Parpol Nonparlemen Perlu Gimik agar Dilirik
Partai politik nonparlemen harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Melancarkan gimik politik bisa menjadi pilihan agar parpol nonparlemen tetap diingat publik.
Peluang partai politik nonparlemen untuk lolos ambang batas parlemen pada Pemilihan Umum 2024 diperkirakan bakal stagnan. Perlu gimik politik untuk menarik perhatian pemilih pada pemilu mendatang.
Pada Pemilu 2019 terdapat dua partai politik (parpol) nonparlemen yang turut bertarung dalam kontestasi politik lima tahunan itu. Kedua parpol itu adalah Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Kendati pada Pemilu 2014 PBB dan PKPI tak berhasil menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen, keduanya maju menjadi peserta pemilu bersama 10 parpol parlemen dan 4 parpol baru, serta 4 parpol lokal Aceh.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Perolehan suara kedua parpol tersebut di Pemilu 2019 bahkan lebih rendah dari capaian mereka di Pemilu 2014. PBB hanya memperoleh suara 0,75 persen pada 2019 atau lebih rendah dibanding 2014 sebesar 1,46 persen. Sementara perolehan suara PKP juga menurun menjadi 0,23 persen di Pemilu 2019 dari sebelumnya sempat mendapatkan suara 0,91 persen.
Sementara parpol baru di Pemilu 2019 tak ada satu pun yang mampu menembus ambang batas parlemen. Perolehan suara mereka adalah Partai Persatuan Indonesia atau Perindo (2,85 persen), Partai Berkarya (2,12 persen), Partai Solidaritas Indonesia (2,07 persen), dan Partai Garuda (0,53 persen). Adapun Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) justru terlempar dari parlemen karena hanya mampu memperoleh 1,35 persen suara. Hasil itu menunjukkan hanya parpol penghuni parlemen saja yang mampu kembali lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2019.
Dalam survei Litbang Kompas yang dilaksanakan pada Januari lalu, tidak ada satu pun parpol nonparlemen yang memiliki elektabilitas di atas 4 persen. Parpol nonparlemen dengan elektabilitas tertinggi adalah Perindo (2,5 persen), PSI (0,9 persen), Hanura (0,6 persen), PBB (0,6 persen), dan Partai Garuda (0,4 persen). Sementara yang belum memilih atau merahasiakan pilihannya sebanyak 17,6 persen.
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, memperkirakan, peluang parpol nonparlemen di Pemilu 2019 cenderung stagnan. Mereka tetap akan sulit menembus ambang batas parlemen dengan perolehan suara minimal 4 persen. Parpol parlemen tetap akan mendominasi perolehan suara di pemilu mendatang.
Kecilnya peluang parpol nonparlemen di antaranya disebabkan minimnya kader berlatar belakang tokoh populer di parpol nonparlemen. Selain itu, beberapa parpol baru cenderung memiliki identitas dan ideologi dari parpol yang lama eksis sehingga pemilih tidak melihat kebaruan. Apalagi, angka tidak memilih atau golput (golongan putih) juga cenderung fluktuatif.
”Transisi demografis ke pemilih muda memperlihatkan kecenderungan preferensi politik pada partai besar daripada partai baru. Mereka (pemilih muda) bukan termasuk kategori pemilih pengambil risiko,” ujarnya.
Baca Juga: Survei ”Kompas”: Parpol Baru dan Nonparlemen Belum Dikenal Publik
Meskipun demikian, Wasisto menilai masih ada peluang bagi parpol nonparlemen untuk merebut suara rakyat agar lolos parlemen. Parpol nonparlemen perlu membuat strategi gimik politik yang bisa memancing atensi pemilih, terutama pemilih muda yang masuk dalam populasi besar pemilih mengambang.
Gimik yang dimaksud antara lain aktif bermanuver di media sosial dalam memberi wacana atau komentar dalam suatu permasalahan tertentu. Mereka sejak awal juga harus menegaskan diri menjadi pihak yang pro atau anti pemerintah agar bisa merangkul gerbong pemilih di salah satu kubu tersebut.
”Strategi lainnya adalah berkoalisi dengan partai-partai besar dalam nominasi calon presiden tertentu. Popularitas capres bersangkutan bisa jadi katrol politik bagi parpol nonparlemen,” kata Wasisto.
Kaitannya dengan pencalonan anggota legislatif, parpol nonparlemen perlu menjaring figur populer yang memiliki modal, kharisma, dan jaringan yang kuat. Parpol harus pula memperkuat dukungan massa akar rumput dan pendanaan yang memadai sebagai alat pemikat caleg (calon anggota legislatif) dalam mempengaruhi konstituen. ”Tetap harus ada kesesuaian antara platform partai dengan latar belakang caleg yang diusung,” tuturnya.
Masih ada peluang bagi parpol nonparlemen untuk merebut suara rakyat agar lolos parlemen. Parpol nonparlemen perlu membuat strategi gimik politik yang bisa memancing atensi pemilih, terutama pemilih muda yang masuk dalam populasi besar pemilih mengambang.
Sekalipun diprediksi memiliki peluang kecil, Wakil Ketua Umum Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah optimistis Perindo bisa lolos ambang batas parlemen. Saat ini, elektabilitasnya cukup tinggi, bahkan sama dengan sejumlah parpol parlemen.
Strategi pemberian modal usaha dan gerobak kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang pernah dilakukan pada Pemilu 2019 pun tetap dilanjutkan sebagai salah satu strategi pemenangan di Pemilu 2024. Bahkan, ada inovasi baru dalam penjaringan caleg melalui konvensi rakyat agar keterlibatan masyarakat kepada caleg Perindo terbangun jauh hari sebelum pemungutan suara. ”Pemetaan dapil juga sudah dilakukan untuk melihat potensi kursi yang bisa direbut,” kata Ferry.
Sekjen Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, Perindo mempunyai komitmen untuk kesejahteraan. Segala program yang masih relevan dengan Perindo harus diperkuat, termasuk program pemberian gerobak. Sebab gerobak sudah melekat dengan Perindo dan masyarakat sudah tahu program tersebut. Dengan demikian, program ini akan terus dijalankan dengan formasi yang berbeda.
”Misalkan kalau hanya dibagi gerobaknya untuk sekarang, penerima gerobak diberikan modal kerja. Lalu tiap bulan dimonitor dan dievaluasi oleh pengurus partai terdekat. Kami ingin rakyat kecil segera naik kelas, rakyat kecil segera bahagia,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Rofiq, Perindo juga berorientasi pada pemenangan. Tidak hanya sekadar program, Perindo juga turut aktif memberikan gagasan kebangsaan di saat politik hari ini kering gagasan karena aktor politik hanya adu kuat dan saling berebut jabatan.
”Perindo sangat siap berjuang dan masuk di Senayan. Rekrutmen tokoh di berbagai lini dilakukan agar semakin banyak darah segar untuk berjuang bersama Perindo,” ucapnya.
Dewasa berdemokrasi
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) KH Chriswanto Santoso mengingatkan, seluruh aktor politik perlu kedewasaan dalam berdemokrasi. Jika manuver politik tidak disikapi dengan bijak, dikhawatirkan tahun politik akan penuh dengan kekerasan. Sebab, inti dari demokrasi adalah menyejahterakan rakyat, bukan ambisi pribadi atau kelompok.
”Tahun politik jelang pemilu adalah tahun yang emosional, inilah pentingnya pengendalian diri. Apalagi ini bulan Ramadan,” ujarnya.
Baca Juga: Parpol Perlu Kerja Keras Rangkul Generasi Z dan Y
Chriswanto mengingatkan, hal-hal yang dianggap tidak adil janganlah dilawan dengan emosi dan kekerasan. Seluruh elemen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat, harus melakukan politik kenegaraan dalam bingkai moralitas. Kebebasan harus disertai moralitas agar tidak bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Semua pihak harus mematuhi hukum atau aturan yang dibuat bersama oleh eksekutif dan legislatif, dan dijalankan oleh yudikatif.
”Taat terhadap peraturan itu adalah salah satu ciri masyarakat yang demokratis dan beradab,” ujarnya.
Menurut Chriswanto, keributan di tahun politik cenderung disebabkan karena politikus bangsa ini banyak yang miskin kepemimpinan. Mereka cenderung lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek dibandingkan dengan program jangka panjang. Sementara politikus yang memiliki kepemimpinan biasanya mengutamakan kepentingan kesejahteraan bangsa di masa mendatang.
”Seorang politisi yang memiliki kepemimpinan tidak masalah siapa pun yang menang, yang terpenting visinya untuk menyejahterakan rakyat dan membangun generasi penerus yang berkualitas bisa tercapai,” ucap Chriswanto.