Zhangjiajie dan Panggung Pariwisata bagi Etnis Minoritas di China
Kota Zhangjiajie merupakan perpaduan antara pemandangan alam nan memesona serta lestarinya tradisi etnis minoritas China. Kombinasi keduanya memikat wisatawan untuk berduyun-duyun setiap tahun. Etnis minoritas China pun didorong agar mampu berperan sebagai aktor utama di panggung pariwisata Zhangjiajie. Berdaya untuk mengatasi kemiskinan yang mencengkeram.
Butiran lembut gerimis terus turun dari langit pada Kamis (16/11) siang, di Lembah Hetian, Kota Zhangjiajie, Provinsi Hunan, China. Dua pria, sudah memasuki awal usia renta, menggenggam palu besar bergagang panjang.
Mereka kemudian bergantian menumbuk adonan dari beras ketan di antara mereka. Saat mengayunkan palu, mereka berteriak lantang. Salah satu pria berteriak,”Hoo!” Pria lainnya membalas,”Hei!” Teriakan tersebut bersahutan berulang-ulang.
Mereka rupanya sedang membuat kue beras ketan. Setelah ditumbuk berkali-kali, seorang wanita mengambil adonan, membentuknya menjadi bulat-bulat, dan menempelkan bulatan-bulatan itu pada bubuk kacang. Kue beras ketan hangat pun siap dinikmati.
Inilah cuplikan aktivitas tradisional etnis Tujia, yang sengaja ditampilkan untuk membuat para turis penasaran. Para tamu juga berkesempatan untuk menjajal memalu adonan kue beras ketan, merasakan betapa pekerjaan itu butuh energi besar.
Pemerintah Provinsi Hunan mengundang pewarta kabar dari tujuh negara, termasuk Kompas dari Indonesia, untuk merasakan langsung geliat pariwisata di provinsi tersebut. Zhangjiajie adalah salah satu kota destinasi wisata yang diprogramkan.
Alaaeldinhassanabdo Hoda, reporter Arab China TV asal Uni Emirat Arab pun mencoba menumbuk adonan beras ketan. Karena belum terbiasa, hentakan palu perempuan berhijab ini amat kurang bertenaga. Teriakan penyemangatnya pun hanya terdengar lirih, tidak setegas dua pria tadi.
Seorang perempuan pemandu yang juga berasal dari etnis Tujia, Tan Qi alias Niki, mengajak para wartawan untuk melihat kegiatan warga lokal lainnya sekaligus juga mencoba melakukan aktivitas tersebut.
Salah satunya, menggiling kedelai untuk menghasilkan tahu, menggunakan batu bundar dan berat yang diputar-putar dengan kemudi dari kayu panjang. Selain itu, menjajal membuat minyak sayur dengan alat tumbukan yang juga tidak kalah menguras tenaga.
Atraksi budaya kehidupan sehari-hari etnis Tujia tersebut berpadu dengan kecantikan panorama alam di Lembah Hetian serta kesejukan udaranya sepanjang tahun.
Pelaku usaha wisata juga memanfaatkan kekayaan geologi di sana secara unik. Salah satunya, dengan menjadikan sebuah gua menjadi restoran.
Para tamu restoran pun bisa merasakan sensasi yang sangat tidak biasa: menyantap makanan lezat sambil membayangkan diri menjadi manusia gua.
Lembah Hetian terletak di pusat Distrik Wulingyuan. Menurut Niki, penduduk distrik ini sebanyak 70.000-an jiwa, dengan 90 persennya merupakan warga etnis Tujia.
Di seantero China, warga dari etnis Han merupakan penduduk mayoritas. Namun, di Zhangjiajie, etnis minoritas China menjadi penduduk terbanyak. Sebaliknya, warga etnis Han menjadi minoritas. Dari 1,72 juta penduduk Zhangjiajie, 77,2 persennya berasal dari 33 etnis minoritas China, termasuk Tujia, Bai, dan Miao.
Sempat terisolasi
Pemandu rombongan wartawan, Hu Shishan atau akrab dipanggil Sam, mengatakan, dengan kontur wilayah yang berbukit-bukit, warga Zhangjiajie yang sebagian besar etnis minoritas tersebut sempat mengalami isolasi dari dunia luar.
Untuk pergi ke kota besar, mereka mengandalkan perahu di sungai atau atau menggunakan kuda.
“Dampaknya, kesempatan kerja bagi mereka lebih minim dibanding warga di kota besar,” tutur dia.
Pemerintah pusat tidak tinggal diam. Mereka menggelontorkan dana untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang menghubungkan Zhangjiajie dengan area di sekitarnya. Itu dibuktikan dengan puluhan terowongan menembus bukit-bukit yang dilewati bus pembawa rombongan wartawan.
Bukit tidak boleh jadi penghalang warga Zhangjiajie terhubung dengan dunia luar, meski itu berarti kucuran dana pembangunan dari pemerintah lebih besar dibanding bagi daerah dengan medan yang lebih mudah.
Untuk mengangkat lebih banyak warga dari garis kemiskinan, pengembangan wisata di daerah setempat jadi senjata. Sam menuturkan, perusahaan-perusahaan swasta diajak masuk ke Zhangjiajie dan bekerja sama dengan penduduk lokal untuk menghidupkan turisme.
Di Lembah Hetian, 100 juta yuan diinvestasikan pada 2016 untuk pengembangan wisata berbasis kegiatan pertanian di sana, antara lain untuk membangun penginapan memanfaatkan kontainer-kontainer, restoran gua, perkemahan, dan mengembangkan kegiatan luar ruang bagi wisatawan. Proyek itu direncanakan rampung tahun ini.
Pengentasan kemiskinan
Di bagian lain di Kota Zhangjiajie, upaya pengentasan kemiskinan via pembangunan pariwisata juga berjalan. Salah satunya, di County Cili yang terletak di Zhangjiajie bagian timur.
Atraksi utama di county ini di antaranya kawasan Jembatan Kaca Ngarai Zhangjiajie, yang dibangun pemerintah China dengan investasi 8,6 miliar yuan (sekitar Rp 17,2 miliar).
Di dunia, jembatan tersebut adalah jembatan kaca terpanjang (430 meter) dan tertinggi (300 meter di atas lembah dalam).
Wakil Kepala Conty Cili, Zhu Xin, mengatakan, di sekitar area Jembatan Kaca, 21 hotel dan 7 restoran berdiri dan secara keseluruhan menciptakan 1.216 lapangan pekerjaan bagi warga lokal.
Ia menambahkan, terdapat 13.180 keluarga di Cili yang tidak berstatus miskin lagi dalam kurun 2014-2016. Kemiskinan selama periode tersebut menurun dari 13 persen menjadi 7,68 persen.
“Pada 2017, program pengentasan kemiskinan ditargetkan menolong lebih dari 20 desa dan 60.000 orang keluar dari kemiskinan,” ujar Zhu Xin.
Upaya semacam itu tidak hanya jadi pekerjaan pemerintah.
Seorang warga lokal bernama Chen Yu Lin bersama istrinya, Liu Yi, membangun rumah keluarga Chen menjadi sebuah penginapan, mengembangkannya menjadi lebih besar, dan membuat lebih banyak warga di desa Chen tidak mencari kerja ke kota besar.
Mereka berdua juga jadi sumber inspirasi warga lainnya untuk menjalankan bisnis penginapan.
Zhonghu—desa tempat Chen lahir—hanya berjarak dua kilometer dari kawasan wisata pemandangan alam Wulingyuan. Sangat strategis sebagai tempat menginap para turis yang ingin menjelajahi alam Wulingyuan dengan kekhasan berupa tebing-tebing yang ramping dan menjulang.
Namun, sekitar lima tahun lalu, Zhonghu cukup tertinggal. Hampir setiap orang berusia produktif meninggalkan orang tua atau anak mereka untuk mencari penghidupan yang lebih baik ke kota.
Terdorong untuk menciptakan lapangan kerja, Chen lantas merenovasi rumah keluarganya menjadi sebuah penginapan yang beroperasi mulai 2012.
Setelah itu, ia menambah empat bangunan penginapan lagi, semuanya dengan bendera No 5 Valley. Ada 45 kamar dari seluruh lima bangunan itu. Dalam setahun, mereka menghasilkan pendapatan 5 juta yuan atau setara Rp 10 miliar.
No 5 Valley dirancang dengan nuansa penuh kayu, membuatnya seakan melekat dengan alam Wulingyuan. Dari balkon kamar, para tamu bisa menikmati pemandangan bukit-bukit yang diselingi kabut.
Saat para wartawan berkunjung ke sana, sejumlah orang tersebar di sejumlah titik di area penginapan dengan kuas, cat, dan kanvas. Atmosfer di sana memang cocok untuk menjernihkan pikiran dan menghasilkan lukisan indah.
Liu Yi mengatakan, awalnya mereka memiliki seorang pegawai dari desa setempat, kemudian suami pegawai tersebut ikut bekerja pada mereka. Akhirnya, saat ini, mereka mempekerjakan 35 orang dengan hanya lima orang di antaranya yang berasal dari luar desa.
“Kami adalah yang pertama membangun penginapan di desa ini,” tutur Liu Yi.
Saat ini, dua penginapan besar dan sekitar 100 penginapan kecil beroperasi di desa tersebut selain No 5 Valley. Lapangan pekerjaan tersedia lebih banyak, dan warga berusia produktif tidak perlu meninggalkan keluarga mereka untuk mencari nafkah.