.
Saya dan rombongan lantas melanjutkan perjalanan ke Museum Tekstil Nasional, dan berlanjut ke Pangri Zampa Lhakhang. Kuil tua itu dibangun oleh Ngawang Choegyel, kakek buyut dari Ngawang Namgyal, tokoh pemersatu Bhutan. Kuil itu merupakan tempat tinggal Ngawang Choegyel ketika ia tiba di Bhutan. Dibangun sekitar abad ke-16, kini lokasi ini menjadi lembaga pusat astrologi nasional dan menjadi biara bagi seratusan biksu yang belajar astrologi kuno.
Rakyat Bhutan setiap tahun datang ke sini untuk berkonsultasi soal prediksi tahunan tentang keberuntungan mereka. Lembaga ini setiap tahun juga mengeluarkan kalender resmi dan menentukan hari dari acara-acara nasional di Bhutan. Penentuan hari untuk perhelatan besar seperti pemahkotaan raja hingga pernikahan keluarga kerajaan juga dilakukan oleh lembaga ini.
Kebetulan sekali, beberapa tahun terakhir saya gemar mengulik astrologi China kuno yang ternyata mirip dengan yang berlaku di Bhutan. Rombongan kami pun beruntung, Druk Asia rupanya mengatur khusus sesi pembacaan astrologi bagi kami berempat, masing-masing bergiliran secara privat.
Seusai sesi pembacaan astrologi, saya berjalan-jalan di sekitar Pangri Zampa yang lengang. Semilir angin damai memainkan helai-helai rambut. Perlahan tercium aroma segar yang selama ini akrab di hidung, mengingatkan saya pada rumah. ”Ini baunya dari daun-daun pohon cypress,” kata Ugyen sambil menunjuk pohon berukuran amat besar.
Ah, pantas saja. Selama ini saya kerap menguapkan minyak atsiri cypress dengan diffuser. Pohon cypress (Cupressus torulosa) atau himalayan cypress di Pangri Zampa Lhakhang itu merupakan pohon tua berusia ratusan tahun yang disakralkan. Pohon cypress sendiri merupakan pohon nasional negara Bhutan.
Poliandri
Dari Zampa Lhakhang, setelah makan siang di restoran tradisional Simply Bhutan, kami singgah di Craft Gallery yang dibentuk oleh Gyalyum Charitable Trust, sebuah lembaga pemberdayaan kaum perempuan Bhutan melalui Yayasan Renew. Direktur Eksekutif Gyalyum Charitable Trust Tshering Uden Penjor sempat berbincang seru bersama kami, membahas langgam relasi perkawinan di Bhutan hingga menyinggung soal poliandri.
Ya, di Laya, wilayah Bhutan bagian utara dekat perbatasan Tibet, masyarakatnya mengenal praktik poliandri. Kondisi ekonomi yang sulit di masa lalu akibat wilayah yang amat terisolasi mendorong gaya hidup komunal dan praktik poliandri memberi daya dukung untuk bertahan hidup. Laya merupakan kawasan berpenduduk tertinggi di Bhutan, yakni sekitar 3.800 mdpl. Kini, komoditas cordyceps (sejenis jamur) yang berharga tinggi mendongkrak taraf hidup penduduk Laya dan praktik poliandri pun menyusut.
Di Craft Gallery itu kami lantas bersalin pakaian mengenakan kain tenun kira dan atasan tego, pakaian tradisional sehari-hari perempuan Bhutan sampai hari ini. Dengan penampilan baru ini kami lalu berjalan-jalan ke Thimphu Dzong yang dibangun tahun 1641. Benteng ini sempat direstorasi tahun 1960-an dan kini menjadi kantor sekretariat kerajaan.
Seorang lelaki muda dalam pakaian tradisional gho lalu bergabung dengan rombongan kami. Namanya Kinlay Dorji, arsitek, yang sore itu menemani kami berkeliling benteng. Wajahnya mengingatkan saya pada aktor film-film drama Korea. Ketika mengetahui saya dari Indonesia, Kinlay berujar, ”Wah kebetulan, saya baru garap proyek properti di Bali lho. Sempat bolak-balik ke sana,” katanya ramah.
Setelah puas berkeliling benteng, di dekat pintu utama yang istimewa, saya lalu mengajak Kinlay berfoto berdua. ”Biar enggak lupa kalau suatu saat ketemu enggak sengaja di Bali,” ujar saya.
Ketika foto itu diunggah ke Facebook, celotehan yang mengomentari Kinlay pun tak terbendung membanjiri notifikasi. Ah, dasar netizen Indonesia memang juara.