Agar Kita Tak Jadi ”Cendol”
Belakangan banyak orang tergila-gila ”traveling”, melancong. Sayangnya, ledakan industri pariwisata global membawa dampak buruk fenomenal, yang kini disebut ”overtourism”.
Belakangan banyak orang tergila-gila travelling, melancong. Sayangnya, ledakan industri pariwisata global membawa dampak buruk fenomenal, yang kini disebut overtourism. Ketika destinasi wisata bagai lautan cendol, banyak hal jadi tak nyaman. Dari Bhutan, kita bisa meneladani praktik pariwisata berkelanjutan. Bukan melulu jualan eksotisme semata.

Tashichho Dzong, kuil besar di Thimphu, ibu kota Bhutan. Di kompleks kuil ini pula Raja Bhutan berkantor.
Lantunan musik tradisional yang melankolis mulai terdengar seiring pesawat Druk Air bermanuver untuk mendarat di landasan pacu Bandara Internasional Paro. Hanya 8-12 pilot saja yang bisa mendaratkan pesawat di salah satu bandara tersulit di dunia ini. Dari jendela, kepungan pegunungan dan perbukitan terlihat sejauh mata memandang.
Jika cuaca cerah, puncak Everest, gunung tertinggi di dunia, bisa tampak sekitar 30 menit menjelang pendaratan. Biasanya pilot akan mengumumkan pemandangan megah itu kepada penumpang. Inilah Bhutan, negara kerajaan kecil di ujung timur Pegunungan Himalaya, yang menempati kelas tersendiri dalam peta pariwisata dunia.
Di bandara, semua petugas imigrasi laki-laki mengenakan pakaian tradisional gho yang khas. Gagah nian. Di pintu keluar, kami lalu disambut hangat oleh pemandu wisata dari Druk Asia (www.drukasia.com), operator tur spesialis Bhutan, yang mengundang empat wartawan dari empat negara: Indonesia (Kompas), Thailand, Malaysia, dan Singapura. ”Selamat datang di Bhutan,” sambut Ugyen Tshewang, sang pemandu yang juga berbalut gho.
Baca juga: Kebahagiaan dari Bhutan
Sore itu, langit mendung dan sendu. Menurut Tshewang, musim panas di Bhutan memang kerap diwarnai guyuran hujan. Oleh karena itu, saat pertengahan tahun seperti bulan Juli itu, volume turis cenderung rendah. Saat melewati tengah kota Paro, terlihat banyak perempuan berbalut busana tradisional, kain tenun kira dengan atasan tego. Cantik nian.

Seorang biksu tengah asyik bermain gim di ponselnya di Kuil Kyichu Lakhang, Lango Gewog, Distrik Paro, Bhutan.
Kami mampir di toko untuk membeli kartu SIM ponsel. Di kota Paro sendiri mudah menjumpai orang-orang menggunakan telepon pintar. Bhutan di masa kini mewakili wajah unik negeri yang merengkuh kehidupan tradisional dan modern dengan berkesadaran. Rakyat Bhutan baru mengenal televisi di tahun 1999. Layanan internet pita lebar baru bisa dinikmati rakyat sejak 2008. Berdasarkan catatan CIA (www.cia.gov), hingga 2016 sebanyak 41 persen warga di negara berpenduduk 741.822 orang (2013) ini telah terkoneksi ke internet.
Pemimpin visioner
Tak hanya belakangan menyerap teknologi komunikasi dan informasi, Bhutan juga baru 40-an tahun terakhir membuka diri kepada dunia luar. Sudah sejak lama terbentuk asumsi di kalangan pelancong dunia, Bhutan adalah negara misterius yang tak mudah dimasuki.
Bhutan baru mengizinkan kedatangan turis pertama kalinya pada September 1974. Itu pun dengan model turisme yang sudah amat terkontrol, yang bahkan dirancang empat tahun sebelumnya, yakni di era kepemimpinan raja ketiga Bhutan, Jigme Dorji Wangchuck (1952-1972).

Pemandangan di Distrik Gangtey, Bhutan.
Selama ini, pelancong juga mengira biaya untuk mengunjungi Bhutan amat mahal. Sebabnya, sejak awal membuka diri, Bhutan menerapkan kebijakan tarif paket minimum harian (minimun daily package price/MDPP). Saat ini, besarnya 200 dollar AS-250 dollar AS per orang per hari, dibayar di muka sebelum visa diberikan. Kebijakan pariwisata yang unik ini menjadikan Bhutan sebagai destinasi wisata yang berwibawa.
”Memang ada salah sangka sebenarnya di dunia luar tentang Bhutan. Banyak yang mengira tarif minimum tersebut biaya visa sehingga terkesan sangat mahal. Padahal, itu sudah mencakup biaya esensial lain,” kata Dorji Dhradhul, Direktur Umum Tourism Council of Bhutan (TCB).
Biaya esensial yang dimaksud termasuk akomodasi setara bintang tiga, makan layak tiga kali sehari, transportasi darat, pemandu wisata berlisensi, peminjaman perlengkapan trekking dan kemping, berbagai pajak dan pungutan, dan terutama pungutan untuk pembangunan berkelanjutan sebesar 65 dollar AS. Biaya medis bagi turis pun gratis. Sementara ini, turis regional, yakni asal India, Bangladesh, dan Maladewa, terbebas dari kebijakan MDPP. Belakangan ada rencana pemberlakuan aturan serupa bagi turis asal India.

Turis di Bhutan senantiasa tidak melewatkan pilihan aktivitas trekking, seperti menyusuri Lembah Phobjikha di Gangtey.
Semua permintaan visa turis hanya bisa dilayani melalui agen perjalanan Bhutan yang resmi terdaftar di TCB, seperti Druk Asia. Tarif minimum tadi pun dibayarkan melalui agen perjalanan yang juga menyusun itenerary atau rencana perjalanan. Jadi, turis independen tidak diizinkan beredar di Bhutan. Setiap turis wajib selalu didampingi pemandu ke mana pun ia melangkah. Dengan begitu, setiap pergerakan dan perilaku turis senantiasa terjaga. Jangan sampai melanggar norma setempat, apalagi menerabas wilayah sakral.
Kejadian menyedihkan seperti di Bali, ketika turis asing membasuh bokong dengan air suci, tak sampai terjadi di Bhutan. Pemerintah yang negerinya memiliki 3000-an kuil dan biara Buddha ini amat menjaga wibawa kehidupan spiritual rakyatnya dan enggan mengeksploitasinya demi turisme semata.
”Model pariwisata kami adalah low volume, high yield/value. Kebijakan utamanya justru tidak mendorong pariwisata massal. Meski begitu, sebenarnya tak ada kuota kunjungan turis per tahunnya. Namun, jika lama-lama volume turis meningkat di luar kapabilitas kami, kuota bisa diterapkan. Tahun 2023 kemungkinan kami akan menaikkan tarif minimum,” kata Dorji, percaya diri.
Kepercayaan diri ini beralasan. Sebab, kebijakan tersebut tak terlepas visi besar pemimpinnya di masa lalu yang konsisten dilanjutkan oleh para penggantinya, raja keempat, Jigme Sinye Wangchuck (1972-2006), dan raja kelima, Jigme Khesar Namgyel Wangchuck (2006-sekarang).
Visi besar pariwisata yang digagas sejak tahun 1970 tersebut berprinsip pada keberlanjutan (sustainability). Pariwisata harus ramah secara lingkungan dan ekologi, merawat marwah budaya lokal, berterima secara sosial, dan tetap feasible, menguntungkan secara ekonomi. Visi inilah yang mengerucut menjadi kebijakan low volume, high value.

Panahan adalah olahraga nasional Bhutan. Ugyen Tshewang (36), pemandu wisata dari Druk Asia yang berpakaian gho, tengah mempertontonkan keterampilannya memanah.
Cipto Handoyo, Direktur Pemasaran Druk Asia, mengatakan, kebijakan pariwisata Bhutan tetap menguntungkan bagi bisnis agen perjalanan. Druk Asia sendiri, yang telah beroperasi lebih dari 10 tahun, sejauh ini mendapat masukan positif dari klien pelancong. Mereka justru puas karena bisa menikmati Bhutan yang tidak sumpek dipenuhi turis. Pelancong juga mengapresiasi budaya dan nilai-nilai lokal Bhutan yang begitu terjaga. Oleh karena itu, Druk Asia kerap mendapat repeat traveller, klien pelancong yang berulang.
”Kami sangat yakin, feedback positif itu adalah hasil dari kebijakan high value, low volume/impact,” ungkapnya.
Cipto menambahkan, pelancong yang kedapatan masuk ke Bhutan tanpa visa otentik dapat dideportasi dan perusahaan agen perjalanan yang terlibat akan diberi sanksi.
Disegani dunia
Dalam makalah penelitian Gyan P Nyaupane dan Dallen Timothy dari Arizona State University yang berjudul ”Bhutan’s Low-volume, High-yield Tourism: The Influence of Power and Regionalism” (2016), kebijakan pariwisata Bhutan yang unik tersebut tak terlepas dari konteks politik regional. Termasuk dorongan menjaga kedaulatan negeri yang berbatasan dengan dua negara besar, China dan India, ini.
Pertimbangannya, keterbukaan dan relasi internasional dengan dunia luar dapat menyokong kedaulatan Bhutan. Namun, kemurnian lingkungan dan ekologi serta marwah kebudayaan lokal harus dilindungi karena menjadi investasi jangka panjang yang justru meningkatkan daya tawar Bhutan di mata dunia.

Rakyat Bhutan begitu lekat dengan kehidupan spiritual ajaran Buddha. Salah satu tempat suci adalah Dochula Pass, berlokasi di antara Thimphu dan Punakha. Di sini terdapat 108 stupa, di mana pemeluk Buddha berdoa dan mengitari kompleks stupa beberapa kali di waktu-waktu tertentu.
Ambisi menjaga lingkugan tersebut berbuah manis. Di arena internasional, Bhutan panen apresiasi dan disegani. Monarki konstitusional yang baru 11 tahun mengenal demokrasi ini dikenal sebagai negara pertama di dunia yang berstatus carbon neutral, bahkan carbon negative, jika merujuk keterangan Perdana Menteri Tshering Tobgay di TED Talks 2016.Artinya, emisi karbon yang dihasilkan—kurang dari 2,5 juta ton—setiap tahunnya senantiasa pupus sempurna. Terserap oleh hutan alami yang menutupi 72,5 persen wilayah Bhutan seluas 38.394 kilometer persegi atau hampir seluas Provinsi Kalimantan Selatan yang hutannya sudah compang-camping itu. Kemampuan hutan di Bhutan dalam menyerap emisi karbon melebihi volume emisi yang dihasilkan.
Terlebih lagi, adanya praktik energi bersih di Bhutan. Negara ini suplai listriknya sepenuhnya dihasilkan oleh tenaga air (hydropower), yang bahkan diekspor ke India, seperti catatan UNDP Climate Change Adaption. Sejak tahun 2014, mobil listrik juga sudah mulai diperkenalkan di Bhutan (reuters.com, 9 Juni 2015).
Hutan yang terjaga itu kini menjadi salah satu andalan ekowisata di Bhutan. Sebanyak 757 operator tur (travel agent) yang teregistrasi di TCB menawarkan paket trekking dan hiking melintasi alam. Kami, misalnya, sempat menikmati trekking menyusuri Lembah Phobjikha di Distrik Gangtey yang permai, tempat burung-burung derek leher hitam (Grus nigricollis) bermigrasi dari Tibet di musim dingin.
Tshewang bercerita, setiap kali burung-burung derek itu berdatangan, mereka akan terlihat berputar tiga kali di langit di atas Kuil Gangtey. Begitu pula ketika waktunya kembali ke Tibet. Lembah glasial ini merupakan kawasan yang dilindungi negara demi menjaga eksistensi spesies derek yang langka.

Lembah Phobjikha, tempat burung-burung derek bermigrasi dari Tibet di musim dingin. Kawasan ini dilindungi negara sehingga laju pembangunan fisik di sini amat dibatasi.
Di Lembah Gangtey, saat menghirup udara murninya dalam-dalam sembari trekking, serasa paru-paru yang terkotori udara Jakarta ini jadi tercuci. Konstitusi tertinggi Bhutan juga tegas memandatkan perlindungan terhadap hutan, yakni minimal 60 persen tanah Bhutan harus dijaga berupa hutan untuk selamanya. Oh, ya, sejak 2010 pun ditetapkan aturan hukum yang melarang segala budidaya, produksi, dan penjualan tembakau/rokok—apa pun bentuknya—di seantero Bhutan. Inilah perundang-undangan paling ketat sedunia dalam mengontrol tembakau. Sanksinya penjara.
Isu global ”overtourism”
Sejumlah negara destinasi wisata di dunia saat ini tengah berjuang mengatasi masalah overtourism. Banyak media internasional membahas isu ini tiga tahun terakhir. Singkatnya, overtourism merupakan dampak buruk akibat eksploitasi pariwisata. Tak sekadar volume turis yang membeludak, tetapi pariwisata yang menggerus daya dukung lingkungan, ekologi, sosial, dan budaya.
Di Eropa, misalnya, fenomena overtourism kian meresahkan, seperti pernah diulas majalah Time dalam laporan sampulnya berjudul ”The Tourism Trap” (Juli, 2018). Di Barcelona, Spanyol, 150.000 warga berdemonstrasi menyerukan ”Tourists Go Home! Refugees Welcome”.
Di Venesia, Italia, volume turis sudah melebihi jumlah penduduknya. Sejak 10 tahun lalu, pelesir ke Venesia di musim panas niscaya membuat kita berasa jadi cendol. Akhirnya, kini, banyak negara di dunia mulai merancang kebijakan pajak turis yang signifikan sebagai salah satu perangkat untuk mengatasi overtourism, selain kebijakan lain.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menyebutkan, ledakan pariwisata global memecahkan rekornya tahun 2017 lalu, peningkatan paling tajam sejak 2010. Tercatat pada 2017 itu terjadi 1,3 miliar kedatangan turis internasional. Tahun 2018, angkanya tercatat 1,4 miliar kedatangan. Bandingkan saja, di tahun 1995, kedatangan turis internasional masih tercatat 500 juta saja.
Sementara di Indonesia, kita harus ingat kasus menyedihkan yang belum lama terungkap. Pulau Komodo tahun 2020 akan ditutup selama setahun menyusul skandal penyelundupan 41 komodo ke luar negeri. Tragis. Tak banyak yang sadar pula, kondisi air tanah di Bali kian gawat akibat tersedot bisnis pariwisata.
Ketika pendulum kesadaran dunia bergerak ke arah segala hal yang berikhtiar pada preservasi lingkungan, Indonesia butuh kebijakan yang bijak sungguhan. Apalagi berani menyebut diri sebagai zamrud khatulistiwa. Kita mendambakan pemimpin yang tak hanya mampu memajukan berbagai hal, tetapi juga visioner dalam menjaga anugerah yang ada.
Kita nggak mau jadi cendol, kan?