Dalam mencari titik temu atau kesepakatan durasi kampanye pasti banyak kepentingan politik di dalamnya. Dalam tarik-menarik kepentingan itu, kepentingan publik sebagai pemilih seharusnya dipertimbangkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Salah satu agenda penting dalam rapat konsultasi antara Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, pemerintah, dan Komisi II DPR pada 13-15 Mei 2022 adalah mencari titik temu soal durasi kampanye Pemilu 2024. Selama ini titik temu itu lebih banyak ditekankan pada aspek teknis penyelenggaraan dan kepentingan partai politik. Diharapkan, kepentingan pemilih juga diperhitungkan dalam pencarian kesepakatan itu.
Dua hal yang akan ditegaskan dalam rapat konsinyering antara KPU, Bawaslu, DKPP, pemerintah, dan Komisi II DPR adalah soal anggaran dan durasi kampanye Pemilu 2024. Rapat dengar pendapat (RDP) terakhir antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR, pada Rabu (13/4/2022), belum mencapai kesepakatan mengenai dua hal tersebut. Mengenai durasi kampanye yang akan dimasukkan dalam Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2024, juga masih ada banyak usulan. KPU mengusulkan kampanye 203 hari, sedangkan pemerintah 90 hari. Adapun fraksi-fraksi di DPR ada yang mengusulkan masa kampanye digelar selama 120 hari, 75 hari, dan 60 hari.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana berpandangan, selama ini alasan yang dijelaskan KPU untuk menentukan durasi kampanye lebih banyak didasarkan pada alasan teknis penyediaan logistik dan akomodasi kepentingan partai politik. Alasan pemilihan durasi kampanye dari sisi pemilih belum banyak digali.
Padahal, ada banyak pengalaman KPU menyelenggarakan pemilu dengan durasi beragam. Misalnya, pada Pilkada 2020, durasi kampanye hanya dua bulan. Adapun di era Orde Baru pernah pula pemilu digelar hanya dengan masa kampanye dua minggu.
”Kita punya variasi durasi masa kampanye dari yang dua minggu, dua bulan, sampai 15 bulan di Pemilu 2014. Artinya, kita juga punya pengalaman untuk menentukan durasi kampanye terutama dari sisi pemilih. Apakah durasi kampanye yang semakin panjang membuat orang semakin peduli terhadap pemilu dan kandidatnya? KPU seharusnya bisa menjelaskan,” kata Aditya, Minggu (24/4/2022).
Aditya tak memungkiri dalam mencari titik temu atau kesepakatan durasi kampanye itu pasti banyak kepentingan politik di dalamnya. Namun, tarik-menarik isu untuk memutuskan seharusnya juga mempertimbangkan kepentingan publik sebagai pemilih. Jangan sampai hanya kepentingan peserta pemilu yang dominan.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU juga diharapkan dapat mengelaborasi sisi kepentingan pemilih ini. Idealnya KPU memiliki parameter apakah panjang dan pendeknya durasi kampanye dapat meningkatkan kepedulian publik terhadap pemilu.
Menurut Aditya, untuk pemilih di perkotaan, masa kampanye yang pendek sebenarnya tidak begitu berpengaruh karena mereka bisa mendapatkan informasi dari berbagai platform. Namun, bagi masyarakat perdesaan, dibutuhkan kampanye tatap muka dan pendekatan yang lebih personal.
”Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, and threats) dari sisi pemilih harus lebih digali oleh KPU,” kata Aditya.
Untuk pemilih di perkotaan, masa kampanye yang pendek sebenarnya tidak begitu berpengaruh karena mereka bisa mendapatkan informasi dari berbagai platform. Namun, bagi masyarakat perdesaan, dibutuhkan kampanye tatap muka.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan, KPU mengusulkan kampanye 203 hari karena mempertimbangkan aspek logistik, yaitu pencetakan surat suara pemilu. Formulir surat suara baru bisa dicetak apabila sudah ada kepastian nama di daftar calon tetap (DCT). Kampanye, biasanya, dimulai H+3 setelah penetapan DCT. Padahal, DCT masih bisa disengketakan baik di Bawaslu maupun pengadilan tata usaha negara (PTUN). Sesuai dengan pengalaman Pemilu 2019, dengan durasi kampanye tujuh bulan, waktunya relatif cukup untuk mempersiapkan logistik pemilu.
”Ada dua kegiatan yang konsentrasinya kurang lebih sama, yaitu kampanye dan pengadaan logistik. Jika ada opsi kampanye diperpendek, bagaimana? Ini yang akan dicari titik temu dan komprominya di konsinyering,” ujar Hasyim, awal pekan lalu.
Menurut Hasyim, salah satu fokus KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah memastikan pemilu bisa berjalan tepat waktu. Alat dan perlengkapan pemilu siap dan dapat didistribusikan tepat waktu.
Lebih lanjut, Hasyim juga menjelaskan bahwa pemilu serentak 2024 adalah lima jenis pemilu, yaitu pemilu anggota legislatif DPR pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemilu presiden dan wakil presiden. Dalam konteks kampanye, idealnya juga mempertimbangkan kampanye presiden yang daerah pemilihannya seluruh Indonesia. Dari daerah pemilihan itu, kira-kira capres dan cawapres membutuhkan durasi berapa lama untuk dapat menang lebih dari separuh suara sah nasional.
Dengan hitungan seperti itu, menurut Hasyim, salah satu capres dan cawapres minimal harus menang di 18 dari total 34 provinsi. Untuk mencapai kemenangan itu, dengan asumsi kampanye 120 hari, setidaknya capres dan cawapres harus kampanye di empat wilayah kabupaten/kota berbeda dalam sehari. Itu pun dengan hitungan kampanye nonstop setiap hari tanpa libur akhir pekan.
”Apakah mungkin yang seperti itu? Makanya hal seperti ini harus dimatangkan (saat konsinyering),” kata Hasyim.
Pendapat berbeda disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita. Nurlia berpandangan, dari sisi pemilih, durasi kampanye sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Sebab, pemilih adalah pihak penerima manfaat. Penentuan durasi kampanye, lanjutnya, sebenarnya lebih kepada pertimbangan KPU untuk menyelesaikan persiapan logistik pemilu agar tidak terburu-buru dan kewalahan.
Terkait dengan durasi kampanye yang belum mencapai kesepakatan, menurut Nurlia, hal ini disebabkan karena parpol belum sepenuhnya memahami kerumitan KPU dalam mempersiapkan logistik pemilu. ”Terkait durasi panjang atau pendeknya kampanye seharusnya menyesuaikan partai politik. Karena pada prinsipnya, kan, penyelenggara menyediakan kebutuhan mereka,” kata Nurlia.
Terkait dengan kekhawatiran masa kampanye yang panjang memicu polarisasi di masyarakat, menurut Nurlia, hal itu tak beralasan. Penyelenggara pemilu ataupun parpol sebenarnya bisa mengintervensi agar kampanye lebih sehat dan adil. Misalnya, Presiden Joko Widodo sudah mengimbau agar kampanye lebih mengedukasi pemilih agar lebih rasional, tidak membawa-bawa isu suku, agama, ras, antar-golongan (SARA). Selain itu, KPU juga bisa mengatur teknis materi muatan kampanye hingga imbauan agar tidak menggunakan isu SARA. Bawaslu juga ikut melakukan sosialisasi agar kampanye lebih sehat dan substantif.
Terkait dengan durasi kampanye yang belum mencapai kesepakatan, hal ini disebabkan karena parpol belum sepenuhnya memahami kerumitan KPU dalam mempersiapkan logistik pemilu.
Aditya Perdana sepakat, untuk mengatasi polarisasi akibat pemilu, tidak hanya bergantung pada durasi masa kampanye. Dibutuhkan intervensi aturan, koordinasi lintas institusi, dan penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan itu. Apalagi, pada kenyataannya, setiap calon presiden sebenarnya sudah mulai melakukan kampanye sejak saat ini. Sebelum adanya pendaftaran dan penetapan calon, mereka sudah aktif bergerilya baik melalui media sosial maupun pemberitaan di media arus utama.
”Kecenderungannya, parpol merasa masa kampanye dan sosialisasi tidak pernah cukup sehingga mereka selalu meminta perpanjangan waktu. Padahal, saat kampanye formal, mereka biasanya akan melakukan gempuran politik di detik-detik terakhir. Saya rasa durasi kampanye bukan satu-satunya penyebab polarisasi,” kata Aditya.
Oleh karena itu, dalam konsinyering antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR medio Mei 2022, diharapkan pertimbangan dari sisi pemilih ini bisa menjadi penengah. Jangan sampai perdebatan alot dan berlarut-larut di DPR hanya berbicara dari sudut pandang elite politik. Sebab, PKPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu juga harus segera ditetapkan. Hal ini mengingat waktu terus bergulir. Sementara itu, tahapan pemilu dilaksanakan 20 bulan sebelum Pemilu 2024 dilaksanakan, yaitu pada 14 Juni 2022.