Sandiaga Uno Terfavorit Calon Wakil Presiden, Siapa Peminangnya?
Jika sosok calon presiden di Pilpres 2024 masih memunculkan sejumlah kandidat, elektabilitas calon wakil presiden mulai mengerucut ke satu nama. Sosok Sandiaga Uno menjadi magnet politik untuk posisi ini.
Sandiaga Uno menjadi figur yang paling difavoritkan untuk calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 mendatang. Namanya melejit mengungguli tokoh-tokoh lain yang dipilih masyarakat untuk posisi wakil presiden. Meraih dukungan 17,6 persen, posisinya terpaut cukup jauh dengan sejumlah nama pesaingnya.
Jika pemilu dilaksanakan saat survei Litbang Kompas dilakukan, elektabilitas sosok bernama lengkap Sandiaga Salahuddin Uno mengungguli nama-nama yang selama ini punya peluang untuk menjadi wakil presiden, seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Erick Thohir, Gatot Nurmantyo, dan lain-lain.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dengan Ahok yang dipilih oleh 6,9 persen, Sandiaga terpaut 10,7 persen di atasnya. Dengan Risma terpaut 11,5 persen, dengan Ridwan Kamil terpaut 12 persen, dan dengan AHY terpaut 12,2 persen. Jauhnya jarak keterpilihan Sandiaga dengan tokoh-tokoh lain, membuat peluang Sandiaga untuk dipinang oleh calon-calon presiden sangat besar.
Sementara itu, tiga nama selalu muncul sebagai sosok-sosok yang dipilih paling banyak oleh publik sebagai calon presiden, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga nama tersebut pada umumnya tidak diposisikan publik sebagai calon wakil presiden, sehingga terlihat kurang populer dibanding Sandiaga untuk posisi wakil presiden. Meskipun demikian, besar kemungkinan tiga sosok tersebut akan memperhitungkan Sandiaga untuk mendampingi mereka memuluskan langkah memenangkan pemilu presiden.
Selain memiliki elektabilitas tertinggi untuk posisi wakil presiden, Sandiaga juga memiliki tingkat penolakan (resistansi) yang rendah. Hanya 0,6 persen masyarakat yang menolaknya. Dibandingkan dengan Ahok yang penolakannya (7,6 persen) lebih tinggi dari elektabilitasnya (6,9 persen), modal politik Sandiaga jauh lebih tinggi. Sejumlah nama juga memiliki tingkat resistansi yang lebih tinggi dibanding elektabilitasnya, seperti Gatot Nurmantyo, Hary Tanoesoedibyo, dan Puan Maharani.
Tokoh-tokoh dengan kategori resistansi yang lebih tinggi daripada keterpilihannya harus berjuang ekstra keras sekaligus di dua sisi, mengurangi penolakan dan menaikkan potensi keterpilihan. Namun, pekerjaan berat tersebut tak harus dilakukan oleh Sandiaga yang sudah memiliki bekal dengan tingginya penerimaan dan rendahnya penolakan.
Keunggulan demografis
Sandiaga memiliki basis demografis suara yang potensial dan dukungan untuk menjadi wakil presiden juga mencakup geografis yang luas. Dukungan paling kuat berasal dari wilayah Sumatera, pada sebagian besar provinsi. Di Jawa, Sandiaga banyak didukung oleh pemilih dari Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Selain itu, namanya juga populer di Nusa Tenggara Barat, Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Di wilayah Riau, tempat kelahirannya, kekuatan itu pernah dibuktikannya dalam Pemilu 2019. Pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh 61 persen suara, mengungguli pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang hanya memperoleh 39 persen. Padahal, dalam pemilu sebelumnya (2014), Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa hanya unggul tipis dengan perolehan 50,12 persen di sana.
Saat ini, dukungan terhadap Sandiaga juga merata dari semua kalangan usia, terlebih dari kategori pemilih pemula dan generasi Baby Boomers (56-74 tahun). Ini menjadikan Sandiaga ikon politik yang potensial menggaet dukungan pemilih pemula dalam pemilu nanti.
Sosoknya juga cukup menarik perhatian kalangan dari berbagai strata sosial, khususnya kelas menengah bawah, menengah atas, dan atas. Ia juga mudah diterima dan langkahnya mudah dipahami oleh kalangan berpendidikan rendah. Dengan bekal tersebut, langkah Sandiaga untuk memperluas dukungan masyarakat menjadi makin ringan.
Dari sisi agama pemilih, yang biasanya menjadi titik krusial dalam memilih pemimpin, tidak menjadi batu sandungan yang besar untuk Sandiaga. Ia bisa diterima oleh pemilih dari semua aliran Islam. Meskipun masih menjadi ganjalan bagi kalangan non-Islam untuk memilihnya, namun penerimaan yang luas dari kalangan Islam berbagai aliran cukup untuk menutupi kelemahan tersebut. Ia diterima, baik oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah, dan mendapat dukungan yang tinggi dari pemilih Islam di luar kedua mainstream aliran itu.
Dukungan yang cukup luas juga didapat dari simpatisan berbagai partai politik. Selain Gerindra, partai yang menjadi basis massanya, dukungan juga diperoleh dari Partai Golkar, Nasdem, PKS, Hanura, dan Demokrat. Terbesar adalah dukungan dari simpatisan PKS (40,7 persen). Uniknya, di kalangan simpatisan Partai Demokrat nama Sandiaga lebih banyak dipilih (19,7 persen) untuk menjadi calon wakil presiden daripada Agus Harimurti Yudhoyono (7,9 (persen) yang merupakan ketua umum partai tersebut. Preferensi tersebut relatif tidak berubah jika kedua sosok tersebut diposisikan untuk calon presiden.
Di antara kalangan pendukung yang saat pemilu lalu memilih Jokowi, nama Sandiaga juga cukup diunggulkan. Ia hanya berada satu peringkat di bawah nama Ahok yang ditempatkan sebagai sosok paling diinginkan pendukung Jokowi untuk menjadi calon wakil presiden. Sementara, di kalangan bukan pemilih Jokowi dan mereka yang saat pemilu lalu belum memilih atau golput, nama Sandiaga bertengger di urutan pertama untuk dipilih.
Popularitas Sandiaga juga didukung oleh kuatnya suara pemilih berdasarkan gender. Baik kaum laki-laki maupun perempuan memberikan dukungan terbesar kepadanya. Terlebih pada pemilih perempuan, suara yang diberikan lebih dominan.
Di jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju saat ini, nama Sandiaga juga masuk ke dalam deretan menteri terpopuler. Namanya menduduki peringkat empat sebagai menteri paling dikenal oleh publik, setelah Prabowo Subianto, Tri Rismaharini, dan Sri Mulyani Indrawati.
Meskipun masuk belakangan ke dalam kabinet, namun namanya lebih dikenal daripada Mahfud MD, Nadiem Makarim, Erick Thohir, dan Luhut Binsar Panjaitan. Sandiaga dilantik sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 23 Desember 2020, menggantikan Wishnutama Kusubandio.
Daya pikat politik
Sandiaga memiliki portofolio yang cukup kuat untuk digandeng terjun ke dunia politik yang lebih luas. Selain daya pikat pada paras dan penampilannya, ia juga dikisahkan sebagai sosok cerdas dan pengusaha yang sukses.
Sandiaga Uno yang berdarah Gorontalo, lahir pada 28 Juni 1969 dan mengalami masa kecil di Rumbai, Pekanbaru, Riau. Ia lulus dari Wichita State University, Amerika Serikat, dengan predikat summa cum laude. Gelar akademik yang sekarang disandangnya meliputi Dr, BBA, dan MBA, menyimbolkan bahwa Sandiaga sosok yang terdidik dengan baik.
Debutnya dalam dunia usaha cukup menarik perhatian, sehingga tak heran jika kemudian Sandiaga Uno terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) untuk periode 2005–2008.
PT Saratoga Investama Sedaya Tbk yang didirikannya bersama Edwin Soeryadjaya pada 1998 menjadi perusahaan yang menggurita, membuatnama Sandiaga masuk dalam daftar salah satu orang terkaya di Indonesia. Pada 2009 Sandiaga berada di peringkat ke-29 dari daftar 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, dengan kekayaan 400 juta dollar AS.
Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada 13 Agustus 2018, saat hendak maju menjadi calon wakil presiden Republik Indonesia di Pilpres 2019, total harta kekayaan Sandiaga mencapai lebih dari Rp 5 triliun.
Selain di PT Saratoga Investama Sedaya Tbk, Sandiaga juga berpengalaman menjabat sebagai pimpinan di beberapa perusahaan besar seperti Saratoga Capital, PT Tower Bersama Infrastruktur Group Tbk, PT Adaro Energy Tbk, serta di PT Recapital Advisor.
Jika kemudian Sandiaga terjun ke dunia politik, sesungguhnya tidak terlalu mengherankan, karena ada darah politik yang mengalir dari kakeknya, Raden Abdullah Rachman. Kakeknya pernah turut mendirikan partai politik di Gorontalo bernama Gerakan Kebangsaan Indonesia (Gerkindo) pada sekitar tahun 1945-1946.
Dua kali tampil di panggung kontestasi politik bergengsi tampaknya cukup mengantarkan Sandiaga pada popularitas yang tinggi sebagai sosok paling diminati publik untuk posisi calon wakil presiden. Panggung pertama telah langsung melambungkan namanya, ketika ia menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta mendampingi Anies Baswedan dalam pilkada 2017. Mereka diusung Partai Gerindra dan PKS.
Meskipun dalam prediksi-prediksi awal yang dilakukan sejumlah lembaga survei menempatkan pasangan Anies-Sandiaga diposisi ketiga, setelah pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dan pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni, namun mereka berhasil membalikkan keadaan. Pasangan itu menang di putaran kedua dengan persentase 57,96 persen suara, mengalahkan pasangan Ahok-Djarot yang memperoleh 42,04 persen suara.Pada 16 Oktober 2017, ia bersama pasanganya Anies Baswedan dilantik sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI 2017-2020.
Kemenangan pasangan Anies-Sandiaga dalam pilkada DKI Jakarta membuat pamor Sandiaga makin naik. Dalam Pemilu 2019 ia didapuk sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subiantodan memilih mundur dari jabatan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Lewat sebuah pemilu yang cukup menegangkan dan dramatis, pasangan Prabowo-Sandiaga terpaksa harus mengakui keunggulan suara pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Prabowo-Sandiaga memperoleh 44,5 persen, sedangkan Jokowi-Amin mendapatkan 55,5 persen suara pemilih. Selisih kedua pasangan hanya 16,9 juta suara. Meskipun kalah, namun tak dapat dimungkiri, bagaimana pun kehadiran Sandiaga turut membendung laju suara petahana Jokowi.
Sandiaga juga tokoh yang berpengaruh di Partai Gerindra. Posisinya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang sempat ditinggalkannya pada Agustus 2018 menjelang pemilu lalu, kembali diembannya pada Oktober 2019.
Bergabungnya Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi membuka peluang baru bagi Prabowo dan Sandiaga. Panggung yang digelar bagi keduanya, setidaknya termanifestasikan dalam elektabilitas kedua tokoh tersebut saat ini.
Prabowo teratas dalam keterpilihan sebagai calon presiden, dan Sandiaga teratas dalam elektabilitas calon wakil presiden. Namun, apakah duet Prabowo-Sandiaga akan terulang dalam Pemilu 2024, tampaknya harus dilihat dalam perubahan konstelasi politik saat ini.
Konstelasi yang berubah
Masuknya dua sosok penting Partai Gerindra, Prabowo dan Sandiaga, ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi menjadi dilema dalam konteks Pemilu 2024. Di satu sisi membuat ke dua sosok tersebut tetap mendapat panggung dan peluang keterpilihannya membesar, tetapi langkah politik mereka tak lagi sepenuhnya bebas.
Menjalin koalisi antara Gerindra dengan PDI-P untuk memenangkan pemilu adalah “hutang budi” yang cukup lazim diperhitungkan oleh Prabowo maupun Sandiaga. Sehingga, jika Prabowo maju ke dalam kancah pemilu sebagai calon presiden, sangat wajar kalau akan menggandeng calon wakil presiden dari PDI-P. Jika ini yang terjadi, maka peluang Sandiaga untuk dicalonkan akan menipis.
Dalam skema koalisi Gerindra-PDI-P, peluang Sandiaga untuk tampil dalam kontestasi baru akan muncul kalau Prabowo tidak mencalonkan diri. Namun, mengingat elektabilitas Sandiaga untuk posisi calon presiden masih jauh lebih rendah dari tiga unggulan lain (Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan), ia hanya mungkin digandeng untuk posisi calon wakil presiden. Peluang terbesar untuk dicalonkan sekaligus memenangkan pemilu dalam skema ini adalah kalau ia berpasangan dengan Ganjar Pranowo. Ganjar sebagai calon presiden dan Sandiaga sebagai calon wakil presiden.
Skema Ganjar-Sandiaga akan membuat sejumlah kepentingan terakomodasi. Bagi PDI-P dan Gerindra, terbentuknya pasangan ini akan memperlihatkan berjalannya regenerasi. Bagi masyarakat, penyatuan itu menyimbolkan rekonsiliasi, memperkecil potensi keterbelahan. Dan, bagi pemerintah yang saat ini berkepentingan dengan keberlanjutan program, pasangan tersebut mungkin dapat memenuhi aspek legacy.
Meski demikian, posisi Ganjar yang tak sepenuhnya punya kuasa pencalonan dapat memupuskan peluang Sandiaga. Jika PDI-P lebih memilih Puan Maharani atau calon lain untuk dimajukan, baik Ganjar maupun Sandiaga bisa terparkir di tepian ring kontestasi.
Peluang lain yang sementara ini masih terbuka adalah kembali berpasangan dengan Anies, seperti saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun ada risiko yang harus dihadapi Sandiaga. Pertama, problem etis yang muncul terkait koalisi dengan pemerintahan saat ini, khususnya dengan Jokowi dan PDI-P.
Baca juga: Wisata Politik Sandiaga Uno
Kedua, jika Prabowo mencalonkan diri, sulit bagi Sandiaga untuk menjadi penantangnya, kecuali ia mundur dari Gerindra dan diusung partai lain. Ketiga, resistansi dari kalangan nasionalis yang sementara ini sudah menipis, mungkin akan kembali menebal. Pemilu nasional, juga sangat mungkin mengulang kembali apa yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan melanggengkan segregasi masyarakat.
Jika pasangan ini terbentuk, bukan tidak mungkin, kalangan nasionalis akan memunculkan hanya satu pasang calon untuk menyatukan soliditas. Dan di sana popularitas Sandiaga dipertaruhkan. Apa pun pilihan Sandiaga dan takdir politiknya, sosoknya mungkin akan menjadi salah satu elemen pengubah peta kontestasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sandiaga Uno Bongkar Permainan Karantina Covid-19