Becermin pada Kegigihan ”Negeri Tanpa Awan”
”Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (Koes Plus, 1973)
Lagu ”Kolam Susu” ciptaan Koes Plus sama sekali bukan sekadar bunga-bunga kata. Indonesia memang ibarat tanah surga, tanpa harus merekayasa, alamnya selalu memberikan kelimpahan.
Terbentang di kawasan tropis dengan wilayah teritorial mencapai 7,1 juta kilometer persegi, Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung. Sumber daya alam berupa flora, fauna, hasil tambang, dan sumber daya air sangat melimpah.
Wilayah laut Indonesia yang mencapai 5,9 kilometer persegi menyimpan potensi sumber daya alam laut yang luar biasa. Setiap tahun, potensi sektor kelautan Indonesia berkisar 1,2 juta triliun dollar AS! Benar-benar menakjubkan.
Sedikit bergeser saja ke wilayah Timur Tengah, akan terasa betul bagaimana sangat berharganya dianugerahi kekayaan alam. Bagaimana tidak, negara-negara Timur Tengah harus mengeluarkan anggaran sangat tinggi hanya untuk mengolah air laut menjadi air tawar agar bisa dikonsumsi warganya.
Sekitar 50-60 tahun lalu, bahkan masih sering pecah peperangan antarsuku di sana karena perebutan mata air yang sangat langka. ”Sangat susah mencari air tawar di negara kami. Inilah negeri tanpa awan. Karena tak ada awan, hujan pun tak pernah turun,” ujar Said, warga Abu Dhabi, salah satu negara bagian di Uni Emirat Arab (UEA), pada pengujung tahun lalu.
Dari total luas wilayah Abu Dhabi 67.340 kilometer persegi, baru 20 persen yang berhasil dibangun menjadi kawasan perkotaan. Sekitar 80 persen kawasan lainnya masih berupa gurun pasir.
Ekonomi tujuh negara bagian UEA awalnya ditopang dari hasil perdagangan mutiara sekitar 80 tahun lalu. Namun, begitu pasar mutiara anjlok akibat serbuan mutiara tiruan, UEA mendapat keberuntungan baru dengan penemuan kilang-kilang minyak baru pada 1960-an.
Dengan sumber kekayaan baru berupa minyak, negara-negara bagian UEA berlomba-lomba menyulap kawasan gurun menjadi daerah hunian, pantai, kawasan hijau, dan perkotaan modern seperti halnya di Eropa. Tentu saja semuanya membutuhkan anggaran sangat tinggi dan hanya sedikit wilayah yang berhasil bangun.
Lakukan rekayasa
Dengan kekayaan minyak buminya, negara-negara di UEA berupaya keras menciptakan sesuatu yang tidak mereka miliki seperti negara-negara lain. Di Abu Dhabi, air laut yang asin diproses menjadi air minum, sedangkan gurun diubah menjadi pantai buatan. Bahkan, Dubai secara khusus melakukan rekayasa dengan menebar garam di awan untuk menciptakan semacam ”musim hujan” pada bulan-bulan tertentu.
Belakangan, untuk menyedot minat wisatawan, Abu Dhabi dan Dubai berlomba-lomba membangun tempat-tempat wisata yang dibangun dengan konsep-konsep menggiurkan, mulai dari Ferrari World Abu Dhabi yang berada di pulau buatan Yas Island dengan sirkuit Formula 1-nya, masjid megah dengan 82 kubah dan lebih dari 1.000 pilar bertatahkan emas, gedung termiring di dunia Capital Gate dengan tingkat kemiringan 18 derajat atau empat kali lebih miring dari Menara Pisa, sampai yang terbaru membangun Museum Louvre Abu Dhabi yang diresmikan pada November 2017.
”Louvre Abu Dhabi akan menjadi pusat pertemuan para pencinta seni, budaya, dan keindahan dari seluruh dunia. Dengan pembukaan museum ini, Abu Dhabi menjadi pusat seni, arsitektur, dan aneka macam cagar budaya,” tutur Sheikh Mohammad bin Rashid, Wakil Presiden UEA.
Tak mau kalah, Dubai juga membangun menara tertinggi di dunia Burj Khalifa setinggi 828 meter, pulau hasil reklamasi Palm Jumeirah yang indah, dan Miracle Garden, kebun asri berisi aneka macam tanaman yang berhasil ditumbuhkan di atas hamparan gurun.
”Sebanyak 120 rekor dunia dipecahkan di Dubai untuk menjaring wisatawan. Dubai yang sumber minyaknya lebih sedikit dibandingkan Abu Dhabi berupaya keras mengembangkan sejumlah destinasi wisata unik untuk menggaet wisatawan sebanyak mungkin,” papar Natasha, pemandu wisata di Abu Dhabi dan Dubai.
Namun, sekali lagi, semuanya itu merupakan hasil dari sebuah rekayasa. Sementara negara-negara UEA bertahun-tahun mengeluarkan dana besar untuk menciptakan ”alam buatan” dan destinasi wisata, masyarakat Indonesia tinggal menikmati kekayaan alam yang sudah tersedia melimpah di 16.056 pulau.
Saat orang Dubai harus membuat hujan buatan, warga Indonesia tinggal menunggu musim hujan datang. Saat orang Abu Dhabi membuat pantai buatan, warga Indonesia bahkan telah diwarisi pantai alam terpanjang kedua di dunia, mencapai 99.092 kilometer. Demikian pula, ketika rumput-rumput kota di Abu Dhabi harus terus-menerus dialiri pipa-pipa panjang air agar tak mengering, rumput-rumput di pekarangan Indonesia cepat sekali tumbuh lebat hanya dalam sepekan.
Beri kesejahteraan
Meski hidup dalam aneka macam upaya rekayasa, UEA mampu memberikan kesejahteraan bagi sekitar 10 juta jiwa penduduknya. Dari total jumlah penduduk tersebut, 80 persen merupakan imigran atau pendatang.
Seluruh pendatang yang bekerja di negara itu digaji dengan sangat layak. Tak heran, banyak imigran berdatangan ke UEA untuk mencari pekerjaan, termasuk tenaga kerja dari Indonesia.
”Abu Dhabi dan negara-negara bagian UEA lainnya sangat memperhatikan kesejahteraan warga dan pendatang yang bekerja di tempat mereka. Jumlah tenaga kerja nonformal dari Indonesia lebih dari 20.000 orang dan tenaga kerja formalnya mencapai 3.000-an orang,” tutur Kepala Perwakilan RI di Abu Dhabi/Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Abu Dhabi Hendra P Iskandar.
Ketika negara-negara kaya di Timur Tengah harus berupaya keras menciptakan kejutan-kejutan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki segalanya sejak dahulu kala.
Pertanyaan selanjutnya, jika segalanya telah tersedia, lalu mengapa masih banyak warga negara Indonesia yang kurang sejahtera? Mengapa kemiskinan masih saja menghinggapi negara ini?
Selain belajar mensyukuri kekayaan alam Indonesia seperti halnya Koes Plus yang menyebut ”kail dan jala cukup menghidupimu”, mungkin kita juga perlu belajar kegigihan kerja dan kemurahan negara-negara UEA dalam memperhatikan warga negaranya.